Ini gara-gara Akmal, cetus Haekal dalam hati. Kesal sekali, sebal dan marah sangat. Dasar anak usil, suka julid pula. Huh, awas kualat loh, Mal!
“Begini-begini umurku kan lebih tuaan dikit dari kamu!” gerutunya sendri.
Ketika mereka berada di kamar mandi Mushola, anak-anak seketika riuh mengejeknya. Hanya karena Haekal belum dikhitan.
“Kamu ini bocah Muslim apa bukan sih?” seru Akmal.
“Anak Batak, wheeei, anak Batak!” ejek Amin.
“Iya, ayahku memang Batak. Tapi Mama aku kan Sunda asli!” bantahnya mencoba membela diri. “Mama aku dari Sumedang, tahuuuu!”
“Tahuuuuu!”
“Sumedaaaang!”
“Hahahaha!”
Eh, anak-anak malah mingkinan!
“Barusan aku lihat nganunya belum disunat, weeew!” ejek Akmal lagi, sengaja mengompori teman-temannya.
Seperti dikomando, anak-anak kompak teriak-teriak.
“Haekal belum disunaaat!”
“Haekal bukan bocah Musliiim!”
Haekal tidak tahan lagi. “Bodo, ah, gak ngaji sajalah!”
Petang itu Haekal serius urung mengaji.
Ia pulang sambil berlari-lari, sarungnya nyaris merosot.
Datang-datang ke rumah langsung morang-maring.
Ayah dan Mama yang sedang mengajak Butet bermain tentu saja terkejut.
“Ada apa, Kal?” tanya Ayah.
“Iya bukannya harus ngaji jam segini?” tanya Mama pula.
“Ngaak pake ngaji, ngaaak!” teriak Haekal.
“Looooh?” Mama dan Ayah berpandangan.
Butet sampai mengkeret, ketakutan. Lihat abangnya morang-maring.
“Kapan sih Mama sama Ayah mengkhitankan Haekal?” cecar Haekal, napasnya masih ngos-ngosan.
Mama dan Ayah berpandangan.
“Ooh, ceritanya anak kita sudah kepingin disunat, Ma,” cetus Ayah selang kemudian.
“Iya, kapaaan? Haekal malu nih sama teman-teman. Mereka sering mengejek Haekal! Kata mereka, Haekal bukan bocah Muslim. Karena belum dikhitan…”
Mama mengusap kepala putranya.
“Jangan dengarkan omongan mereka, Nak. Namamu saja Muhammad Haekal. Bagaimana bukan bocah Muslim?” Mama mengingatkan.
“Iyalah,” tukas Ayah meyakinkan. “Awal namamu pun diambil dari nama junjungan kita Nabiyullah, Rasulullah Saw…”
“Iya sih… tapi kapan kalian mau mengkhitan Haekal?” tuntut anak kelas tiga SD itu terdengar tegas. Tidak bisa dibantah lagi!
“Sebenarnya kami juga ingin, tapi….” Suara Mama terhenti. Malah menunduk, mengusap-usap kepala Butet yang asyik main krincingan.
“Terus terang saja, di kampung ini kalau mengkhitankan anak harus pakai selamatan, hajatan segala. Kami belum punya uangnya,” jelas Ayah.
Haekal melongo. Tapi dia segera memahami kesulitan orang tua. Iya, teman-teman sebayanya, ketika dikhitan memang dipestakan segala.
Haji Tobe waktu sunatan cucunya, nanggap Lenong. Masih juga dtambah organ tunggal, dangdutan. Pokoknya, heboooh saja sekampung Cikumpa!
“Haekal nggak minta dipestakan, Ma, Yah. Asal sudah disunat, ya, sudah! Sungguh, Ma, Ayah… Haekal mau disunat biasa-biasa saja,” katanya terdengar saleh sekali. Sehingga Mama dan Ayah merasa sangat terharu.
“Kalau ikut khitanan massal, bagaimana? Mau, Nak?” tanya Ayah beberapa saat kemudian.
“Khitanan massal itu seperti apa?” Haekal langsung tertarik.
“Anak-anak dikhitannya bareng-bareng di suatu tempat,” jelas Ayah.
“Seperti di panti asuhan itu, Ayah? Anak-anak yang nggak mampu dikhitan massal, sama dokter-dokter muda dari Universitas Indonesia?”
Tampak Mama dan Ayah berpandangan lagi. Ada keharuan, kemurungan di wajah keduanya. Haekal sungguh tidak paham!
Dia tidak peduli mau dikhitan massal kek. Dikhitan sendirian kek. Pokoknya, dikhitaaan!
Karena itu kewajiban bocah Muslim! Iya kaaan?
“Iya… Nanti kalau ada acara khitanan massal di kantor Ayah.”
“Haekal mau, Ayah! Daftarkan saja, ya! Ayah, tolooong,” pinta Haekal memelas.
“Insya Allah,” janji Ayah.
“Tapi kapan, Yah, kapan?”
“Kita berdoa saja supaya di kantor Ayah segera ada acara khitanan massal.”
Jadikah Haekal disunat? Penasaran, ya adik-adik?
Jangan lupa subcribe dan beri bintang 5. Biar Manini Pipiet Senja tambah semangat melanjutkan ceritanya.
***
Login untuk melihat komentar!