makin curiga


Mereka saling melirik dengan binar yang sulit kumengerti apa maksudnya.

"Kayaknya tadi kamu lupa sesuatu deh,"

"Apaan sih, Mas, aku nggak lupa apa-apa kok," jawab adyla sambil tertawa dan sedikit menyentuh dada Mas Adam. Dan itu dilakukan di hadapanku, benar-benar keterlaluan.

"Ehem, kalian agak terlambat dari mana ya?" tanyaku yang sengaja mengalihkan perhatian mereka.

"Macet." Mas Adam menjawab singkat.

"Adila kamu langsung ke atas, habis itu ganti baju lalu bantu Mbak masak di dapur," pintaku kepada adikku itu.

"Iya mbak."
Gadis berusia 20 tahun itu naik ke atas untuk mengganti pakaiannya, selepas naiknya dia Mas Adam langsung menghampiri dan mencolek lenganku.

"Kamu ngapain sih suruh suruh dia, Kamu tahu kan kalau sepanjang hari dia di kampus pastinya capek banget, sampai sakit orang tuamu pasti akan marah."

"Sejak kapan Mas ada menjadi begitu perhatian kepada Adila, wajar aja kok kalau dia nolongin aku di dapur, lagipula dia tinggal di sini sedikit tidaknya dia harus membantu kita."

"Iya tapi nggak sekejam itu juga kali," sangkalnya.

"Selama tinggal di sini, Adila sering membantuku beres-beres di rumah. kenapa baru didramatisir sekarang?"

Mas Adam seketika bungkam mendengar argumenku terhadap ucapannya barusan.

" Ya udah terserah kamu aja."ya melengos dan meninggalkanku menuju kamar utama.

*

Seperti biasa pukul delapan malam, kami berkumpul di meja makan, aku, Mas Adam dan kedua anak kami serta Adila.
Biasanya aku kan cerewet bertanya tentang kegiatan suami dan adik kandungku itu, Apa saja yang mereka lalui hari ini.Namun melihat kedekatan yang tidak wajar itu membuat diriku malas untuk banyak bicara.

"Uhm, Adila uang semester kamu sudah dibayarkan belum?" Mas Adam pada adikku yang sibuk mengunyah makanannya.

"Oh, itu ... Belum Mas," jawabnya.

"Berapa biayanya biar Mas yang bayarkan," tawarnya.

"Sebentar lagi kiriman dari bapak akan datang, mas tidak perlu khawatir sampai harus mengcover biaya kuliah Adila."
Aku menimpali percakapan mereka.

"Iya Mas, gak usah," sambung gadis itu lirih.

"kalau kamu sampai telat membayar kamu bisa diperingatkan oleh bagian administrasi kampus, itu bisa membuat kita malu."

"Mas Adam nggak perlu khawatir, aku akan telepon Bapak dan meminta beliau mengirimkan uang."
Adila terlihat mengakhiri makannya lalu melangkah pergi.

"Aku duluan ya Mbak, ada tugas yang harus aku kerjakan," katanya sambil berjalan menuju kamarnya.

"Iya."

"Kamu kalo butuh sesuatu langsung ngomong aja ya," ujar Mas Adam sesegera mungkin membuat dadaku makin digelayuti rasa cemburu dan marah.

"Iya, Mas." Gadis itu menatap sekilas dengan tatapan penuh makna lalu mengedipkan matanya perlahan dan naik ke lantai dua.

"Mas jangan terlalu memberi perhatian lebih bersikap wajar karena dia adalah adikku."

"Kamu ini aneh sekali ya, justru karena dia adikmu aku bersikap baik, andai dia orang lain, ya, bodo amat 'kan, ya?"

"Dengar Mas, aku nggak nyaman dengan kedekatan yang berlebihan Mas juga harus menjaga perasaanku sebagai istri"

"Sudahlah jangan menghilangkan selera makanku." Iya segera mengunyah makanan dengan cepat, meneguk sisa air yang ada di dalam gelas nya lalu bangkit meninggalkanku begitu saja di meja makan.

Biasanya kami bercengkrama dengan penuh keceriaan dan tawa, kami tidak akan saling meninggalkan sebelum sesi makan benar-benar berakhir, tapi kali ini. Semuanya berubah drastis.

*

Pukul 10 malam aku terbangun karena merasa haus, jadi, kuputuskan untuk bangkit sejenak untuk meneguk segelas air.

Setelah mengerjapkan mata dan meraba-raba disisiku, ternyata tidak ada Mas Adam di sana.
Agak heran karena biasanya jam 10 malam suamiku sudah berada di peraduan untuk melepas lelah, dia tidak terbiasa tidur larut malam karena pagi-pagi dia harus bangun dan berangkat kerja.

"Mas Adam," kupanggil Dia mungkin suamiku sedang berada di kamar mandi.
Tapi, tidak ada sahutan sedikitpun.

"Mas ...." Aku jadi penasaran jangan buru-buru menyibak selimut untuk mencari keberadaannya.

entah mengapa ketika membuka pintu kamar dan melihat suasana rumah yang lengang dadaku menjadi berdebar-debar.
Kulangkahkan kaki dengan perlahan sambil menahan nafas mencoba menelusuri sudut rumah, ruang tv, ruang makan, ruang tamu hingga dapur. Namun sayangnya tidak ada Mas Adam di sana.

sekarang tatapan mataku teralihkan kepada tangga menuju lantai 2,batinku bersenandika sendiri apakah suamiku sedang berada di atas sana atau tidak, dia ada di atas sana apa yang dilakukan? Namun, jika dia tidak berada di sana lantas di mana dia berada?

Kusibak tirai jendela, untuk memastikan bahwa Mas Adam tidak berada di teras maupun garasi, garasi mobil yang tidak berdinding membuatku mudah mengetahui ada tidaknya Mas Adam di sana.

"Benar dia tidak ada di sana, lalu di mana dia sekarang?"

Di lantai 2 hanya ada 2 kamar, yang satu kamar adilah dan satu lagi kamar Rain putraku. Lalu ada sebuah ruang dengan dinding tanpa sekat yang diperuntukkan untuk tempat bermain Rain dan Clara.

"Haruskah aku ke sana?" Ada perang batin yang saling bergejolak di dalam dadaku.

Perlahan kulangkahkan kaki meniti anak tangga sambil terus mengedarkan pandangan berusaha menemukan di mana Mas adam. Jika ternyata dia keluar dari rumah maka aneh sekali jika dia tidak memberitahuku.

Sesampai di atas ku pindahin seluruh ruangan bermain dan koridor yang menghubungkan dua kamar dimana hanya ada lampu tempel dinding yang berwarna kuning sedang menyala temaram.
Lamat-lamat kudengar suara orang berbisik lalu tertawa cekikikan.
Nuansanya sedikit seram karena pencahayaan yang tidak begitu terang sedikit membuatku bergidik tapi aku yakin jika yang sedang bercakap dan tertawa itu adalah manusia.

Kini aku benar-benar sudah berdiri di depan pintu kamar Adila, dari dalam tanah ke dengar suara mereka, Iya mereka, aku tahu sekali suara Mas Adam dan adik kandungku itu. Mereka bercakap-cakap dengan suara berbisik nama aku masih bisa menangkap bahwa mereka sedang membahas sesuatu.

Tok ... Tok ....

Kuketuk pintu kamar dengan cepat sedangkan darahku berdesir begitu cepat, berlomba naik ke otak.

"Mas Adam, Adila! Buka pintunya?"

"Masuk aja Mbak nggak dikunci kok," jawabnya santai dari dalam sana.

putar handle pintu lalu membukanya dengan cepat dan kudapati 2 orang itu sedang duduk menghadapi layar komputer.
Posisinya berada di depan meja komputer dan duduk bersila di lantai sedang Adila tidur dalam posisi menelungkup di ranjangnya.

Mengapa mereka berdua malam-malam begini berada di kamar dalam keadaan pintu tertutup, dan posisi Dila yang begitu santai di hadapan kakak iparnya Apakah itu adalah hal yang wajar?

"Apa yang sedang kalian lakukan?"

"Mas Adam lagi bantuin aku ngerjain tugas kuliah?"

"Kenapa pintunya ditutup?" cecarku.

"Cuaca dingin di luar Mbak, Mbak tahu sendiri kan kalo jendela yang pecah itu belum diganti kacanya, lagian aku dan Mas Adam nggak ngapa-ngapain kok," jawabnya santai sambil melirik Mas Adam dan ditanggapi dengan senyuman oleh suamiku.

"Ayo Mas ini sudah malam tidak baik juga kau berada di kamar seorang gadis."

"Baik, oke Adila kamu lanjutin sendiri ya," ucap Mas Adam sambil bangkit dan meninggalkan Adila.

"Iya Mas nggak papa. Makasih ya udah bantuin, Maaf Mbak, tadi aku pinjam suaminya sebentar." Ia tertawa kecil tanpa menunjukkan ekspresi takut sedikit pun padaku kakaknya.

"Apa maksudmu mengatakan kalimat pinjam?" aku mengernyit sambil menatap tajam kepadanya.

"Uhm anu ... Maksudku ...."

"Udahlah, aku cuma bantuin bentar kok, lagian tadi aku belum ngantuk," timpal Mas Adam sambil meraih tanganku lalu menuntunku keluar dari kamar Adila.

"Kamu apa apaan sih, mas," protesku ketika kami menuruni tangga.

"Nggak apa-apa aku kan cuman bantuin, kenapa sih mesti dijadikan alasan untuk marah?

"Aku tidak ingin menimbulkan fitnah Mas, kalau memang mau dibantu bisa kan dibantu di ruang keluarga atau di meja makan tidak harus di kamarnya," ujarku mendelik padanya.

"Kau hanya cemburu," ujarnya pelan

"Nggak juga Mas, aku hanya ingin menjaga kehormatan keluarga kita saja."

"Udah, kamu nggak usah khawatir." dia menyentuh kedua bahuku sambil tersenyum lalu merangkulku dan mengajakku ke kamar kamu.

Komentar

Login untuk melihat komentar!