bab. 4 pertemuan tak di sengaja
Jangan lupa subscribe sebelum membacanya, tinggalkan jejak berupa love dan komen ya, terima kasih ...

🥀🥀🥀

Pagi itu aku di antar pulang sambil meringis kesakitan, bekas gigitan semalam memang membuatku ngeri. Bagaimana tidak ia terus menyakiti tubuhku semalaman. 

Sedangkan Mami tampak bahagia mengantar Baskoro pulang. Tampaknya ia benar-benar dapat jatah banyak dari lelaki itu.

“Ini jatahmu, Jeli.” 
Mami memberikan lembaran uang itu ke tanganku.

Saat kuhitung jumlahnya ternyata menurun dari jumlah kemarin. 

“Mi, kenapa justru berkurang. Bukankan Mami janji memberikan tips kepadaku!” protesku.

“Sudah jangan banyak cincau. Tubuhmu memar tak mungkin malam ini kamu mampu melayani pelanggan. Jadi bayaranmu kupotong untuk liburmu.”

Aku mendengkus sebal. Seperti biasa, wanita jadi-jadian itu selalu saja berbuat tak adil seperti ini. 

“Kamu istirahat, aku mau siap-siap melihat Ayangku kembali berceramah,” ucap Mami Melati bergegas meninggalkanku. 

Aku menjatuhkan tubuhku di atas kasur, menahan luka lebam yang hampir di sekujur tubuh. 

Pekerjaan seperti ini bukanlah inginku, kalau aku boleh memilih aku ingin bisa hidup di tempat lain. Aku rindu akan Surga yang di ucapkan Gus Farid tempo lalu. Bukan Surga semu yang aku ciptakan. 


Gus Farid? Kenapa aku mengingat ia lagi? 

Aku meraih buku yang di berikannya kepadaku, buku tuntunan shalat. Bagaimana rasanya shalat? Sedangkan dari kecil aku belum pernah melakukannya. 

Sekilas aku membuka lembaran demi lembaran kertas itu, melihat beberapa gambar serta kalimat yang ada di dalamnya. Di mulai dari takbir, bacaan alfatihah, surat-surat. Hah, ternyata susah. Aku kembali menutup buku itu dengan kasar hingga sebuah kertas jatuh dari dalamnya.

“Tak ada kata terlambat untuk memulai kebaikan,”

Satu kalimat yang memang benar-benar menembus kalbuku, sepintas bayangan akan Surga yang pernah ia ceritakan itu terlintas di otakku. Kalau boleh jujur  setelah aku kepo dengan Gus jadi-jadian itu aku memutar akun youtube tempat ia berdakwah. Mengenai bagaimana pentingnya Shalat lima Waktu. Serta beberapa kalimat yang membuatku seakan memiliki telaga di tengah gurun tandus yang terik. 

“Allah akan mengampuni dosa hambanya meskipun itu sebanyak bui di lautan,” 

Lantas bagaimana aku bertaubat dengan taubatan nasuha. Sedangkan aku shalatpun tak mampu. Hah, aku payah. 

Aku memilih tidur dari pada mendengarkan tausiyah Gus Farid, meskipun sebenarnya aku ingin juga berada di sana, tapi rasa kantukku memenangkan diriku. Terlebih lagi rasa sakit yang kini menjalar hampir di semua tubuhku.

Tidurku terusik karena luka lebam di tubuhku. Aku berlalu menuju dapur mengambil air dingin untuk ku kompres luka memar itu. 

“Astagfirullah,” ucapku ketika memasuki ruangan dapur. 

Di sana ada Gus Farid berdiri seakan menungguku datang, aku melihat sekeliling yang tak kudapati siapa-siapa. 

Untuk apa lelaki itu datang, bagaimana mungkin ia bisa berkeliaran di tempat Mami sendirian. 

Aku menunduk malu ketika tatapan kita saling bertemu, entah kenapa aku merasa sungkan, rasanya begitu berbeda ketika aku menatap ia. Biasanya aku yang terkenal bringas ini mampu sekali menaklukan lelaki. Namun, entah kenapa kali ini berbeda, ada rasa canggung yang menyeruak. 

Hah, pandangan kita bertemu? Bagaimana mungkin seorang Gus mampu menatapku seperti itu, bukankah itu tak dibenarkan dalam Islam, atau memang jangan-jangan ia memang Gus jadi-jadian, hanya membuat konten yang menarik untuk menarik viewers. Lagian untuk apa ia menunggu di sini. 
Menungguku? Anjeli kamu kepedean sekali.

Batinku terus bersaut, sambil terlukis senyum di bibirku. 

“Astagfirullah? Itu benar-benar terucap dari bibirmu?” 

Lelaki berparas ganteng itu meyakinkan kalimat yang di dengarkannya, bahkan aku baru sadar kalimat itu keluar dari mulutku. 

“Anjeli, kamu kenapa? Tubuhmu di penuhi luka lebam?”

Lelaki itu kini menyadari memar yang hampir di semua bagian tubuhku. Apalagi saat ini aku mengenakan pakaian dinasku tadi malam, hanya berbalut kaos pendek ketat serta rok mini berbahan jeans. 

Tak ayal lelaki itupun bergegas mengambil baskom dan meletakkan air serta es batu, seakan ia adalah pemilik dari dapur ini. Benar-benar memahami letak perabotan di dalamnya. 

“Biar aku sendiri,” ucapku sambil meraih sapu tangan yang di pegangnya. 

Aku membasahi sapu tangan itu dan menyentuhkan barang tersebut ke luka memar di tubuhku, sedikit membantu mengurangi rasa nyeri. 

“Are you okay?” tanya Gus Farid yang kini duduk di sebelahku. 

Kami duduk berhadapan di meja makan, seperti saat aku makan bersama Mami. Aku tetap duduk di bangkuku, sedangkan lelaki itu duduk di kursi kebesaran Mami Melati

Aku mengangguk, dan masih terus saja menekan-nekan luka memarku dengan air dingin itu.

“Bagaimana bisa seperti ini?”

Aku membisu.

Bagaimana mungkin aku bisa bercerita tentang aibku sendiri.

“Apa karena anak buah Mami Melati?” tanyanya.

Sepertinya ia masih penasaran dengan luka lebam ini.


“Gus, ajari aku shalat!” 

Gus Farid tampak memuncratkan air putih yang telah masuk ke dalam mulutnya, air itu tersebar membasahi lantai dapur berkeramik putih ini. 

“Apa aku tak salah dengar?”

Lelaki itu memandangku dengan pandangan yang berbeda, sepertinya ia benar-benar terkaget dengan kalimat yang baru kukeluarkan dari bibir indahku. Aku pun tak menyangka mampu mengucap kalimat yang jauh,-jauh hari telah terkubur lama di hatiku.

“Kamu yakin?” 

Ia kembali melempar tanya ke arahku. 

Aku mengangguk. 

“Alhamdulillah, ada wanita cantik yang mau belajar shalat,” ucapnya sambil meraupkan telapak tangan ke arah mukanya.

“Aku belum taubat, Gus. Aku hanya ingin tahu bagaimana mekanisme shalat itu seperti apa?” 

Gus Farid justru terkekeh setelah mendengar ucapanku. 

Aku dibuat termangu, lelaki itu memang aneh, apa aku salah berucap? 

“Ternyata kamu di sini?” ucap Mami Melati dari ambang pintu. Tangannya tampak mengibas kipas ke mukanya, dan di belakangnya ada dua bodyguard yang terus mengekori. 

Ia menatapku dengan pandangan sinis. 

“Jeli, kamu di sini juga. Sana balik kamar, hus ... hus ...,” ucap lelaki mendayu itu sambil mengibaskan kipas yang dibawanya ke arahku. 

“Baik, Mi. Jeli permisi,” ucapku sambil melangkah keluar. 

“Ayang, Beb. Kenapa kamu di sini? Aku mencarimu dari tadi.” 

Samar-samar kudengar ucapan Mami yang memanggil Gus itu kekasihnya, sebenarnya apa hubungan mereka. Bagaimana mungkin Mami bisa membiarkan lelaki itu keluar masuk tempat ini begitu saja. Bukankah Mami biasanya ketat sekali menjaga tempat ini. 

Di sepanjang perjalanan aku di penuhi tanda tanya, aku juga merutuki diriku sendiri yang mengucapkan kalimat tadi dengan Gus jadi-jadian. 

“Bodoh, Jeli. Bagaimana jika Gus jadi-jadian itu mengadu ke Mami Melati,” ucapku lirih sambil menepuk-nepuk pipiku lembut. 

Langkahku terhenti ketika kudapati seorang wanita belia itu berdiri mematung di depan kamarku. 

“Ada apa Sari kamu berdiri di sini? “ tanyaku keheranan. 

“Mbak Jeli, tolong ajak aku pergi dari sini kalau Mbak mau kabur!” ucap wanita cantik itu sambil menangkupkan kedua tangannya ke arahku. 

“Sari mohon, Mbak.” 

Kini ia duduk bersimpuh di depanku. 

Bersambung ...


Komentar

Login untuk melihat komentar!