empat
BEGINI RASANYA TAK PUNYA ORANG TUA

EMPAT

"Assalamualaikum."


Dari dalam rumah sudah terdengar suara berisik adik-adikku yang lagi bermain. Ku dorong pintu, tak ada yang menyadari kedatanganku. Tak ada mainan yang berarti di rumah kami. Sehari-hari hanya dipenuhi dengan canda dan tawa riang mereka.


Dulu, aku pernah menanyakan ke Ibu, kenapa kami tak pernah bertemu sama Nenek atau kakek. Aku hanya ingin seperti Ryan, anak tetangga yang sedari kecil dirawat Neneknya, saat Ibunya pergi bekerja.


Aku juga pernah menayakan, kemana Nenek dan Kakek dari Ayahku. "Nenek dan Kakek tidak menyukai pernikahan Ibu dan Ayah, mereka tak menginginkan kita, saat ini mereka ada di kota seberang, jauh dari sini." Ucap Ayah kala itu. Saat itu umurku baru 8 tahun, jadi tidak begitu memahami perkataan Ayah. 


Dulu, aku juga sering melihat ibu diam-diam menagis sambil menggendong Dina yang kala itu masih kecil. Pernah aku mendengar kala ibu berucap "kangen sama Emak," aku tak tau Emak itu siapa, mungkinkah Nenekku?


"Rena..!"


"Masak nasi dulu, ini telurnya ada empat butir, digoreng dua aja, yang dua lagi buat makan malam," ucapku ke Rena yang lagi asik bercanda bersama Dina dan Andi.


"Kakak.." 


Dina dan Andi bersamaan berlari menghampiriku dan memelukku, mereka begitu manjanya. Bahagianya hidup kami walau sangat banyak kekurangan, aku bersyukur memiliki adik-adik yang mengerti keadaanku.


"Nanti ya, Dek. Kakak mandi dulu, nanti kalo kakak udah selesai mandi kita main ya?" Ucapku sambil melepas pelukan Dina dan Andi.


"Dina, jagain Andi ya, Kakak mau kedapur dulu, mau bantuin Mbak Rena masak."


"Iya Kak."


Di dapur, Rena sibuk meniup api dari kayu yang agak sulit membuatnya menyala. "Rena, biar kakak aja yang nyalain apinya, kamu cuci beras aja ya, Dek."


"Iya Kak."


"Kak, nanti Kakak mau pergi lagi?"


"Iya, kenapa Dek?"


"Ga apa-apa, nanti kalau Kakak dapet uang lebih, belikan Andi jajanan, Andi saja Kak, kami ga usah. Yang murah aja Kak, soalnya tadi Andi nangis, mau minta jajanan yang dipegang Nadin, tapi Nadinnya ga mau ngasih, malah Rena yang dimarahin Mamanya Nadin, Mama Nadin bilang, ga usah keluar rumah kalau tidak punya uang."



Bu Ria atau yang biasa kami panggil Mama Nadin adalah tetangga depan kami, memang dari semua tetangga, yang paling tidak menyukai kami adalah Mama Nadin. Bahkan dari dulu, waktu Ibu masih ada pun begitu. Entahlah salah kami dimana?


"Iya, doain Kakak ya, Dek, mudah-mudahan ada rezekinya."


Teriris rasanya hatiku, begitu tak mampunya aku menjadi seorang Kakak bagi mereka. 



"Maafin Kakak." Ucapku dalam hati, pengen nangis, tapi aku tak mau menunjukkannya di depan Rena. Biarlah yang mereka tau aku adalah seorang Kakak yang tangguh.


Ayah, kau dimana? Tau kah kau kalau kami sering kelaparan. Kenapa beban seberat ini kau limpahkan kepundakku yang seharusnya menjadi tanggung jawabmu. Pulanglah Ayah, kami merindukanmu.


"Rena, nanti kalau Kakak pergi, jangan keluar rumah, main di dalam aja ya."


"Iya Kak."


Selesai menyiapkan makan siang, kami pun makan bersama, penuh dengan canda tawa walau makan seadanya, yang penting adik-adikku kenyang, itu sudah cukup bagiku.




Komentar

Login untuk melihat komentar!