MENGISI TEKO
          Apakah seorang anak hanya membutuhkan latihan pengantar  Calistung (membaCa, menuLis dan berhiTung)? Sekedar bisa merangkai huruf, mengeja kata dan mengenali maknanya? Juga menuliskan huruf-huruf dan angka sambil mengerjakan operasi penjumlahan dan pengurangan secara sederhana? 


         Saat ini  program Calistung bagi anak pak usia dini hanyalah sebatas keterampilan yang melatih motorik halus anak dan membekali kognitifnya. Padahal di usia keemasannya, otak seorang anak ibarat makhluk yang sedang lapar. Qolbunya bagaikan pengembara yang sedang aktif berusaha mengenali jati dirinya. Nuraninya bak  detektor  mungil yang juga  suka mencari dan menyampaikan kebenaran. Jadi bagus sekali segera melatihnya menjadi pencari  dan pembelajar  ilmu sejati (sebagaimana yang dicontohkan generasi muda Islam terdahulu). 


        Biasanya ada komentar: Ahh….! Terlalu berat untuknya! Bukan begitu, yang ada hanyalah metodenya saja  yang kurang kreatif dan mengena.  Mengajari anak Calistung dengan hanya mengandalkan otak kiri  secara  kaku dan konvensional  memang akan berhasil menjadikan anak mampu membaca, menulis dan berhitung secara tekstual  dan  primitif. Sebab nyatanya kemampuan baru ini justru diikuti gejala malas membaca buku dan fobia berhitung ; apalagi menulis dalam artian mencurahkan ide untuk dikemas menjadi sebuah kerangka pemikiran yang harus disampaikan pada orang lain.


        Beda halnya jika pelajaran Calistung disampaikan dengan metode yang lebih kaya, sesuai dengan tahapan perkembangan usia anak. Belajar sambil bermain masih menjadi kendaraan terbaik untuk membimbing dan mengajari anak. Memperhatikan keseimbangan otak kiri dan kanan diperlukan untuk menumbuhkan minat dan menancapkan jangkar keilmuan jangka panjang. 


        Di atas semua itu, pondasi semangat mental yang kuat dan senantiasa memancarkan mata air inspirasi  spiritual yang tiada pernah kering , wajib disyaratkan!  Oleh sebab itu, sebelum ribet dengan target huruf, suku kata atau angka,  haruslah disematkan dulu nilai ketauhidan dan akhlak dalam  silabus pengajaran guru atau orangtuanya.


          Menguatkan tauhid anak sambil belajar huruf, atau  menanamkan keindahan budi pekerti sambil memborong suku kata dan target berhitung. Itu baru asyik, bukan sebaliknya! Maka referensi terbaik dan terlengkap untuk panduan para pendidik dan orangtua  tidak bisa tidak hanyalah   Al Qur’an!


         Beragam kisah bermutu yang berkaitan erat dengan ketauhidan, akhlak, berbagai isyarat ilmiah tentang dasar-dasar ilmu pengetahuan bahkan  panduan kesuksesan hidup dunia akhirat bertebaran di dalam Al Qur’an. Mestinya, semakin paham seseorang dengan bahasa Arab dan cara menerjemahkannya secara baik dan benar, insyaallah semakin bagus improvisasinya saat mengalihbahasakannya untuk pengajaran.


         Karena itu untuk bisa menyampaikan sebuah kisah dari Al Qur’an dengan baik pada anak , selain perlu menguasai tehnik mendongeng/bercerita, kita juga  perlu  sedikit memahami atau  mengerti tentang bahasa Arab. Lebih elok dibumbui   pengetahuan dan ketrampilan menggunakan  Amtsal/Perumpamaan beserta kisah-kisah yang sohih dalam Al Qur’an. Kalau menginginkan anak didiknya bermental dan berakhlak Islami, asupan  ilmu dan cermin perilakunya semestinya juga Qur’ani. IBARAT SEBUAH TEKO, TIDAK  BOLEH SEMBARANGAN DIISI. Sebab apa  yang dimasukkan, begitu pula yang dikeluarkan! 


         Hanya  Al Qur’anlah yang layak  menjadi  landasan berfikir, penggerak sekaligus  motivator  terhebat bagi seorang anak!  Al Qur’anlah  yang akan memantik kreativitas  serta jalan pikiran anak kita saat ia hendak  membaca atau menulis sesuatu.  Di sinilah diperlukan sebuah  metode yang  berperan untuk menautkan secara mapan mutiara kehidupan dan cahaya keilmuan Al Qur’an dalam qolbu dan daya pikir seorang  anak! 

          Dengan demikian pada tahap curah gagasan,  lambat laun anak bukan saja  sekedar memperoleh pencerahan dan kelegaan semu. Seiring pertambahan usianya, ia pun akan mampu  merefleksikan dirinya dengan jalan  mengevaluasi,menginstropeksi diri dan menilai dirinya sendiri saat dia  melakukan aktivitas menulis. Setiap kali ia sedang kalut atau terbebani emosi-emosi negatif, ia akan mampu meluapkannya secara positif lewat tulisan untuk menggelontor atau mengurai kekalutannya itu baik melalui isi/konten maupun performa goresan tangannya. Semua ada ilmunya. Kabar baiknya, setiap anak adalah pembelajar yang sangat cepat dan tanggap!

 





Komentar

Login untuk melihat komentar!