Part 2
Part 1


"Di, tolong beliin Bibi mie sagu di warung Mak Ani." Kudengar Marwah, adikku nomor dua, menyuruh anakku Didi.

"Iya, sebentar, Bi," jawab anakku itu.

"Duh, cepetan, adek bayi dalam perut Bibi dah laper, nih." Desak Marwah tak sabar, tangannya mengelus perutnya yang membulat besar, berisi janin yang berusia tujuh bulan.

Aku yang saat itu sedang berada di dalam kamar, beranjak keluar. Pikirku, biar aku saja yang membelikan mie sagu permintaan Marwah itu.

Saat aku keluar, kulihat Didi anakku ternyata sedang sibuk menyelesaikan tugas prakarya dari sekolah. Di hadapannya tampak sebuah miniatur rumah rumahan yang hampir separoh jadi, tersusun dari batang batang stick es krim yang direkatkan dengan lem.

"Sini, Mar, biar Kakak aja yang pergi," ujarku.
Marwah beralih menatap ke arahku. Wajahnya tampak cemberut masam.

"Ya udah, nih!" ujarnya, menyerahkan sebuah mangkok beling serta selembar uang lima ribuan padaku. Aku hendak melangkah keluar rumah, ketika suara Didi menahan langkahku.

"Jangan Mak, biar Didi aja yang pergi. Di luar panas," cegahnya.

Kutatap langit terik di luar, matahari sedang maksimal memancarkan sinarnya. Tak sempat menjawab, Didi sudah merebut mangkok dan uang lima ribuan dari tanganku, lalu segera berlari keluar menantang panas tanpa alas kaki. Hatiku pedih memandangi anakku itu.

Aku memutuskan untuk menepikan prakarya milik Didi, yang sudah hampir jadi itu, menaruhnya diatas bufet ruang tamu, agar tidak terinjak kaki para penghuni di rumah juga jangkauan tangan para keponakanku yang tinggal serumah dengan kami.

Tak sampai sepuluh menit, Didi sudah kembali dengan semangkuk mie sagu yang dia pegang dengan kedua tangannya. Mungkin karena ia sambil berlari, sebagian kuah mie sagu jadi tumpah di tepian mangkok.

"Duh kau ini, gak bisa apa pelan-pelan?! Sampai tumpah tumpah begini kuahnya!" sungut Marwah saat menerima mangkuk berisi mie sagu dari tangan Didi.

Tak ada ucapan terima kasihnya pada Didi yang sudah berpanas-panasan demi keinginannya makan mie sagu.

"Maaf, Bi." Hanya itu kalimat yang diucapkan anakku. 

Ia lalu melanjutkan tugasnya tadi tanpa mengindahkan pelototan mata Marwah yang sepertinya masih kesal gara gara kuah mie-nya tumpah sedikit.

*

Semenjak suamiku meninggal dua tahun yang lalu, aku terpaksa tinggal menumpang lagi di rumah ibuku. Aku yang hanya bekerja sebagai tukang gosok cuci di rumah beberapa tetangga, tak punya cukup uang untuk mengontrak rumah sekaligus menyekolahkan Didi, anakku satu-satunya.

Aku pun memutuskan untuk hidup menumpang tinggal di rumah ini, setidaknya aku dan anakku punya tempat untuk berteduh sembari mengumpulkan uang agar suatu saat nanti bisa mengontrak rumah sendiri seperti ketika mendiang Bang Aslan, suamiku, masih hidup.

Di rumah ibuku ini, kami tinggal beramai-ramai. Adik perempuanku ada dua orang, Marwah yang nomer dua, dan Hani yang bungsu. Kedua adikku masing-masing juga telah berkeluarga dan punya anak. Tapi mereka juga masih tinggal serumah dengan Emak, panggilan kami untuk wanita yang di bawah telapak kakinya terdapat surga kami, anak anaknya. Kini rumah Emak makin sesak dengan kehadiranku dan Didi.

Awal kepindahanku kemari, aku sudah bisa merasakan perasaan tak suka dari kedua adikku, Marwah dan Hani. Mungkin mereka takut, aku dan Didi hanya akan menjadi beban bagi mereka. Padahal aku tentu tidak akan berpangku tangan, mengandalkan hidup dari belas kasihan, meskipun pada saudara kandung sendiri.

Sebisa mungkin, aku kerjakan semua pekerjaan rumah di rumah emak yang kutumpangi kini. Mulai dari memasak nasi, mencuci pakaian, termasuk pakaian emak dan adik adikku, menyapu, dan mengepel rumah.

Semua aku kerjakan saat pagi buta, setelah sholat subuh, sebelum aku memulai pekerjaan sebagai tukang cuci di rumah tetangga yang memakai jasaku. Sedangkan Marwa dan Hani, baru akan bangun ketika matahari sudah tinggi.

Emak kadang membantuku membersihkan rumah, tapi sering kularang. Kasihan, beliau sudah tua. Tidak tega aku jika harus melibatkannya dalam mengerjakan pekerjaan rumah yang seharusnya dikerjakan oleh anak anaknya.

Hanya Didi anakku yang kadang kupintai tolong untuk mencuci piring sebelum ia berangkat ke sekolah. Ya, meskipun Didi anak lak ilaki, tapi sedari dini ia kuajari agar pandai membawa diri serta mandiri. Kami sadar kami cuma menumpang, meskipun di rumah keluarga sendiri.

Sejak kedatanganku dan Didi, adik adikku itu justru menjadi malas malasan. Kerjanya mereka hanya di kamar, bersama suami mereka yang jarang pergi bekerja. Keluar kamar hanya untuk makan, mandi dan jajan. Tak pernah mereka meringankan tangan hanya untuk sekedar membantuku.

Kalimat sarkas yang menyinggung perasaan sudah tak terbilang lagi entah berapa kali. Kami diperlakukan layaknya orang asing, juga sebagai tenaga gratisan untuk mereka suruh suruh. Terutama perintah perintah mereka terhadap Didi anakku.

"Di, bibi mau mandi, tolong timbain air!"

"Di, beliin paman rokok di warung!"

"Di, jagain Mira, Bibi mau makan."

"Di, cuciin sepatu sekolah si Riri!" 

Dan banyak perintah perintah lainnya, seakan anakku adalah pesuruh alias babu yang harus siap melaksanakan perintah 24 jam dari mereka.

Aku sedih, karena kemiskinanku, aku tak mampu membela anakku yang di zolimi saudara kandungku sendiri. Mereka pun seolah tak menganggap hubungan pertalian darah ini ada diantara kami. Padahal aku adalah kakak tertua, yang seharusnya mereka hargai dan hormati.

Pernah suatu hari, adikku Marwah baru pulang sehabis  berjalan jalan dengan suaminya. Mereka membawa pulang tiga bungkus sup buah yang mungkin dibeli pada saat dalam perjalanan pulang.

"Di, tolong ambilin mangkok tiga, sama sendok!"

Seperti biasa, adikku Marwah memberi perintah pada anakku.

Aku sedang berada di dapur, baru saja selesai menyikat kamar mandi.

"Bibi beli es buah, Mak. Semoga Didi dikasih ya, Mak. Kayaknya enak dan segar." Mata anakku tampak berbinar penuh harap saat mengucapkannya.  

Dengan gesit diambilnya tiga buah mangkuk dan sendok sesuai perintah Marwah tadi. Tapi mendung justru muncul di pelupuk mataku, aku khawatir harapan anakku itu hanya sia sia. Mengingat bagaimana sikap serta perangai Marwa selama ini, takut dia kecewa, jika tak ternyata tak kebagian jatah.

Dan benar saja, Didi kembali ke dapur dengan bahu yang terkulai lemah. Semburat kecewa tak mampu ia sembunyikan di wajah polosnya. Bocah sembilan tahun kesayanganku ini, lagi lagi harus menelan kecewa.

🍁🍁🍁

Jangan lupa tinggalin jejak ya di kolom komentar. Biar aku tahu kalau tulisanku ada yang baca.🥰