Part 4
Siang itu, setelah aku selesai mengerjakan pekerjaan mencuci di rumah para tetangga yang memakai jasaku, aku berjalan menuju rumah pak haji Asnawi, pemilik kontrakan rumah petak yang rencananya akan kusewa.
Dalam hati aku berdoa semoga masih ada petakan yang kosong untukku dan Didi nantinya.
"Assalamualaikum ...!" Aku mengucap salam di depan rumah pak haji Asnawi yang terbuka.
"Assalamualaikum ...!" ucapku lagi karena setelah beberapa detik, masih tidak terdengar sahutan dari dalam. Kali ini sengaja agak sedikit kukeraskan suaraku.
"Waalaikumsalam." Terdengar jawaban, lalu keluar seorang wanita paro baya baya dengan senyum ramah. Mengenakan khimar panjang, ia menyambutku di muka rumah.
"Cari siapa, Neng?" Tanyanya ramah. Wajahnya khas keibuan yang meneduhkan bagi siapapun yang memandang.
"Pak haji nya ada, Bu?" tanyaku sopan.
"Oh, suami saya lagi pergi ke kampung sebelah, ada ponakan yang sedang persiapan walimahan minggu depan," jawab wanita di depanku, yang tak lain ternyata istri pak haji Asnawi sang pemilik kontrakan.
"Saya Nunik, Bu. Sebelumnya sudah ada janji sama pak haji ...." ucapku ragu- ragu.
"Oh, si Neng ini yang mau ngontrak salah satu rumah kami, ya? Suami saya memang titip pesan kemarin. Di suruh kasihin kunci, kalau Neng dateng," ujarnya ramah, membuatku tersenyum lega.
"Sebentar ya, saya ambil dulu kuncinya. Mau masuk dulu?" tawar beliau ramah.
"Tidak usah, Bu, saya tunggu di sini saja," jawabku. Ia pun tersenyun lalu masuk ke dalam. Tak berapa lama, beliau pun kembali lagi dengan dua buah anak kunci yang ditautkan dalam satu gantungan, lalu diserahkan padaku.
"Terimakasih banyak, Bu Haji, saya permisi dulu, ya. Assalamualaikum." Aku pun lantas pamit pada istri haji Asnawi tersebut.
*
"Mak, mana lagi yang mau dimasukin dalam kardus?" Didi bertanya kepadaku.
Dia tampak bersemangat sekali membantu mengepaki barang- barang kami yang tak seberapa banyak. Ada tiga tumpukan kardus mie instan yang di susun Didi di salah satu sisi kamar. Berisi pakaianku dan Didi, juga beberapa perlengkapan sekolah miliknya. Sore ini juga, rencananya kami akan pindah ke rumah kontrakan haji Asnawi.
"Sudah, sisanya biar Emak saja. Didi makan dulu, tadi sudah Emak siapin makannya di dapur." Jawabku.
Putra kesayanganku itu mengangguk patuh, kemudian meninggalkanku menuju dapur. Aku melipat seprai dan selimut yang akan kubawa, ketika tiba -tiba telingaku mendengar suara benda dibanting dari arah dapur.
Teringat Didi baru saja ke dapur, aku pun langsung buru -buru ke sana, takut sesuatu menimpa anakku.
Pemandangan dihadapanku membuatku terkejut campur bingung. Pecahan beling menyebar di seluruh lantai dapur. Didi anakku berdiri ketakutan, berhadapan dengan tubuh Wawan, suami Marwah yang sosoknya terlihat mengintimidasi anakku.
"Ada apa ini?" tanyaku, pandangan mata kuarahkan ke Wawan. Hening. Wawan tak menjawab.
"Paman marah, Mak, gara- gara Didi ijin ke warungnya tunggu Didi selesai makan dulu. Paman bilang pengen nge-rokok sekarang, trus Paman banting piring Didi."
Didi menjawab. Bocah kecilku itu gemetar sambil melirik takut -takut pada Wawan.
Serrrrrr!
Emosiku langsung tersulut bagai api yang disiram dengan bensin.
"Apa-apaan kau Wan?! Apa hakmu berlaku begitu pada anakku? Lumpuh kakimu, sampai tak sanggup kau pergi sendiri ke warung beli rokok?!" teriakku dengan emosi yang meluap-luap.
Menurutku, kelakuan adik iparku yang satu ini sudah benar benar tidak dapat kutolerir. Dari sekian manusia manusia kurang ajar yang ada di rumah ini, memang Wawan lah yang paling keterlaluan bersikap semena mena kepada anakku.
"Pantas si Didi ini kecil- kecil sudah kurang ajar, berani melawan. Tapi sekarang aku tak heran, melihat ibunya macam kau ini, tahulah aku bagaimana hasil didikanmu, Kak," jawab Wawan. Kedua mattanya tampak liar menatapku, sedang di mulutnya tersungging senyum sinis lagi merendahkan.
"Jangan kau ajari aku cara mendidik anak, sungguh tak pantas kata- kata itu keluar dari mulut busukmu! Lelaki pengangguran yang kerjanya hanya makan tidur saja, tapi lagakmu seakan punya segalanya, hingga kau merasa bebas menyuruh anakku ini dan itu!" ujarku geram.
Tak lama Marwah muncul sambil menggendong Alia, anaknya yang pertama, diatas perutnya yang membuncit.
"Jangan kelewatan kau kak kalau bicara!" sergah Marwah. Sepertinya dia tak terima karena aku memarahi suaminya.
Kali ini aku beralih pada adikku itu. Adik yang semasa kecil selalu kugendong dan kubawa main kemana-mana selagi emak dan bapak bekerja menggarap sawah. Adik yang sangat kusayang, kujaga bagaikan permata.
"Harusnya kau ucapkan itu buat suamimu, Marwah. Sudah cukup aku bersabar dengan kelakuan kalian semua, adik- adik yang tak pernah menghargai apalagi menghormatiku!
Dua tahun, kalian perlakukan aku dan Didi bagai babu! Aku diam saja serta terus mengalah dan tak mau ribut, karena aku menghargai Emak selaku pemilik rumah! Tapi jangan pikir kalian bisa terus semena mena dan zalim kepada kami. Nggak takut kalian sama azab Allah?" seruku lantang. Panjang lebar kuomeli Marwah.
"Ada apa ini ribut- ribut?" Kali ini suara emakku yang bicara.
"Astaghfirullah...!"
Emak beristighfar saat dilihatnya lantai dapur dipenuhi dengan pecahan beling yang bercampur sisa makakan Didi yang belum sempat dihabiskannya.
"Huh, lebih baik kau cepat keluar dari rumah ini, bawa anakmu sekalian!" ujar Marwah sinis. Ingin tertawa aku, dia mengusirku seolah dia punya hak untuk itu.
"Memang itu niatku. Kau jangan kuatir, hari ini juga aku akan pindah bersama anakku. Kalian, kalau masih punya muka, segeralah berumah sendiri, kasihan kulihat emak yang sudah tua tapi harus terus bekerja demi menghidupi manusia- manusia pemalas macam kalian ini!"
Marwah hendak menyahut lagi, tapi buru- buru dicegah oleh emak.
"Sudah, sudah, Marwah! Kau jangan berulah terus. Harusnya suamimu itu minta maaf pada kakakmu. Kalian ini semua sama anakku, tapi aku juga tak bisa diam saja melihat cucuku kalian zolimi."
Marwah mendecak kesal, hendak berargumen namun akhirnya diurungkan. Ditariknya tangan Wawan suaminya masuk ke kamar. Tinggallah aku, emak, dan Didi di dapur yang kondisinya berantakan.
Kupunguti pecahan beling yang besar- besar, kumasukkan ke dalam kantong kresek. Didi sigap mengambil sapu dan sekop, untuk membersihkan pecahan beling halus, agar tak melukai kaki siapapun yang menginjaknya nanti.
🍁🍁🍁