Jangan lupa subscribe sebelum membacanya, tinggalkan jejak berupa love dan komen ya.
Terima kasih ...
🥀🥀🥀🥀
“Sari mohon, Mbak.”
Kini ia duduk bersimpuh di depanku.
“Sari bangun, tidak enak kalau di lihat orang,” ucapku sambil mengangkat tubuhnya.
“Sari mohon, Mbak. Saat ini Sari sedang menstruasi pertama kali. Sari takut, Sari ingin keluar dari tempat ini. Sari mohon ijinkan Sari ikut Mbak!” ucapnya lirih dengan penuh harap.
Rasanya pilu mendengar ucapan wanita kecil ini. Rasa yang sama yang pernah aku rasakan beberapa tahun lalu, getir, sakit membayangkan keperawananki di jual paksa. Aku yang tak mampu berbuat apa-apa hanya mampu menurut serta meratapi tubuhku.
“Siapa yang bilang Mbak mau kabur, Sar.”
“Maafkan Sari, Mbak. Tadi tak sengaja mendengar obrolan Mbak Jeli dengan Ustad Farid di dapur.”
“Ehem ....”
Deheman dengan suara lantang itu membuat kami kalang kabut. Tanpa melihat sumber suara pun kami sudah sadar siapa yang saat ini telah datang.
“Mami Me – la – ti,” ucap kami lirih yang hampir tak terdengar, hanya terlihat dari gerakan bibir saja.
Mami menatap kami dengan bola mata yang membulat sempurna, apa ia mendengar obrolan kami? Mampus aku. Baik tangan maupun kaki terasa gemetaran, keringat dingin pun ikut menemaniku saat ini, wanita di sampingku itu pun sepertinya merasakan hal yang sama, ku lihat banyak peluh yang kini hinggap di dahinya.
‘Tenang, Anjeli . Kamu gak boleh panik,'
“Sari untuk apa kamu di sini? Bukannya urusan dapur belum selesai?’”
Sari memang di pekerjakan mengurus dapur sebelum menstruasi pertama hadir, setelah ia mengalami namanya datang bulan ia akan di tempatkan sepertiku dan teman-teman lain, di perjual belikan begitu saja. Apalagi menstruasi pertama adalah hal yang di tunggu-tunggu oleh lelaki mendayu itu. Sudah pasti ia akan mendulang uang yang banyak dari hasil malam wanita belia yang terenggut paksa.
“Maaf, Mi. Anjeli yang memintanya datang , mau minta tolong mengambilkan baskom air dingin di dapur,” dustaku.
“Ambil barang yang di butuhkan Jeli, dan segera selesaikan tugasmu,” ucap Mami Melati dengan tegasnya.
Lelaki mendayu itu memang kadang terlihat lembek, namun juga lebih sering terlihat garang.
“Baik, Mi,” ucap Sari.
“Oh ya, tunggu!”
Sari tampak menghentikan langkahnya.
“Apakah kamu sudah mengalami menstruasi pertama? Tadi saya dapat kabar kalau kamu habis membeli pembalut di warung.”
Kulihat tubuh Sari yang tampak gemetaran hebat, peluh sebesar keringatpun kini menghampiri tubuh kecil itu.
“I-iya, Mj,” jawab Sari sambil mengangguk
“Sebentar lagi kamu gak perlu mencuci piring kotor, kastamu akan naik seperti Jeli. Kamu akan mendapatkan uang banyak, nikmati hidupmu,” ucap Mami dengan gelak tawanya.
Lelaki mendayu itu tampak girang ketika mendapati mendapati seorang wanita di sini mengalami mentruasi pertamanya, ia akan menghubungi beberapa pelanggan VIP dan menjual harga diri wanita itu.
Mami Melati berlalu. Sedangkan Sari kembali berjalan ke arahku, menggenggam tanganku begitu erat.
“Sari mohon, Mbak. Bantu Sari.”
Kujumpai guratan ketakutan di wajah wanita cantik itu.
“Mbak janji akan membawamu pergi,” ucapku yakin hingga sesaat kemudian wanita itu melepaskan genggaman tangannya.
Aku memasuki kamar yang berukuran tak luas ini, kembali menjatuhkan bobotku, membenamkan tubuh dengan selimut bergambar hello Kitty, aku memikirkan kalimat yang baru saja aku ucap, bagaimana bisa aku membantu Sari pergi dari tempat ini, sedangkan nasibku saja tidak jelas.
Aku membayangkan strategi apa yang harus aku rencanakan, hingga tak kusadari mata ku yang dari tadi menahan kantuk ikut terpejam.
Aku memakai gamis kaftan berwarna putih yang aku beli online saat lebaran tahun lalu, memakai jilbab dengan warna senada tanpa memoleskan make up sedikitpun. Paras ayu ku begitu tertampang saat aku melihat cermin kamar, tak akan ada yang menyadari penyamaranku saat ini.
Aku berjalan menyusuri lorong yang di sekat oleh oleh kamar-kamar. Semua tampak sepi, aku yakin semua menghadiri tausiyah Gus Farid saat ini. Lelaki itu bertekad sekali melakukan tausiyah di sini selama sebulan penuh.
Sari yang telah menungguku di pintu utama, telah siap dengan ransel di belakangnya. Wanita belia berparas ayu itu tampak gemetaran dengan tangan yang mengepal.
“Ayo, Mbak Jeli, mumpung penjagaan lagi kosong.”
Aku terheran melihat gerbang yang kini tak berpenghuni, bahkan pos penjagaan pun tak nampak seorang pun, hanya terlihat dua gelas kopi yang sepertinya telah dingin.
‘Ya Allah, apakah ini yang namanya kebesaranmu untukku berjuang melawan kemudharatan?’
Dengan perlahan kaki kami melangkah melewati gerbang maksiat ini. Bergegas kami berlari secepat mungkin hingga suatu mobil terhenti di depan kami.
“Mau ke mana, Neng. Silahkan masuk.”
Abang angkutan itu meminta kami masuk, sedangkan kami terus saja melihat sekitar, memastikan agar tak ada anak buah Mami yang mengikuti kami.
Setelah melihat sekitar tampak aman, kami bergegas memasuki mesin tua itu.
Duduk di salah satu bangku depan pintu mobil angkutan kota ini.
Di sebelahnya ada tiga orang yang sudah duduk di bangku belakang, mata kami membulat sempurna saat melihat penumpang yang kini tak jauh dariku.
Lelaki mendayu itu duduk dan melotot ke arah kami. Wajahnya memerah menahan amarah, sedangkan kedua tangannya saling mengepal.
Sari yang kini menyadari Mami Melati, mendekati tubuhku dengan raut ketakutan. Akupun merasakan hal yang sama, kurasakan keringat jagung ini mulai bercucuran dan membasahi tubuhku.
“Kamu pikir aku bisa melepaskan tambang emas begitu saja!” ucap Mami Melati sambil menggertakjan gigi-giginya.
Nyaliku semakin ciut, ketika dua bodyguard yang mendampingi Mami Melati itu mendekatiku, memegang erat tanganku dan memaksa kami kembali masuk ke neraka dunia itu.
“Tidak ...,” teriakku sekeras-kerasnya berharap ada seseorang yang membantu kami.
Brukk ....
Aku tersungkur ke lantai, noda lebam di tubuhku semakin terasa.
‘Syukurlah, semua hanya mimpi,’ batinku sambil memegang dadaku yang kini semakin tak karuan.
Dalam mimpinya semua tampak menyakitkan, apalagi dalam kenyataan. Pernah sesekali aku berpikir untuk mengurungkan niatku, tapi bayangan Sari dengan wajah polos penuh harap itu membuat aku kembali tak tega untuk menyerah.
Baik maju ataupun mundur bagiku tetaplah sama. Tak mungkin seumur hidupku selalu berada di limbah kedustaan.
Layar pipih berwarna merah muda dengan gantungan hello Kitty itu berdering. Sebuah panggilan dengan nomer asing ada di dalamnya.
Aku melewatkan panggilan itu begitu saja, lebih tertarik mencari cara bagaimana keluar dari tempat ini.
Kini sebuah getar dari pesan singkat itu menghampiri ponselku. Dari nomer yang sama dengan panggilan yang aku lewatkan.
Aku masih tak tertarik untuk membacanya, justru bola mataku kini mengarah ke buku yang aku biarkan terletak begitu saja di meja rias, kuraih buku tuntunan shalat lengkap itu, ku baca bacaan yang bagiku asing. Hingga aku lebih memilih membaca artiannya.
Air mataku tak terasa menetes saat aku membaca arti dari doa di antara dua sujud.