Jadi, Meisya Sudah Tahu?

PESAN WA DARI JANDA SEBELAH


Part 4


Pov Ridho


Aku bangkit dan bergabung dengan obrolan yang membuat kupingku panas.


"Eh Sena, pagi-pagi udah rapi aja," sapaku ramah. Seolah aku care sama dia. Padahal, dalam hati aku gedek setengah mati.


"Iya, Mas. Bentar lagi mau berangkat kerja. Kalau gitu, aku pamit dulu ya, Mas Ridho sama Meisya." Baru saja aku menyapa. Si Sena pamit untuk pulang. 


Aku tahu, dia pasti takut kesaing 'kan kegantengannya. Secara, dari segi mana pun aku tetaplah yang paling tampan.


"Eh, Ibu-Ibu, itu ada duda kembarannya So Joong Ki. Noh lihat, bikin meleleh."


"Aduh, meleyot ini hati lihat wajahnya yang bikin berbunga-bunga seperti riba."


"Pengen tak jadiin mantu deh dia. Biar duda nggak pa-pa, yang penting duren sawit hihihi."


Aku berdecak kesal. Obrolan dari Ibu-ibu yang tengah belanja sayur mayur itu tak hentinya memuji Sena yang sedang lewat.


Padahal, menurutku dia biasa saja. Ibu-ibu itu saja yang lebay. Kayak nggak pernah lihat orang ganteng aja.


Meisya melangkah ke depan rumah, tanpa sepatah kata padaku.


"Meisya, mau ke mana?" tanyaku.


"Tuh …." Tunjuknya pada gerombolan Ibu-ibu berdaster sedang mengerumuni gerobak sayur.


"Oh, mau masak apa ntar?" 


"Masak air biar mateng!" jawabnya tak acuh. Ia meletakkan rantang itu di kursi taman depan.


Huh dasar!


Daripada lihat wajah Meisya yang menyebalkan. Mendingan aku masuk ke rumah aja. Udah kangen juga sama Arga, semalaman nggak ketemu anak lucu itu.


Kulihat Arga masih tertidur pulas. Wajahnya mirip sekali denganku. Kuberi ia kecupan sebentar. Setelahnya lanjut ke kamar mandi untuk membersihkan diri.


Kemeja berwarna biru tosca kukenakan. Setiap bentol di pipi kusentuh. Ini efek tidur di teras tadi malam, habis aku digigit nyamuk.


"Meisya," gumamku saat mendapati wanita itu tengah berkutat di dapur.


Sengaja tangan aku lingkarkan di perutnya mesra. Agar kemarahan Meisya mereda. 


"Istri sholehah lagi masak ternyata," bisikku di samping telinganya. Sesekali kutiup samar agar dia merasakan sesuatu.


Dia tak merespon. Malah sibuk memotong tempe di atas telenan.


"Sayang …," lirihku lagi. Masih dengan posisi yang sama.


Tiba-tiba Meisya menggidikan bahu.


Ah, aku tahu. Pasti dia sedang merasai sentuhan lembut ini.


Lanjut kutiup lagi tengkuk leher hingga ke dekat telinga.


"Kok aku merinding ya … kata orang, kalau bulu kuduk tiba-tiba berdiri. Itu artinya ada setan," celetuknya langsung membuat tanganku terlepas. Masa iya aku disamain sama setan? Nggak lucu banget!


"Meisya, mana uangku? Aku mau berangkat kerja nih." Tak ingin membuat keadaan makin keruh. Terpaksa kuberanikan diri menanyakan hal penting tersebut.


"Tuh di atas meja. Sekalian sama bekal makan siangmu." Ia mendongakan dagu ke arah meja.


Di atas meja makan, hanya ada wadah bekal dan satu lembar uang senilai 20 ribu rupiah. Ini mataku nggak salah lihat 'kan?


"Mei, masa aku ke kantor cuma sangu 20 ribu. Buat apa?" protesku tak terima.


"Kalau nggak mau ya udah! Lagian, itu udah aku bawain bekal. Biar nanti kamu nggak makan di rumah janda sebelah!"


Aku tertegun mendengarnya. Jadi, Meisya sudah tahu kalau aku pernah mampir di rumah Marimar.


Degh! 


Jantung terasa berhenti berdetak. Apa aku sudah keterlaluan padanya?


Bersambung.


Ditunggu komen dan subscribe ya kak ❤️




Komentar

Login untuk melihat komentar!