KEAJAIBAN RAMADHAN
Namaku Nurahmah. Nama itu pemberian dari kedua orang tua. Cahaya yang penuh rahmat, begitu kata Bapak dan ibu tentang arti namaku. Kami orang desa yang sangat menjujung nilai-nilai agama dalam kehidupan kami yang bersahaja.
Orang tuaku berprofesi sebagai pedagang. Di rumah, Ibu membuka toko kelontong yang menyediakan kebutuhan sehari-hari dan berbagai perlengkapan komplit. Bapak juga pedagang yang setiap hari berangkat ke toko kecilnya di sebuah pasar desa kami. Semua model pakaian yang Bapak jual, dibeli dari kota besar. Sebulan sekali Ibu dan Bapak belanja keperluan toko mereka. Kadang beliau membawa serta diriku untuk berbelanja. Dengan mobil milik kami satu-satunya, Bapak dan Ibu berangkat ke kota untuk berbelanja. Kadang aku menunggu saja di rumah.
Aku dilahirkan setelah Bapak dan Ibu berumah tangga selama sepuluh tahun. Berbagai ikhtiar mereka lakukan untuk mendapatkan diriku. Terbayang bukan saat aku lahir, bagaimana rasa suka cita dan bahagia kedua orang tuaku? Aku sangat disayang.
Meski hidup orang tuaku tidaklah kaya raya, tapi beliau ingin semua yang terbaik untukku. Ini kuketahui saat SD, mereka memasukkanku ke sekolah terbaik. Kebanyakan anak pengusaha, pejabat dan orang berpunya yang bisa bersekolah di sini. Bapak dan Ibu menyekolahkanku di sini karena ingin aku mendapatkan pendidikan terbaik.
Sampai SMP, Bapak dan Ibu masih memintaku untuk memilih sekolah terbaik untuk menuntut ilmu.
"Nur, tidak usah menghawatirkan tentang biaya untuk sekolah, ya? Belajar saja yang giat. Bapak dan Ibu akan mencari uang dengan semangat, agar Nur bisa sekolah sampai perguruan tinggi." Pesan Bapak padaku.
Namun terkadang aku merasa terkekang. Kegiatan apa pun di sekolah jarang bapak dan Ibu mengijinkan aku untuk mengikutinya. Kecuali ekstrakulikuler yang memang wajib. Saat temanku hari Minggu datang ke sekolah mengikuti kegiatan pramuka atau ikut grup band sekolah untuk menyanyi, aku tak mendapatkan izin untuk bergabung dengan kegiatan itu.
Dalam berteman Bapak dan Ibu juga tidak membebaskanku. Mereka lebih senang aku berdiam di rumah, dari pada kelayapan dan bermain meski hanya sebentar saja dengan teman.
Ketakutan dan over protective mereka bisa di maklumi mengingat aku anak satu-satunya yang untuk dapat memilikiku, mereka harus menunggu waktu sampai satu dasawarsa.
Perlakuan Bapak dan Ibu menjadikanku anak yang kurang pergaulan. Tapi aku tidak pernah merasa terkekang, selain menurut dengan senang hati.
Di depan rumah kami ada satu tetangga, seorang janda dengan satu orang anak seusiaku, Arum namanya, namun kami beda sekolah. Ibu Arum setiap hari membuat kue yang dititipkan ke warung-warung. Juga membuat kerupuk untuk di jual. Kerupuk itu sering di jemur oleh Ibu Arum di halaman rumahnya Sesekali aku berkunjung ke rumah Arum, dan membantu Arum mengangkat kerupuk yang telah kering di jemur ibunya. Namun Bapak dan Ibu melarang.
"Jangan bermain bersama Arum, Nur. Arum itu anak nakal. Dia sering bermain jauh dan ibunya mencarinya untuk pulang," kata Bapak.
"Tapi, Pak ..., Nur kan cuma singgah sebentar saja di rumahnya, tidak main kemana-mana lagi dengan Arum," belaku. Aku merasa ucapan Bapak berlebihan.
Kadang Arum juga bermain ke rumahku, kami duduk di teras sembari menunggu toko Ibuku. Saat Ibuku salat aku di tugasi menjaga warung sampai ibu selesai salat.
Saat aku salat, biasanya Arum menungguku dengan menonton televisi di ruang keluargaku.
"Kenapa kamu mengintip orang salat? Sana pulang salat dulu!" Aku mendengar suara ibu menasehati Arum ketika sedang salat. Menurutku ibu juga kadang berlebihan.
Selesai salat aku tidak lagi mendapati Arum berada di ruang keluargaku.
"Ibu kenapa menyuruh Arum pulang?" tanyaku.
"Anak itu tidak sopan. Dia membuka gorden pintu kamarmu dan mengintipmu yang sedang salat, Nur," jawab Ibu.
"Tapi kan Ibu bisa menungguku sampai selesai salat, Bu, jangan menyuruh Arum pulang," ujarku.
"Sudahlah Nur, kamu jangan terlalu dekat dengan Arum, ya?" pungkas Ibu.
Ketika Arum dan teman sebayaku belajar mengaji di masjid kampung. Bapak dan Ibu mendatangkan ustaz untuk mengajariku ilmu agama secara private di rumah.
Ustaz itu datang setiap hari ke rumahku bada Maghrib, untuk memberiku les mengaji. Ibu dan Bapak menggajinya setiap bulan. Bukan hanya mengaji Alquran yang ia ajarkan.
Tajwid, fiqih, kitab barzanji dan banyak lagi. Ustaz Toyib juga sering memberi siraman rohani untukku.
Hari itu orang tuaku berbelanja bulanan tanpa mengajakku.
"Nur tunggu warung saja, ya?" kata Bapak.
"Nanti Ibu belikan baju baru buat Nur. Soalnya Ibu dan Bapak belanja banyak hari ini dan agak lama, untuk persiapan lebaran," sambung Ibu.
"Nur ikut saja, Bu. Apa lagi lama. Nur tidak ada teman. Atau Nur ajak Arum ya, ke rumah untuk menemani?" pintaku.
"Kan Ibu sudah bilang jangan berteman dengan Arum. Nur tidur saja ya, atau menonton televisi," ujar Ibu lagi.
"Ya sudah Bu, Nur akan menunggu warung saja sampai Bapak dan Ibu pulang," sahutku.
Akhirnya yang kulakukan hari itu hanya menunggu toko sambil menunggu Bapak dan Ibu datang.
Toko Ibu hari ini sepi, ada dua pembeli yang kelakuannya sangat aneh. Satu orang Ibu datang bersama anaknya. Dia menawar barang dan memilih beberapa.
"Mba baju ini berapa harganya?" tanyanya untuk kedua kali. Di toko Ibu memang ada beberapa baju yang diambil dari toko Bapak. Baju yang harganya terjangkau, karena kami jual dengan harga grosir. Aku menyebut lagi harga baju yang dia tanyakan.
"Nggak bisa kurang Dek? Saya beli untuk dijual lagi Lo," tawarnya.
"Itu sudah murah, tadi kan Ibu sudah setuju dengan harganya," balasku.
"Ya sudahlah nggak jadi, biar untuk yang lain saja kalau tidak boleh," tukasnya. Meski heran dengan kelakuannya dan sempat mengucap istighfar, tapi aku tetap maklum, seperti inilah orang berjualan. Harus sabar.
Tidak lama, datang lagi seorang pemuda, melihat-lihat ke toko. Dia memakai baju hitam dan topi hitam. Ketika aku bertanya apa yang dicarinya. Dia diam saja. Hanya melihat-lihat lalu memegang beberapa barang yang ada dalam toko.
Apa dia bisu dan tuli ya?
"Cari apa, Mas?" tanyaku lagi. Tidak ada jawaban. Sampai dia pergi meninggalkan toko, tidak ada yang dibelinya.
Hampir magrib Bapak dan Ibu belum juga datang. Aku duduk di teras samping toko. Lalu tiba-tiba sebuah mobil berhenti di pinggir jalan. Pengemudinya turun dan menghampiriku.
"Assalamualaikum, apa benar ini kediaman Bapak Ahmad Husain dan Ibu Siti Aminah?" tanyanya.
"Benar, Pak," jawabku.
"Oh, adik anaknya?"
"Iya Pak, Pak Ahmad dan Bu Siti, Bapak dan Ibu saya."
"Maaf Dik, saya dari kepolisian. Kedatangan saya untuk memberitahu bahwa Bapak Ahmad dan Ibu Siti mengalami kecelakaan dan sekarang sedang di rawat secara intensif di rumah sakit."
"Bagaimana Pak?" Air mataku bercucuran. Aku bukan bertanya, tapi tepatnya meminta kepastian kepada orang yang mengaku sebagi polisi tersebut.
*****
Bersambung
Bandung 13 April 2021