BAB 7. ANAK BARU GEDE

KEAJAIBAN RAMADHAN


"Aku tidak tahu kalau masalah itu," sahutku. Ibu paling tidak suka kalau pembeli di tokonya ber-ghibah. Aku berandai-andai, apa yang akan Ibu katakan jika mendengar perkataan tetangga yang satu ini tentang adiknya. 

Aku lupa Ibu sudah tiada ....

Namun, aku masih sering melihat ibu duduk sambil menonton televisi di kursi goyang tempat favoritnya. Kadang aku mendengar suara ia memanggilku. Perasaan rindu yang mencekam itu hadir ditemani air mata. Mereka belum benar-benar pergi dari rumah ini. Setidaknya itu menurut perasaanku.

Kenapa Bi Sri belum datang juga, ya? Tumben. Hal ini membuatku ingin datang ke rumahnya, tapi aku harus menutup toko dulu. 

"Nur ...." Bi Sri datang. Ikatan batin diantara kami memang nyata. Saat aku mengharapannya, ia muncul.

"Kamu buka toko?" tanya Bi Sri.

"Iya Bi, aku ...." Bi Sri memelukku. "Bibi tahu perasaanmu, kalau kamu ingin membuka toko, buka saja. Nanti akan bibi usahakan untuk bisa memenuhi kembali isi tokomu."

"Jangan Bi, mungkin sebentar lagi aku akan menutupnya."

"Ini bibi bawakan nasi lauk dan sayur untukmu. Makan ya? Pamanmu sebentar lagi akan berangkat. Bibi pulang dulu sebentar."

Iya, Bi ...." Lalu aku melihat rumah Arum yang memang pintunya sejurus dengan pintu rumahku. Kemana dia? Kenapa belum kelihatan. Arum memang biasa bangun siang di hari minggu. Sementara, aku masih sering kesulitan tidur.

Sedang bersandar pada tembok samping warung dengan menyelonjorkan kaki, mobil yang beberapa hari lalu mengantarku dan Bi Sri pulang, berhenti tepat di depan toko. Itu mobil Andi atau Mas Gatot, aku tidak tahu. Hanya saja aku tidak heran jika keduanya membawa kendaraan saat masih SMP. Orang tua mereka kaya dan terpandang. Lalu kenapa mereka datang? Aku segera masuk ke rumah.

"Nur ... aku mau beli Nur ...." Suara dari toko kudengar jelas. Ya ampun Andi dan Mas Gatot.

"Beli apa?" tanyaku grogi.

"Minuman ringan dan beberapa camilan." Aku mengambil beberapa snack yang disebut Andi dan Mas Gatot.

"Nur, boleh tidak aku dan Andi numpang duduk di teras rumahmu sambil ..., sambil apa Ndi?" ujar Mas Gatot menyikut Andi.

"Ya sambil minum dan ngunyah makanan yang baru kita beli, lah." Andi tertawa kocak. Aku yang belum pernah kedatangan tamu lelaki dan teman sebaya, hanya bengong melihat mereka berdua.

"Boleh 'kan Nur?" tanya Mas Gatot.

"Boleh."

"Terima kasih Nur," sahut mereka bersamaan. Mungkin mereka akan melakukan kegiatan ekstrakulikuler di sekolah dan mampir. Duh, kenapa Arum tidak muncul juga sih? Aku membiarkan Andi dan Mas Gatot ngobrol di teras. Pintu rumah terbuka tapi tidak kupersilakan mereka masuk. Aku hanya sesekali memperhatikan melalui jendela yang terhalang kaca.

"Gatot, elu suka ya sama, Nur?" selidik Andi.

"Madrasah buat elo," sahut Gatot.

"Eh serius, gue tanya, elo suka sama Nur?"

"Nah elo gimana?" balas Gatot. Andi nyengir. "Kebiasaan, ditanya balik nanya."

"Jangan bilang suka-sukaan deh, kita masih SMP juga," balas Gatot.

"Sebentar lagi kita SMA ... eh Nur ke mana ya? Kita datang malah ditinggal."

"Nah sekarang ketahuan kamu yang, hemm ... kamu suka ya, sama Nur," ledek Gatot.

"Mungkin kita sama-sama suka sama Nur, ya, Tot. Tapi gengsi mengakui." Andi mengucapkannya sambil melongok ke pintu rumah Nur.

"Kita? Elu aja kali sama keluarga elu, gue enggak," ledek Gatot lagi.

"Napa bawa-bawa keluarga sih?" sela Andi.

"Kalau bawa-bawa punuk, unta dong," tukas Gatot.

"Halah, kalau bawa-bawa agama ustaz gitu?" 

"Iyes dan kalau bawa-bawa kriminal tuh elu, preman."

"Enak aja gue preman."

*****

"Eh ... ada temannya Nur. Nur-nya ada?" Arum tiba-tiba sudah ada di depan rumah Arum.


"Eh ini Arum ya, yang kemarin juga jadi model di salon Mba Tanti?" tanya Andi.

"Iya, Permisi ...." jawab Arum, lalu melanjutkan untuk menemui Nur,
"Assalamu'alaikum, Nur ...."

"Waalaikumsalam, masuk Rum." Aku menyahut tanpa menyambut Arum. "Nur kenapa temanmu di luar saja tidak kamu suruh masuk?" tanya Arum.

"Enggak ah, ngapain? Biarin saja."

"Oh, kirain mereka mau bertamu."

"Enggak, tadi mereka beli minuman di toko." Aku dan Arum ngobrol di ruang tamu sebelah toko, sementara Andi dan Mas Gatot berada di teras.

Andi senyum-senyum melihat kedatangan Arum. "Kamu kenapa Ndi, senyum sendiri setelah melihat Arum? Suka?" goda Gatot.

"Musholah' buat elu?"

"Kagak ah, mesjid, Ndi, Masjid."

"Rese." Selanjutnya Andi dan Gatot, dua anak baru gede itu saling memendam perasaan masing-masing.

"Jujur aja Tot, elu suka Nur atau Arum?" desak Andi lagi.

"Balik lagi ke sana, Ndi? Paan sih. Kalau gue suka Nur, gue sedang mengamalkan ajaran Rasul untuk mencintai anak Yatim," sahut Gatot dengan cengar-cengir.

"Nah, benar 'kan elu suka sama Nur. Kalau gitu gue mundur deh. Gue Arum aja," celetuk Andi. Dua pemuda yang sedang dilanda cinta monyet itu membicarakan dua gadis yang juga sedang beranjak dewasa.

"Eh emang Arum anak yatim juga, ya?" cetus Andi.

"'Mene ketehe', setahu gue, dia memang hanya tinggal berdua dengan ibunya yang janda. Tuh rumahnya." Gatot menunjuk letak rumah Arum. "Nggak level kalau sama elu, kali Ndi. Beda kasta," kata Gatot lagi. Andi garuk-garuk kepala.


"Nah elu juga banyak cewek yang ngejar di sekolah kenapa suka sama Nur? Mau kamu jadikan korban?" tanya Andi sok tahu.

"Emang gue Ibrahim apa, mau ngorbanin anak manusia?" bela Gatot.

"Nabi Ibrahim, maksud elo?" sahut Andi.

"Kok elu tahu, Nabi Ibrahim segala?"

"Tahu dong. Kadang gue nggak keluar dari kelas, saat pelajaran agama Islam, ikut dengerin gitu."

"Apa coba yang elu denger?" Gatot membuka kulit kacang dan mengunyah isinya sembari menunggu penjelasan Andi.

"Gue dengar hal yang impossible, Ibrahim bermimpi beberapa kali, untuk menyembelih Ismali anaknya. Lalu mimpi itu ia ceritakan pada anaknya, dan Ismail rela di sembelih. Sorry to say, Tot, gue harus mengatakan ini," papar Andi.

"Tidak masalah Ndi, gue lagi males berdebat soal itu. Lakum dinukum waliyadin saja deh, Ndi."

"Apa lagi itu?"

"Bagi gue agama gue, untuk elo agama elo, gitu kira-kira artinya."

"Gue percaya adanya Tuhan. Tapi gue tidak percaya pada agama. Nyokap sama bokap tidak pernah ngajarin gue agama, atau datang ke Vihara. Mereka cuma ngasi tau gue, untuk baik kepada sesama manusia dan semua mahluk hidup. Gitu aja," terang Andi.

"Agnostik?" Gatot memainkan raut muka ragu pada Andi.

"Terserah elo, mau bilang apa."

Bi Sri dan Beni suaminya lewat di depan mereka. Beni akan berangkat keluar kota membawa Fuso milik majikan dan Bi Sri mengantar sampai Beni naik serta melajukan mobil besar itu.

"Lo ada Gatot dan Andi. Kalian sudah dari tadi?" sapa Bi Sri mendapati dua teman Nur di teras. "Mana Nur-nya?" lanjutnya.

"Nur ada di dalam dengan Arum, Bi," jawab Gatot yang terlihat merubah posisi duduknya.

"Kenapa tidak masuk?" kata Bi Sri.

"Tidak papa, Bi. Di luar saja biar santai," timpal Andi.

"Oalah Nur ini, ada teman kok ya, tidak diajak masuk," ujar Bi Sri.

"Om Beni, berangkat ya Bi?" tanya Andi.

"Iya Ndi, nyebrang."

"Bawa apa, Bi? 

"Sekarang bawa buah duku, Ndi."

"Lancar ya, Bi?" Andi melanjutkan basa-basi.

"Sok akrab, loe, Ndi," batin Gatot.

"Ya, lumayan. Ayo masuk, sama Bi Sri. Kita temui Arum. Biar kalian ngobrol di dalam."

*****
Bersambung









Komentar

Login untuk melihat komentar!