Rindu

"Pak Hirawan, gimana rencana dinas 3 tahun di Papua, Bapak bawa keluarga?" tanya Pandu, usai rapat. 


"Nggak tau nih. Susah juga ya, karena anak-anak saya sudah sekolah. Istri juga sibuk dengan kegiatan di sini." Hirawan menghela napas. 


"Iya ya. Saya juga pusing deh pastinya. Anak saya masih bayi, istri juga di rumah aja. Jadi bisa ikut semua ke Papua." 


"Tiga tahun di Papua tanpa istri, apa kuat Pak?" canda seorang rekan kerja yang tiba-tiba ikut ke dalam obrolan. 


Hirawan hanya tertawa. Meskipun sudah terbiasa berjauhan dengan istri, tapi belum pernah sampai tiga tahun tidak pulang. 


Setelah diskusi panjang dengan Dhira, akhirnya diputuskan bahwa mereka akan menjalani Long Distance Marriage. Jika ternyata Hirawan tidak kuat menahan kerinduan kepada keluarga, kemungkinan ia akan memboyong keluarganya ke Papua. 


"Papa, cepet pulang ya Pa!" seru Tiara, sebelum memeluk Hirawan.


"Papa, aku ikut Pa…." Rengek Rakyan.


"Jaga diri baik-baik ya Pa." Dhira memeluk Hirawan. Lelaki itu menatap lekat-lekat wajah manis istrinya yang bertubuh ramping. Dhira memang menjaga penampilannya dengan baik, terlebih setelah menjadi public figure. Dhira menjaga asupan makanan dan rajin berolahraga agar tubuhnya tetap langsing. 


Sebagai seorang suami, Hirawan harus bersyukur. Selain istrinya masih seperti seorang gadis remaja, Dhira juga sudah memiliki penghasilan sendiri. Istrinya nyaris tak memiliki kekurangan. Bahkan, teman-teman kantornya kerap kali memuji Dhira saat tampil sebagai MC di acara kantor. 


"Pak Hirawan, Bu Dhira masih kayak mahasiswi ya," bisik seorang temannya.


Hirawan merasa bangga. Meskipun usia mereka hanya terpaut dua tahun, Dhira tampak lebih muda dibandingkan dirinya. Perutnya sudah membuncit dan rambutnya mulai botak di usia yang baru 35 tahun. Dhira sering mengajaknya berolahraga bersama, tetapi ia menolaknya.  


Pesawat dari Jakarta ke Jayapura pun melaju, membawa Hirawan yang rupanya tak akan pulang ke rumah lagi sejak hari itu. 


Hirawan dan kawan-kawan tinggal di mess karyawan yang sudah menyerupai komplek perumahan. Setiap orang mendapatkan kamar yang berukuran besar seperti rumah tipe 21. Di dalamnya sudah ada fasilitas lengkap seperti tempat tidur, kulkas, sofa, lemari, kamar mandi dengan shower, televisi, dan dapur. 


Untungnya, Hirawan sudah terbiasa sendiri sehingga tak merasa kesepian. Apalagi kamar kanan kirinya adalah kamar teman-temannya juga. Mereka bisa sering berkumpul di waktu luang untuk berolahraga atau bermain catur. 


Ternyata kesibukan Hirawan cukup padat, sehingga ia bisa mengusir rasa sepinya saat pulang ke mess. Ia tinggal menelepon anak-anaknya. Fasilitas voice call dari whatsapp membuatnya bisa melihat wajah anak-anaknya kapan saja. 


[Istriku sayang lagi apa nih?] 


[Aku lagi merindukanmu, Mas] 


Hirawan tersenyum membaca balasan istrinya. Mereka berbalas pesan di twitter. Tak ayal, banyak teman-teman istrinya yang ikut bergabung dalam obrolan. 


[Eh, romantis banget nih Pak Hirawan ke Mbak Dhira] 


[Sweet banget, deh] 


[Langgeng yah, Mbak Dhira dan Pak Hirawan] 


Hirawan terhibur membaca balasan dari teman-teman Dhira. Salah satu akibat memiliki istri terkenal, setidaknya di media sosial. 

 

"Banyak doa nih, Pak. Besok kita akan mendokumentasikan proyek di daerah yang sering konflik," kata Pandu, malam sebelum mereka pergi bertugas. 


"Iya. Memang harus banyak doa selama di sini," sahut Hirawan. Pekerjaan sebagai staf dokumentasi di kementerian membuatnya harus siap diajak ke mana pun. Di Papua terutama di pelosoknya sering ada konflik antar suku atau dengan pendatang. Ditambah lagi dengan serangan KKB yang tak pandang bulu. Tak hanya anggota TNI yang diserang, tetapi juga warga sipil seperti tenaga kesehatan dan pegawai pemerintah. 


Minggu-minggu pertama, Hirawan masih sedang tahap adaptasi tinggal di Papua sehingga pikirannya hanya fokus pada pekerjaan. Bulan kedua, ia baru merasakan kerinduan yang mendalam terutama rindu pada sentuhan istri. 


Ia hanya bisa menelan ludah melihat kemesraan Pandu dan istrinya yang ditampakkan saat mereka akan berangkat kerja. Meski hanya mencium dahi istrinya, Pandu sukses membuat batinnya bergejolak. 


Tengah malam saat tak tahan lagi, Hirawan menelepon Dhira. Baru saja Dhira akan menutup mata setelah menyelesaikan pekerjaannya. 


"Ada apa, Mas?" tanya Dhira, sambil menguap. Penampilannya sudah polos tanpa make up, karena Dhira baru saja menghapusnya. Dhira juga hanya mengenakan kaus oblong biasa dan celana longgar. 


"Voice call dulu sebelum tidur. Aku kangen…." Hirawan memandang Dhira dengan mata lapar. 


Dhira mengerti maksudnya. Mereka biasa melakukannya saat LDM (Long Distance Marriage). 


"Mendadak banget, Mas. Harusnya aku dandan dulu dan ganti baju tidur yang cantik," sahut Dhira. 


"Begitu juga bagus." Hirawan tak sabar.


"Sebentar aku kunci kamar dulu." Dhira berjalan menuju ke pintu, lalu menguncinya. 


"Kamu kayaknya biasa aja. Nggak kangen ya?" tanya Hirawan. 


"Kangen juga dong. Masa nggak kangen?" Dhira tersipu. Walaupun memang benar dia lebih bisa mengendalikan nafsunya karena sibuk bekerja. 


Suara di kamar itu berubah menjadi lebih pelan. Dhira menunaikan tugasnya sebagai seorang istri yang sudah terlatih sejak suaminya sering dinas keluar kota. Memang awalnya canggung, lama-lama terbiasa. Baginya itu lebih baik daripada suaminya mendarat di pelukan wanita lain. 


Namun, apakah itu sudah cukup untuk Hirawan? Hanya bisa berhubungan jarak jauh dan membayangkannya demi mendapatkan kepuasan? 


"Pak Hirawan, nanti malam mau pijat nggak?" bisik Rudi, suatu hari. Rudi juga tidak membawa keluarganya ke Papua, karena istrinya tidak mau ikut. Takut susah hidup di Papua. 


"Pijat?" 


"Iya kan badan Bapak pasti pegal-pegal sering jalan ke pelosok."  


"Boleh juga. Biasanya nyuruh istri. Sekarang nggak ada." 


"Ehem… nanti bisa pijat plus-plus juga, Pak." Rudi berbisik lagi.


Hirawan terbelalak. "Nggak takut bawa penyakit?!" serunya, bergidik. 


"Yhaa… harus pinter mainnya dong. Kalau pijat biasa juga nggak apa-apa kok. Dicoba saja dulu. Saya jadi makin fresh nih walaupun nggak ada istri."  


Hirawan mulai mengalami pertarungan batin. Ajakan-ajakan seperti itu sebenarnya biasa setiap kali ia berdinas ke luar kota, tetapi ia tak pernah mengikuti. Selain masih rajin beribadah, ia juga khawatir tertular penyakit jika coba-coba.  


Tahun pertama terlewati dengan mulus, meskipun kebutuhan batinnya hanya terpenuhi melalui voice call. Tahun berikutnya, Hirawan mulai mengalami gejolak batin yang tak tertahankan. 


Sampai tiba waktunya kembali ke Jakarta. Hirawan sudah mengadakan pesta kecil-kecilan bersama teman-temannya karena dinasnya sudah selesai. Tidak semua orang mendapatkan jadwal kepulangan yang sama. Ada juga yang tidak langsung pulang. Terutama jika anak-anaknya sudah terlanjur pindah sekolah di Papua. Mereka harus menyiapkan banyak hal dulu.


Untunglah Hirawan hanya sendiri, jadi ia bisa pulang kapan saja. Malam sebelum pulang, Hirawan pun sudah menelepon keluarganya agar bersiap menyambut kedatangannya. Tiga tahun berlalu, semua berubah. Tiara sudah menjadi gadis remaja yang secantik mamanya karena sudah duduk di kelas 9, Rakyan pun sudah besar dan duduk di kelas 6, sedangkan Dhira masih tetap awet muda dengan wajah lebih cerah karena rutin perawatan. 


Begitupula dengan Hirawan. Ia pun sudah berubah. Andai saja Dhira bisa melihat perubahan itu. 


Komentar

Login untuk melihat komentar!