Ketika jasad Bapak dan Ibu diturunkan ke dalam liang lahat yang letaknya bersebelahan, aku menutup bibir, agar teriakan dan tangisku tak keluar. Dalam hatiku banyak sekali kata yang ingin kuucapkan untuk mereka. Lelah hatiku mengumpulkan kepingan kata itu, yang bermuara pada rintihan, tanpa mereka berdua pasti aku akan kesulitan menjalani kehidupan.
Banyak yang mengucapkan kalimat belasungkawa untukku, mereka berkata waktu akan mengobati sedihku. Akan tetapi kehilangan dua orang yang jadi pelindungku selama ini akan jadi pedih kerinduan yang tiada penawarnya.
Aku tak ingin meninggalkan pemakaman. Wali kelasku mendekat saat aku terpekur disamping pusara dan pamit dengan meninggalkan pesan, agar tidak terlalu lama bersedih. Secepatnya guruku dan teman menunggu kedatangan di sekolah.
Seminggu aku tidak bersekolah, beberapa teman datang menjenguk dengan memberi kata penghiburan.
"Nur, tadi teman sekolahmu yang diwakili ketua osis menitipkan amplop ini. Mungkin isinya uang. Bibi akan pergunakan untuk biaya tahlil sampai hari ke empat puluh. Pegang dan simpanlah dengan uang lainnya," tutur Bibi malam itu.
"Bibi saja yang menyimpannya," sahutku.
"Tapi kamu harus tau Nur, dan kamu saja yang menyimpan. Nanti Bibi akan memberi daftar belanja yang dibutuhkan. Tapi masih bisa beberapa keperluan yang di ambil dari toko," kata Bibi lagi. Aku hanya mengangguk lemah ketika Bibi menyerahkan amplop di sampingku. Lalu kusimpan dibawah bantal.
"Bibi tidur di sini ya? Temani aku."
"Iya, Bibi akan menemanimu. Sekarang kamu tidur ya?"
Seringkali ketika bangun tidur, aku mendapati diriku sedang menangis. Rasanya baru kemarin aku pergi bertiga berbelanja dengan Bapak dan Ibu. Rasanya baru kemarin Bapak menceritakan harapannya padaku untuk bisa bersekolah sampai perguruan tinggi.
Masih terngiang saat Ibu selalu memintaku cepat-cepat saat akan berangkat sekolah karena ia akan mengantarku. Lalu Ibu menciumiku sampai tiga kali sampai di depan gerbang sekolahku.
Apa yang harus kulakukan? Berangkat sekolah aku malas, siapa yang akan mengantarku? Bibi berinisiatif memberiku tumpangan ke sekolah setiap hari dengan berlangganan ojek.
Hari pertama masuk sekolah setelah dua minggu libur, aku merasa semua mata menatapku dengan iba. Satu sekolah tahu kejadian yang menimpaku. Dan ini membuatku tertekan. Aku malas berangkat sekolah. Bibi susah payah merayu dan membujukku untuk kembali semangat meski keadaan sudah berubah.
Aku ingin pindah sekolah di mana Arum ada di sana. Namun Bibi tidak mengijinkan. Sekolah Arum sekolah negeri yang letaknya dekat dengan rumah. Arum hanya berjalan kaki saja untuk sampai ke sekolah dan bisa pulang saat jam istirahat.
Di sekolah aku tidak punya teman akrab. Jam istirahat hanya kugunakan untuk duduk saja di dalam kelas. Tidak ada lagi yang mendekatiku untuk bertanya atau menghibur, karena memang aku pendiam.
Mobil orang tuaku yang kecelakaan hancur dan di simpan di kantor polisi. Mobil itu tidak bisa diperbaiki lagi. Aku tidak tahu pamanku yang mengurus semuanya. Paman di minta oleh Bibi untuk menjaga toko ayahku di pasar dan berhenti menjadi sopir, tapi Paman mengaku tidak ada bakat di dagang.
Bapak hanya memiliki sedikit tabungan. Karena biaya sekolahku yang besar perbulannya. Menjelang kelulusanku, semangatku makin menguap.
Ustaz Toyib masih datang setiap sore ke rumah untuk mengajariku ilmu agama. Aku sering menangis menumpahkan perasaan pada ustaz. Tak terhitung nasehat yang ustaz limpahkan untukku. Namun jiwaku tetap saja, hampa. Andai aku punya adik atau kakak, mungkin hidupku tidak semengerikan ini.
Aku memandang masa depanku yang pekat dan gulita. Untung masih ada Bi Sri yang bisa menemaniku setiap hari. Keluarga Bapak jauh di luar pulau dan kami tidak pernah bertemu. Aku ingin berkumpul dengan keluarga dar Bapak dan Ibu sebanyak-banyaknya. Aku ingin mereka bercerita tentang kehidupan Bapak dan Ibu ketika masih muda dan belum memiliki aku. Tapi di.mana aku bisa menemui mereka?
Pulang sekolah hari ini aku mengajak tukang ojek langganan ke makam. Dia menungguku lama. Setelah puas menceritakan isi hati di atas pusara mereka, aku mengajak tukang ojek pulang. Kali ini aku menuju rumah Arum. Dari rumah Arum aku bisa memandang dengan leluasa keadaan rumahku. Aku membayangkan ibu sedang di tokonya melayani pembeli.
"Hay Nur," suara Arum.
"Hay, Rum."
"Sudah dari tadi? Kok.masih pakai seragam? Kamu pulang telat. Dari mana? Sudah makan belum?" berondongan pertanyaan Arum membuatku bingung untuk menjawab yang mana terlebih dahulu.
"Ganti baju dulu sana, nanti ke sini lagi. Takut Bibi mencarimu."
"Bibi pasti melihatku ada di rumahmu. Rum ajak aku main dong dengan teman-temanmu. Atau kita mengaji di mesjid. Ajak aku ya nanti sore," pintaku.
"Hem bagaimana ya?" Arum pasti berpikir tentang perubahanku. Tidak biasanya aku seperti ini. Saat orang tuaku masih ada tak lebih dari sepuluh menit aku dinrumah Arum. Pasti sudah di panggil untuk pulang.
"Jangan Rum, lebih baik aku menemanimu mengaji dengan Ustaz Toyib saja nanti malam di rumahmu, bagaimana?"
"Memangnya aku tidak boleh ya mengaji di masjid. Atau Ibumu melarang bermain denganku? tanyaku.
"Bukan begitu Nur," ucap Arum. Aku tahu dia merasa tidak enak padaku.
"Ya sudah, aku pulang dulu ya, kamu.nanti.main ke rumahku ya?"
"Eh Nur ...."
"Apa?"
"Nanti sajalah aku menyusul ke rumahmu, ya?"
"Aku tunggu Rum." Lalu aku berlari menuju rumahku.
"Nur, makan dulu, sudah Bibi siapkan. Bibi ada urusan sebentar. Nanti malam Bibi akan menemanimu lagi," sambut Bibi. Padahal aku masih jauh dari pintu masuk rumah.
"Kunci rumah ya?"
"Iya Bi." Sejak kematian Bapak Ibu, aku belum pernah membuka toko. Mungkin toko akan tutup selamnya. Barang-barang di dalamnya mulai menyusut isinya. Di gunakan untuk acara tahlil dan makanku sehari-hari. Meski aku tahu di mana Bapak dan Ibu belanja, aku belum memiliki keberanian untuk berbelanja sendiri. Apa yang terjadi selanjutnya jika aku kehabisan bahan makan. Ya Tuhan, aku tidak mau membayangkannya.
"Assalamualaikum, Nur." Pasti Arum.
"Masuk Rum."
"Nur, setelah lulus SMP kamu mau lanjut sekolah kemana? tanya Arum tiba-tiba, kami duduk diteras samping toko. Aku makah belum pernah memikirkan ini.
"Kamu bagaimana, Rum?"
"Ya kalau Ibuku punya uang aku sekolah, kalau tidak, aku akan bekerja, Nur."
Sedang asik dengan obrolan. Datang wanita muda cantik dan wangi menghampiri kami. Mba Tanti. Aku mengenalnya sebagai pemilik salon. Beberapa kali.aku dan Ibu potong rambut dan creambath di salonnya.
"Eh gadis-gadis harapan bangsa. Lagi asik ya? Ngobrol apa sih?" tanyanya sok akrab.
"Biasalah," jawab Arum.
"Pasti lagi ngobrolin cowok ya?"
"Bukan mba," jawabku. "Eh Mba toko tutup." Aku mengira mba Tanti akan belanja keperluannya, karena biasanya memang begitu.
"Iya Nur, Mba Tanti tahu kok. Cuma ingin main aja dan tau kabar Nur." Tumben juga Mba Tanti ingin bertandang.
"Nur, main dong ke salon Maba Tanti, nanti gratis deh potong rambut dan creambath ya. Atau mau facial. Boleh," tuturnya lagi.
"Wah boleh nih," cetus Arum .....
*****
Bersambung
Login untuk melihat komentar!