Part 3
Malam itu, aku memutuskan untuk menemui emak di kamarnya. Wanita yang sangat kumuliakan itu tampak sedang duduk termenung seorang diri saat aku melongok melalui celah pintu.
"Mak ...," sapaku dari depan kamarnya yang kebetulan tidak tertutup.
Emak yang sedang selonjoran di atas matras yang biasanya digunakannya untuk tiduran, mendongak ke arahku.
"Masuklah, Nik," ujar emak segera. Mungkin beliau biss menebak bahwa ada hal penting yang hendak aku sampaikan padanya. Aku pun masuk, lantas mendekati emak.
"Mak, ada yang mau Nunik omongin ke Emak."
Emak mendengar sambil mengurut-urut tulang keringnya yang memang sering dikeluhkannya sakit.
"Ada apa, Nik? Kok kelihatannya serius amat, Nak?" tanya Emak sambil menatapku.
"Nunik mau pindah, Mak. Nunik mau bawa Didi ngontrak rumah petak punyanya pak haji Asnawi."
Emak menatapku dengan tatapan kaget. Namun sejurus kemudian, sepasang netra emak berubah menjadi kelabu.
"Kamu nggak betah ya, tinggal di rumah sini?" Emak bertanya kemudian. Kugelengkan kepala, walau jawaban sebenarnya memang iya.
"Nunik betah, Mak. Hanya saja kadang sikap Marwah dan Hani sering kelewatan ke Didi. Nunik nggak tega melihat perlakuan mereka ke Didi. Gimanapun, Nunik ini ibunya. Nunik sakit hati." Aku mengesat buliran airmata yang turun begitu saja dengan jari.
Melihatku menangis, mata emak pun turut berembun.
"Maafkan Emak ya, Nik, Emak gagal menjadi orang tua yang baik buat kalian. Harusnya kalian bersaudara hidup saling menyayangi, tapi adik- adikmu dari dulu memang sulit diatur. Mereka cuma takut sama almarhum bapak kalian saja." Ujar Emak lirih. Kuyakin, beliau pasti tengah menahan sebak di dadanya.
"Iya, Mak, bukan salah Emak. Nunik minta doa saja dari Emak, semoga Nunik dan Didi bisa hidup lebih baik dan gak ngerepotin siapapun. Doakan Nunik ya, Mak."
Aku sungkem mencium tangan emak yang mulai terisak -isak.
Emak melepaskan tangannya. Lalu ia berdiri dengan agak susah payah. Aku bingung dengan apa yang hendak dilakukan emak. Beliau berjalan mendekati lemari kayu usang yang terletak di sudut kamar. Dibukanya pintu lemari yang sudah rusak pintunya sebelah itu.
Tangan emak merogoh -rogoh ke bawah lipatan pakaiannya. Lalu dikeluarkannya sebuah bungkusan kain berwarna hitam. Emak kembali ke arahku dengan bungkusan kain hitam ditangannya yang sudah keriput.
Diulurkannya benda itu padaku. Mata emak masih berkaca -kaca.
"Apa ini, Mak?" tanyaku kebingungan.
Perlahan emak membuka bungkusan kain hitam di tangannya, lalu tersibaklah apa yang tersimpan di dalamnya. Sebuah kalung dengan tali rantai yang berukuran kira- kira dua puluh gram dan sebuah liontin berukir berbentuk naga. Kutaksir perhiasan ini beratnya tak kurang dari tiga puluh gram.
"Ini satu- satunya yang emak punya, Nik. Peninggalan Bapakmu dulu," ujar emak dengan suara bergetar.
Aku masih belum paham dengan maksud emak menunjukkan perhiasan ini kepadaku.
"Ambillah, Nik. Pakailah untuk modal usaha. Jangan jadi buruh cuci gosok terus. Kau harus bisa hidup lebih baik, Didi juga. Maafkan Emak, selama ini nggak pernah bisa kasih kalian apa- apa. Jangan mendendam pada adik- adikmu. Bagaimanapun__" Emak terisak-isak lagi, tak mampu melanjutkan kata. Begitu pun aku, lidahku kelu, sudah tak terbendung lagi airmata mendengar kata -kata emak.
"Bagaimana pun, Hani dan Marwah adalah adik-adikmu. Kalian lahir dari rahim yang sama, rahim Emak, Nak. Maafkanlah mereka." Lanjut emak setelah bisa menguasai diri. Tarikan napasnya begitu dalam, menandakan betapa berat beban yang saat ini tengah menghimpit dada beliau.
"Tapi Nunik nggak bisa terima ini, Mak. Ini punya Emak. Seharusnya Nunik lah yang memberi ke Emak, bukan sebaliknya." Aku berkata dengan perasaan pilu yang mengiris sembilu.
Emak menggeleng. Diraihnya tanganku, lalu dibukanya kepalan tanganku. Emak kemudian menjejalkan perhiasan itu ke dalam tanganku yang terbuka.
"Bawalah ini, Nik. Gunakan sebaik- baiknya. Emak yakin, jika tak kau ambil hari ini, maka besok lusa bisa jadi adik- adikmu atau suami- suami mereka yang akan mengambilnya." Emak berkata, sedikit mengagetkanku.
"Semoga setelah kau keluar dari rumah ini, kau dan anakmu diangkat derajatnya oleh Allah dan hidup berbahagia. Jaga cucu Emak, didik dia menjadi anak soleh."
Serta merta kupeluk tubuh emak. Malam itu, kami berdua sama sama larut dalam tangis.
🍁🍁🍁