Part 7
Part 6


Jarak antara rumah emak dan kontrakan pak Haji Asnawi tidaklah terlalu jauh. Hanya tiga puluh menit perjalanan jika ditempuh dengan berjalan kaki. Bisa dibilang masih dalam satu kecamatan. Sengaja aku tidak mau terlalu jauh dengan emak. Agar memudahkan jika sesekali aku ingin mengunjungi beliau di rumah.

Rumah kontrakan ini tidak terlalu besar. Hanya terdiri dari dua buah kamar tidur berukuran 2,5 x 3 meter, sebuah ruang tamu berukuran 3 x 3 meter, dapur yang tak terlalu luas, juga sebuah kamar mandi dan toilet yang menjadi satu. Cukuplah untuk kutinggali bersama Didi, anak semata wayangku.

Aku bersyukur ketika melihat sebuah lemari kayu kecil di dalam kamar tidur yang akan kami tempati.
Sudah agak lapuk sedikit, tapi masih bisa kami gunakan. Aku mencoba membuka pintu lemari tersebut. Menyeruaklah bau apek setelah pintunya berhasil kubuka. 

"Baju- baju kita akan ditaruh di sini ya Mak?" tanya Didi.
Aku menoleh padanya, lantas menganggukkan kepala.

"Iya, Di. Kemarikan Nak, kotak -kotak berisi pakaian kita tadi. Biar emak yang susun." 

Didi segera menjalankan perintahku. Aku membersihkan debu yang menempel di dalam lemari dengan sebuah kain lap yang sudah kubasahi dengan air.

"Biar Didi bantu, Mak." Ujarnya bersemangat.

Aku tersenyum sambil memandangi manik mata Didi, yang mengingatkanku pada almarhum bapaknya. Kata orang wajah Didi dominan wajahku, tapi matanya adalah mata almarhum suamiku.

Kubiarkan Didi menyusun baju- baju miliknya dan milikku, meski agak sedikit berantakan tapi kubiarkan. Nanti saja akan kurapihkan lagi. Aku tak ingin membuat anakku kecil hati dengan menyela pekerjaannya.

Tak terasa seminggu sudah aku menempati rumah kontrakanku. Sebagian uang tabungan milikku kubelikan sebuah kompor gas lengkap dengan tabungnya, setengah lusin piring, beberapa mangkok dan gelas, sendok, juga peralatan masak sederhana lainnya.

Aku juga membeli dua buah tikar. Satu kuletakkan di dapur, sebagai alas kami makan di lantai dapur karena kami tak punya meja makan. Sebuah lagi kupasang di ruang tamu, agar tampak lebih rapi meski kami tak punya meja dan kursi.

Saat malam tiba, kulihat Didi sering kepanasan jika tidur di dalam kamar. Memang agak gerah, karena aku juga merasakannya. Kadang ku kipasi tubuh anakku yang berkeringat itu dengan sebuah karton dari kardus yang kupotong dengan pisau.

Rasa sedih kadang melanda pikiran, andai bisa, tentunya aku ingin memberi segala fasilitas agar anakku merasa nyaman. Tapi aku sadar, semua butuh kerja keras dan proses. Itu juga yang selalu kutanamkan dalam pikiran anakku.

Dan aku bersyukur, Allah menganugerahiku seorang putra yang pengertian. Seperti mengerti dengan keadaan, ia tak pernah banyak menuntut. Didi tumbuh menjadi anak mandiri, dan pola pikirnya pun lebih dewasa dari anak- anak seumurannya.

"Mbak Nuni ...." Bu Siti, salah satu pelanggan jasaku, memanggil.Aku yang kebetulan sudah menyelesaikan pekerjaan di rumahnya pun menghampirinya.


"Ini, upah mbak Nunik minggu ini, ya." Ujarnya sambil menyerahkan selembar uang seratus ribuan dan selembar lagi uang lima puluh ribuan. Segitulah upahku yang kuminta untuk dibayar setiap minggu. Aku menerimanya dengan rasa syukur dan mengucapkan terimakasih.

Aku memang tidak mematok harga mahal untuk jasa cuci setrika ku pada tiap pelanggan. Tujuanku adalah agar semakin banyak yang memakai jasaku. Kini sudah ada enam keluarga yang memakai tenagaku sebagai buruh cuci setrika. Letih sudah tak kuhiraukan. Yang penting aku bisa menghidupi dan menyekolahkan anakku.

Aku memandangi lembaran uang ditanganku yang jumlahnya sangat lumayan bagiku. Setiap akhir pekan, aku menerima upah dari para pelangganku. Jika dari tiap rumah aku menerima upah seratus lima puluh ribu rupiah, maka dari enam pelanggan aku mendapatkan total sembilan ratus ribu rupiah.

Tanpa terasa air mata bahagia menetes dari kedua pelupuk mata ini.

Kusisihkan uang untuk simpanan, takut jika sewaktu-waktu aku atau Didi sakit dan butuh ke dokter atau jika ada kebutuhan mendesak, karena kita tak pernah tau bagaimana hidup kita kelak, bahkan sedetik ke depan, bukan?

Kusisihkan lagi uang guna membeli sebuah kipas angin kecil untuk di kamar kami, agar Didi tak kepanasan setiap malam, membeli beras, minyak, gas dan keperluan dapur lainnya. Aku juga berencana untuk memberi emak ku sedikit uang dari hasil kerjaku.

Besoknya, ketika aku sudah selesai berkeliling mengerjakan pekerjaan dari rumah ke rumah, aku pun pergi menuju pasar. Di sana aku banyak toko elektronik, aku berencana memberi kejutan untuk anakku hari ini.

*

"Wahhh kipas angiin!!" Seru Didi begitu ia tiba di rumah. Seragam sekolah masih melekat di badannya. Ia terpana melihat benda kecil yang berputar kencang baling-balingnya dan menghasilkan hawa sejuk karena pergerakan udara itu.

"Yeeayy! Sekarang kita tidurnya gak kepanasan lagi, Mak." Didi bicara sambil bola matanya berpindah-pindah dari melihat aku lalu ke kipas angin di depannya itu.

"Iya, Di. Sekarang ayo ganti bajunya ya Nak. Kamu makan, terus nanti kita pergi ke rumah nenek setelah itu." Ujarku padanya.

"Siap, Mak!" Ia menjawab, lalu dengan gerakan cepat dia mengganti baju seragamnya, memakai baju sehari-harinya.

Ku temani anakku itu ke dapur, duduk beralaskan tikar, kami pun makan dengan lauk telur dadar dan tumis sawi kesukaan Didi.

Selesai makan, ku minta Didi untuk sholat zhuhur, karena waktu sudah menunjukkan pukul satu siang lewat. Didi pulang sekolah setiap pukul 12.30 siang dari hari Senin hingga Kamis. Oleh karenanya dia selalu agak terlambat zhuhurnya.

"Mak, Didi udah selesai, ayok kita ke rumah nenek sekarang." Ajaknya.

"Didi gak capek pulang sekolah langsung ke rumah nenek? Istirahat saja dulu, hari juga masih panas Nak. Nanti saja kalau matahari sudah tak terlalu terik, baru kita ke rumah nenek ya?"
Jawabku.

"Iya, Mak. Kalau gitu Didi mau ngerjain PR dulu, ya. Biar nanti tenang kalau kita ke rumah nenek. Sudah gak kepikiran sm PR lagi, hehe." Senyumnya menampilkan barisan gigi kecil yang rapi.

Aku tersenyum mengiyakan. Lalu aku menuju belakang rumah, hendak mencuci piring kotor sisa aku dan Didi makan.

🍁🍁🍁