"Hirawan Wicaksana, seorang staf dokumentasi di Kementerian Komunikasi dan Informasi telah tiga hari menghilang. Diduga Hirawan diculik oleh tentara separatis KKB Papua. Saat ini pihak berwenang sedang berusaha mencarinya. Terakhir kali Hirawan kontak dengan istrinya, Dhira Aulia, influencer Instagram, malam sebelum pulang ke Jakarta."
Berita di televisi membuat Dhira semakin berdebar. Pencarian suaminya masih terus disiarkan di mana-mana. Dhira tak tahu lagi harus bagaimana, karena Hirawan benar-benar hilang jejak. Ia sudah tak bisa bekerja. Setiap hari waktu dan pikirannya hanya ditujukan untuk suaminya.
"Halo, Bu Ana. Saya Dhira." Dhira menelepon seorang kliennya.
"Oh, iya Mbak Dhira. Saya turut berduka dengan musibah yang terjadi." Ana menjawab dengan prihatin.
"Iya, Bu, terima kasih. Untuk itulah saya minta dibatalkan saja kerjasama kita karena saya tak tahu kapan bisa bekerja." Dhira berkata, lirih.
"Oh begitu. Sungguh sangat disesalkan kalau saja kerjasama ini tidak berdasarkan momentum, pastilah bisa kita pending dulu."
"Iya, Bu. Semoga lain kali kita bisa bekerjasama kembali."
Percakapan berakhir, tetapi Dhira masih harus menghubungi klien-kliennya yang lain. Apa boleh buat. Semua kerjasama yang berdasarkan waktu khusus, terpaksa dibatalkan. Sedangkan kerjasama yang waktunya fleksibel, masih bisa dikerjakan nanti kalau situasi dan kondisinya sudah tenang.
Dhira terpaksa merelakan sebagian penghasilannya yang hilang akibat tidak jadi bekerjasama. Untung saja ia masih punya tabungan dari penghasilannya yang lalu-lalu. Sedangkan gaji suaminya tetap masuk ke rekening suaminya. Dhira hanya mendapatkan transferan uang belanja dari Hirawan saat tanggal gajian.
"Ma, gimana keadaan Papa ya?" Tiara bertanya dengan sedih sambil menggelayut di lengan Dhira. Rakyan pun demikian. Anak lelaki itu meletakkan kepalanya di pangkuan Dhira.
"Kita banyak berdoa saja semoga Papa pulang dengan selamat," ajak Dhira.
"Dhira, gimana kalau kita adakan pengajian saja untuk mendoakan Hirawan?" Tiba-tiba ibu Dhira menyarankan.
"Oh ya… pengajian…." Dhira memijit kepalanya yang pening. Itu berarti dia harus repot menyiapkan segala hal. Konsumsi, ustaz yang mendoakan, dan tempat pengajian.
"Biar Ibu saja yang mengurus. Coba kamu telepon ibu Hirawan. Bisa ndak dia ke sini?" tanya Ibu.
Dhira menghela napas. Berhubung mertuanya ada di Tasikmalaya, mereka jarang bertemu kecuali bersama Hirawan. Dhira merasa tak dekat dengan mertuanya sejak awal menikah.
"Assalamualaikum, Bu, ini Dhira." Dhira mengucap salam setelah telepon tersambung.
"Waalaikumsalam. Ya Allah, Dhir…." Terdengar suara ibu mertuanya yang sedih sekaligus panik. Dhira tak kuasa menahan airmata.
"Bu, Dhira mau mengadakan pengajian di sini untuk mendoakan Mas Hirawan," katanya, langsung. Ia sedang lelah menumpahkan airmata.
"Oh ya sudah, silakan, tapi Ibu nggak bisa ke sana. Ini Bapak juga lagi sakit," kata ibu mertua.
"Iya, Bu, nggak apa-apa. Acaranya akan diurus ibu Dhira."
"Iya, sampaikan salam dan terima kasih ke Ibu ya. Semoga Hirawan cepat pulang."
Percakapan pun ditutup. Setidaknya Dhira sudah memberitahu mertuanya bahwa ia akan mengadakan pengajian. Terserah mereka mau datang atau tidak, tetapi sudah pasti tidak. Walaupun ibu mertua mengatakan bahwa bapak mertua sedang sakit, sebenarnya tidak. Dhira sudah tahu bahwa mereka hanya membuat alasan.
Mereka tidak mau mendatangi rumah Dhira, dan tentu saja rumah Hirawan juga sejak menikah. Katanya, anak-anaklah yang harus mendatangi orangtuanya. Dhira mengalah saja. Toh, anak-anaknya masih memiliki kakek dan nenek lain yang lebih pengertian.
Malam Jumat, pengajian digelar. Dhira mengundang teman-temannya dan teman-teman kantor suaminya. Sebagian menghadiri undangan, sebagian lagi menitipkan kebutuhan untuk pengajian. Entah mengapa Dhira merasa pengajian ini seperti pengajian tahlilan orang yang meninggal.
"Bu Dhira, saya turut prihatin. Semoga Pak Hirawan bisa ditemukan dalam keadaan selamat ya," kata Bu Susi, istri dari rekan kerja suaminya, usai pengajian.
"Aamiin. Semoga ya, Bu." Dhira kembali menghapus air mata. Dia bukan wanita yang mudah menangis di hadapan orang lain, tetapi situasi ini membuatnya sulit menahan airmata.
"Memang akhir-akhir ini makin banyak serangan KKB kepada rakyat sipil. Bukan hanya ke TNI. Apalagi pegawai pemerintahan. Untung saja Bu Dhira nggak ikut ke sana." Bu Susi bergidik.
Dhira hanya mengangguk, tak mau menanggapi lebih banyak karena khawatir malah membuatnya semakin cemas.
"Saya turut prihatin, Bu. Pak Hirawan orang baik. Saya yakin nasib baik berpihak kepadanya," kata Pak Hikmat, rekan kerja Hirawan, sebelum berpamitan pulang.
"Aamiin." Dhira hanya bisa menjawab dengan singkat, karena banyak orang yang mau bersalaman dengannya.
Lambat-laun semua orang yang datang ke pengajian itu berkurang dan habis sama sekali. Tinggal Dhira dan keluarga yang masih termenung di tengah ruangan. Mereka duduk di lantai di atas stiker. Dhira mengambil ponsel yang ia letakkkan di sudut ruangan. Ya, ia melakukan live instagram pengajiannya tadi, sehingga banyak orang yang memberikan komentar.
"Mbak Dhira, semoga suaminya segera ketemu ya!"
"Ikut berdoa bersama Mbak Dhira supaya suaminya sampai di rumah dengan selamat."
"Ya Allah, lekas pertemukan Mbak Dhira dengan suaminya…."
Dhira tersenyum membaca komentar-komentar itu. "Terima kasih, teman-teman atas simpatinya. Semoga Allah mengabulkan doa kita semua," ucapnya sebelum mengakhiri tayangan instagram livenya.
Ibu Dhira menutup pintu rumah karena sudah malam. Sisa-sisa pengajian akan dibereskan besok. Makanan dan minuman yang masih ada diletakkan di atas meja makan.
"Nduk, tadi tuh ada yang ngomong sama Ibu," kata ibu Dhira, setelah Tiara dan Rakyan masuk ke kamar.
"Ngomong apa, Bu?" tanya Dhira sambil menutup akun instagramnya.
Ibu Dhira menggenggam tangan Dhira. "Entah mengapa kok ada saja orang yang tega bicara begitu ke orang yang sedang berduka."
"Emang dia ngomong apa, Bu?" Dhira tak sabar.
"Itu lho… masa katanya mending mana suami dibawa KKB atau dibawa janda?"
Dhira terbelalak mendengarnya. "Hah?! Siapa yang ngomong, Bu?!" tanyanya, murka.
"Ibu ndak tau namanya. Pokoknya teman kantor suamimu. Katanya, sudah banyak kasus pegawai tergoda wanita lain di tempat dinas. Ah, tapi mungkin dia hanya bercanda."
"Bercanda kok gitu?! Nggak lucu!" Dhira kesal bukan main.
Rumor tentang suami yang selingkuh bukan sekali dua kali didengarnya sejak memutuskan untuk Long Distance Marriage. Dhira pun sering diwanti-wanti temannya supaya berhati-hati kalau-kalau suaminya tergoda wanita lain di tempat dinas.
Namun, apa yang bisa Dhira lakukan selain berdoa? Toh, berpisah tiga tahun bukan keinginannya. Dhira dapat memastikan bahwa suaminya masih setia, karena mereka berkomunikasi setiap hari bahkan video call mesra.
"Ya sudah, Nduk. Kita berdoa saja semoga dua-duanya ndak menimpa Hirawan," kata Ibu, sebelum meninggalkan Dhira yang termangu.
Kepala Dhira masih pusing dibebani pikiran soal suaminya yang diculik KKB, tetapi mengapa orang lain malah berasumsi suaminya terpikat wanita lain?
Login untuk melihat komentar!