BAB 4. MBA TANTI DATANG LAGI

KEAJAIBAN RAMADHAN



"Bi Sri, apa aku boleh main ke salon Mba Tanti sama Arum?" tanyaku.

"Untuk apa main ke sana Nur? Kamu mau potong rambut?" jawab Bi Sri.

"Bukan Bi, main saja."

"Jangan Nur. Bibi tidak mengijinkan." Bi Nur pernah mendengar selentingan bahwa salon milik Mba Tanti salon plus-plus. Meski belum yakin tentang kebenarannya, Bi Sri benar-benar tidak ingin keponakan kesayangannya sampai menjadikan salon Mba Tanti tempat untuk bermain bersama Arum.

"Kalau Nur mau ke salon Mba Tanti untuk potong rambut atau creambath, biar Bibi antar ya? Dengan Arum juga. Tapi jangan sendiri atau berdua saja dengan Arum. Ingat pesan Bibi ini Nur."

"Iya, Bi," sahutku. Ternyata aku harus melupakan keinginan untuk mengunjungi salon Mba Tanti.

"Ajak Arum main ke sini ya? Supaya kamu ada teman," ujar Bibi.

"Tapi Arum sedang membantu Ibunya, Bi."

"Ya sudah, kenapa tidak kamu saja yang ke rumah Arum?"

"Boleh, Bi?" Bi Sri mengangguk.

"Terima kasih, Bi. Aku tidak akan kemana-mana. Hanya di rumah Arum saja."

"Sebelum maghrib pulang ya? Kamu harus siap-siap untuk mengaji saat Ustaz Toyib datang bada Maghrib."

"Iya, Bi, Aku tahu." Tak menunggu lama aku segera berlari mendatangi rumah Arum. Disana Arum sedang mengiris adonan kerupuk lalu menatanya di sebuah tempat tebuat dari bambu yang di jalin.

"Assalamu'alaikum," sapaku.

"Waalaikumsalam, eh Nur. Kemari Nur. Aku sedang sibuk, seperti biasa," balas Arum.

"Ibumu mana?" tanyaku.

"Itu di sumur." Aku menengok ke arah pintu terbuka yang jadi pembatas dapur ke kamar mandi. Bu Sumi, Ibu Arum tersenyum memandangku dengan tangan mengerek timba. Setelah membalas senyum Bu Sumi, aku berjongkok di samping Arum.

"Aku bantu, ya?" kataku, lalu mulai memunguti irisan adonan kerupuk yang telah dipotong tipis oleh Arum. Irisan itu kuletakkan diatas geribik bambu yang dijadikan alas untuk menjemur kerupuk.

"Rum, setelah SMP kamu mau melanjutkan sekolah di mana?" Pertanyaan Arum tidak pernah terlintas dibenakku. Aku bahkan tidak tahu aku lulus atau tidak.

"Emm, belum tahu Rum." Lantas ingatan kepada Bapak Ibu membuatku kembali masygul. Apa yang akan kulakukan ketika aku lulus atau jika tidak lulus?

"Maaf ya, Nur, kalau aku membuatmu jadi sedih." Arum menghentikan irisannya.

"Kamu sudah makan? Makan Yuk?" Arum menarik tanganku. Aku dibawanya ke meja makan sederhana dengan bangku kayu yang juga simpel dan kuno. Jauh dengan yang dimiliki keluargaku. Kayu jati berukir klasik dan mewah menjadi tempatku makan bersama orang tua.

"Yuk makan. Jangan malu. Anggap saja rumahmu sendiri ya?"
Arum menyendokkan nasi ke piringku.

Daun singkong yang di santan, tempe goreng dan sambal. Sangat sederhana. Akan tetapi terasa nikmat luar biasa saat aku menikmatinya.

"Nah ... gitu, makan yang banyak ya? Kamu kan belum pernah makan di rumahku." Keceriaan Arum dalam menjamuku membuat terharu. Andai Bapak dan Ibu tahu sekarang aku sedang makan di rumah tetangga yang sering mereka larang untuk kudatangi, apa kira-kira yang akan mereka katakan. Ah, aku merasa malu pada Arum.

"Kamu, setelah lulus SMP, akan lanjut kemana, Rum?" tanyaku hati-hati.

"Ayahku akan menjemput untuk ikut bersamanya Nur, aku akan di sekolahkan ...." Mata Arum tiba-tiba berubah menjadi tatapan yang kosong.

"Tapi aku tidak tega meninggalkan Ibuku sendiri di sini, Nur," lanjutnya. Aku bisa merasakan apa yang dipikirkan Arum.

"Aku punya adik tiri di sana dan belum mengenal mereka. Aku juga belum tahu apakah ibu tiriku baik atau jahat," tutur Arum.

"Aku akan memikirkan lagi nanti, apa aku akan ikut Ayah untuk sekolah atau tetap bersama Ibu di sini," lanjutnya lagi.

"Kamu beruntung Rum. Masih punya Ayah, meskipun ...."

"Iya Nur, tapi Ibu juga ingin aku bersama Ayah, agar bisa melanjutkan sekolahku."

"Mengapa Ayahmu tidak mengirimi uang saja untuk sekolahmu?" tanyaku.

"Mereka juga bukan orang yang sangat mampu Rum. Ayah mengirimiku baju atau buku, mungkin hanya setahun sekali saat akan lebaran. Kadang juga tidak, Nur." Aku seperti tertampar dengan ucapan Arum. Saat orang tuaku masih ada aku tidak pernah kekurangan makanan dan pakain yang mahal dan mewah. Akan tetapi sekarang nasibku sama dengan Arum dan lebih buruk kurasa. Karena Arum bukan yatim piatu meski orang tuanya berpisah. Sedang aku?

Arum menumpuk piring makan kami setelah setelah selesai dan membawanya ke sumur. Dia menimba dan mencucinya. Aku melihat dan berusaha membantunya. Seumur-umur aku tidak pernah menimba.

"Rum, aku bantu menimba ya?"

"Jangan Nur, kamu duduk saja."

"Tidak mau. Aku mau membantumu." Pertama menimba tanganku terasa sakit, tapi aku senang bisa merasakannya. Jadi ini yang Arum lakukan setiap hari. Ah. Mungkin aku tidak akan bisa seperti Arum.

"Hay ... para  gadis harapan bangsa, sedang apa kalian? Aduh rajin sekali ...." Suara Mba Tanti. Kenapa tiba-tiba bisa ada di rumah Arum? Belum habis rasa terkejut, Mba Tanti bicara lagi.

"Lihat dong, apa yang mba tanti bawa untuk kalian. Ini buah-buahan. Ada juga sesuatu. mba tanti tunggu ya?" Mba Tanti duduk di meja makan. Arum mempercepat membilas piring yang ia cuci. Aku memegang timba berisi air dibibir sumur. Terngiang ucapan Bi Sri yang tidak mengijinkan untuk main ke salon Mba Tanti. Aku hanya membalas dengan senyuman ketika Mba Tanti menyapaku.

Rumah Arum hanya berkamar dua. Kamar itu terbuat dari bata merah yang belum disemen. Sementara ruangan di depan kamar ada dapur dengan tungku kayu dan ruang makan yang di sebelahnya ruang tamu dengan dinding geribik. 

Pintu rumah Arum terbuat dari papan yang di desain dua potongan. Bagian bawah pintu rumahnya tertutup untuk menghindari ayam dan binatang lain masuk. Sementara bagian atas pintunya terbuka. Jadi kalau Mba Tanti masuk, dia hanya membuka kunci pintu bagian bawah yang terbuat dari secuil potongan kayu dan tinggal diputar, maka pintu pun terbuka.

Bu Sumi, Ibu Arum sedang salat ashar saat Mba Tanti datang.

"Waaah banyak sekali buah-buahannya!" seru Arum.

Buah-buahan yang selalu ada di rumahku saat Bapak dan Ibu masih ada itu sangat membuat Arum terbelalak.

"Mba Tanti ulang tahun?" tanya Arum.

"Bukan, Mba Tanti sengaja membawa ini untuk kalian berdua. Oh ya, mana Ibumu, Rum."

"Sedang salat, Mba."

"Kok kalian tidak jadi ke salon mba tanti, padahal ditunggu lo. Mba tanti punya karyawan baru, mereka kursus dan butuh model untuk potong rambut. Apa kalian mau jadi modelnya? Kalau kalian mau, mba tanti akan memberi uang untuk kalian. Bagaimana?" Aku dan Arum saling pandang mendengar penuturan Mba Tanti.

"Dapat uang, Mba?" sela Arum. Mba Tanti mengangguk.

"Aku izin Ibu dulu ya, Mba? Kalau boleh aku akan berangkat ke salon Mba Tanti," kata Arum penuh semangat.

"Bagaimana dengan kamu cantik?" ucap Mba Tanti yang ditujukan untukku.

"Eh oh, aku ya, Mba?" Aku gelagapan. Aku juga harus izin ke Bi Sri, Mba," sahutku.

"Kalau itu, tenang saja. Mba Tanti akan bantu bicara ke Bibimu agar mengizinkan untuk jadi model di salon mba tanti."

"Maksudnya model apa, ya, Mba?" tanyaku yang masih belum paham. Aku tadi sedikit melamun.

"Model ... rambutmu nanti dipotong sama karyawan salon mba tanti. Lalu nanti diberi uang. Dan model rambut kalian nanti akan menjadi keren. Mau ya?" jelas Mba Tanti.

"Ayo makan buahnya dan ini mba tanti ada sedikit oleh-oleh buat kalian." Mba Tanti membuka bungkusan yang di bawanya.

*****
Bersambung



Komentar

Login untuk melihat komentar!