"Dek, Kakak cuma bisa bawa uang segini" ku serahkan selembar uang sepuluh ribu hasil ku mengamen dijalanan hari ini.
"Tapi beras ga ada Kak, jadi gimana?" Ucapnya lirih sambil menerima uang yang tadi kuberi.
"Ga apa apa, beli aja seliter yang murah aja, nanti sisanya beli mie instan. Masaknya banyakin kuah aja, biar cukup untuk kita ber empat."
"Besok Kakak janji, bawa uang lebih banyak untuk kita makan." Ucapku sambil berlalu ke kamar mandi meninggalkan adikku yang termenung.
Aku Dika Anggara, saat ini umurku 12 tahun. Aku hidup dengan ke tiga adikku yang masih kecil, Rena 9 tahun, Dina 6 tahun dan Andi 2 tahun.
Ibu kami sudah tiada saat melahirkan Andi adikku yang paling kecil, sedangkan Ayah, dia pergi meninggalkan kami entah kemana, tidak lama setelah ibu meninggal dan sampai saat ini kami tidak pernah dengar kabarnya lagi.
sebagai anak tertua, aku yang harus mencari nafkah untuk adik-adikku. Tak ada keahlian apa pun yang ku punya. Untung saja orang tua kami meninggalkan rumah ini, walau tidak layak untuk ditempati, setidaknya kami tidak tidur dijalanan.
Kerasnya hidup sudah biasa bagiku, membuatku harus kuat, hujan dan panas sudah tak ku hiraukan lagi, yang penting adik-adikku tidak kelaparan di rumah.
Di rumah sederhana ini, kami hidup dengan penerangan satu aliran lampu dari tetangga, yang merasa iba saat rumah kami gelap. Dulu, saat Ibu masih ada, kami punya listrik sendiri, karena tidak mampu bayar akhirnya di putus.
Untuk air mandi, kami menimbanya dari sumur di belakang rumah. Kalau pagi sebelum berangkat, biasanya aku sudah mengisi semua bak dengan air, biar adik-adikku tidak kerepotan saat membutuhkannya.
Memasak kadang kami memakai kayu bakar saat aku tidak mampu membeli gas.
Untungnya Rena bisa diandalkan untuk menjaga adik-adik saat aku tidak dirumah. Meskipun umurnya baru 9 tahun, tapi Rena sudah mandiri bisa memasak nasi dan mie instan.
"Kak, ayo kita makan" teriak Rena dari arah dapur.
"Iya.. ayo Dina, Andi kita makan, abis itu kita bobo ya"
"Ok, Kak" ucap mereka berbarengan sambil berlari menuju kearah dapur.
Sedih rasanya melihat mereka makan dengan lahapnya, walau dengan lauk seadanya. Bersyukur itu yang selalu ku ajarkan ke mereka.
"Kak, tadi Bu Wati nanyain, katanya kapan mau bayar hutang?"
Bu Wati adalah Ibu yang punya warung di ujung jalan, kalau sudah tak punya makanan, biasanya ku berani kan diri untuk menghutang beras dan lainnya. Walau agak cerewet dan bermuka masam, tetap Bu Wati memberi kami hutangan.
Biasanya kalau dapat lebih, hutang ke Bu Wati bisa aku cicil, tapi beberapa hari ini, pendapatanku sangat sedikit, jadi hanya cukup buat makan saja.
"Iya, besok sebelum Kakak berangkat, Kakak mampir ke warung Bu Wati dulu."
"Ayo, semuanya kita istirahat. Jangan lupa ber doa sebelum tidur."
Malam kian larut, ku tatap wajah adik ku satu persatu, wajah damai mereka lah yang membuat aku tetap tegar selama ini.
Entah lah, esok kami makan apa, itu yang setiap malam ku fikirkan. Aku hanya tak ingin adik-adikku kelaparan.