Perubahan yang Baik

Naina keluar dari ruang operasi dan langsung diserbu keluarga Nanda yang panik. Naina  memberikan senyuman kelegaan.

"Semua berjalan lancar. Semoga Arvita segera siuman," ujar Naina memandang Gauri yang masih terus berlinang air mata.

"Terima kasih, Naina." Gauri menghambur dan memeluk Naina, yang dibalas elusan di punggungnya.

Naina menahan haru dan tangis, tapi ia sembunyikan dengan segera meninggalkan keluarga itu menuju ruangannya. Naina terdiam, menyandarkan punggungnya di kursi sambil memejamkan mata. Bagaimanapun ini adalah operasi yang menguras perasaan dan pikiran. Karena jika terjadi sesuatu, keluarga ini akan semakin membencinya. Namun, andai selamat mungkin mereka akan menjadi baik padanya.

Tidak! Dia tak memprioritaskan perubahan sikap keluarga itu padanya. Naina juga memiliki tanggung jawab terhadap nyawa pasien, sekaligus reputasinya ke depan serta nama baik rumah sakit.

Pintu ruangannya diketuk dari luar. Naina masih memejamkan mata dan memijat pelipisnya.

"Masuk," katanya dengan masih memejamkan mata.

Pintu terbuka, Veer masuk menatap wanita yang tengah menenangkan diri dan terus memijat-mijat keningnya. Tarikan napasnya tampak penuh beban.

Beban kehidupan pribadi, juga tanggung jawab sebagai seorang tenaga medis.

"Ada apa, Sus?" tanya Naina membuka matanya dan dia terkejut melihat Veer disana. "Veer?" Naina menelan saliva dengan susah payah. "Ada masalah?" tanyanya segera bangkit dari kursinya. Sedikit panik karena takut terjadi sesuatu dengan Arvita.

"Tidak. Tidak ada," jawab Veer cepat melihat kepanikan Naina.

"Lalu?" Naina lega, menatap pria yang terlihat kikuk di hadapannya.

"Hanya memastikan kau ... mmm ...." Veer mengusap rambutnya dan terlihat gelisah. "Kau tidak pernah bilang kau seorang dokter," katanya pada akhirnya.

Naina menganggukkan kepala, seraya berjalan ke arah kulkas dan mengambil botol air mineral. "Tidak pernah ada yang tanya," katanya setelah meneguk air. "Minum?" tawarnya pada Veer, tapi pria itu menggeleng.

Hening, keduanya saling diam meski mereka adalah suami istri. Naina berjalan ke meja menaruh botol minum, sedangkan Veer memejamkan mata. Mencoba mencari alasan kuat, untuk apa dia masuk ke ruangan itu sebenarnya. Karena dia sendiri tidak tahu, dia hanya mengikuti instingnya. Kakinya seolah digerakan oleh perasaan lain untuk melihat dokter yang selama ini dia sakiti.

Naina menoleh, ia pun menangkap kebingungan Veer dan baginya tak lebih karena hanya ingin berterima kasih atas tindakannya pada Arvita. Menyelamatkan nyawa keponakannya.

"Ini sudah tugasku, Veer. Kau tak harus berhutang budi. Maksudku, kau tidak harus berubah dalam memperlakukan aku setelah ini. Kau bisa tetap dengan aturan kemarin, bahwa tidak ada obrolan dan perhatian di antara kita. Aku memahami itu," papar Naina panjang lebar. "Aku tidak sedang mencari perhatian kalian. Ini murni karena pekerjaan. Siapapun yang berada di posisi Arvita saat ini, dari keluarga mana pun, aku akan berusaha menyelamatkannya." Naina tersenyum sangat manis.

Veer terdiam. Dia mencoba membenarkan ucapan Naina, bahwa kedatangannya ke ruangan ini hanya karena Arvita.

"Soal Arvita, percalah ... dia akan baik-baik saja. Aku akan bekerja secara profesional," tambahnya sambil kembali meneguk air yang tadi.

Veer memejamkan mata karena merasa Naina ada benarnya. Dia hanya merasa berhutang budi. Tak lebih dari itu.

"Ok." Dia menganggukan kepala, lalu berpamitan.

Naina menghembuskan napas kasar. "Kau tahu Rohan, ada banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu, seperti biasa," gumamnya. "Andai kau tidak mencintaiku dan tak ingin menikah denganku, cukuplah kita tetap menjadi sahabat. Menjadi tempat kita mencurahkan semua cerita setiap harinya. Sampai kita bertemu teman hidup masing-masing." Naina menyeka sudut matanya, lalu menutup wajahnya, berusaha menenangkan jiwanya.

***

Naina kembali ke rumah dan disambut baik oleh keluarga Nanda. Bibinya pun kini tampak manis, begitu juga Kailash dan istrinya.

"Mungkin terdengar licik jika aku berubah baik padamu, paska tahu kau seorang dokter dan telah menyelamatkan anggota keluargaku," ujar Kailash seolah takut kehilangan harga diri.

Naina tersenyum dan menatap pria terhormat itu.

"Anda tidak harus berubah, Tuan. Di rumah ini, aku bukan seorang dokter," ujar Naina. "Mungkin terdengar sombong, terdengar sok baik. Tapi aku lebih nyaman. Benar, aku merasa sakit dengan apa yang aku alami di sini. Tapi aku menerima itu sebagai sebuah akibat, dari sebuah sebab. Aku sadar orang tua dan adikku telah berbuat salah. Namanya juga anak kecil, maka kami yang dewasa yang harus bertanggung jawab."

Kailash menatap menantu yang tak pernah dianggap itu. Dia berfikir ada benarnya kata-kata Tania, bahwa Naina lebih siap dan lebih pantas jadi menantunya. Bahkan dia ingat cerita Gauri bahwa di belakang mereka pun Naina menerima sikap buruk keluarga ini sebagai sebuah hukuman atas kesalahan keluarganya.

"Aku permisi dulu, Tuan." Naina mengatupkan tangannya, memberi salam. Dan hanya dibalas anggukan oleh sang penguasa.

Tiba di kamar, Naina merebahkan diri di sofa sambil memejamkan mata. Membuka pesan di whatsapp grup dengan teman-temannya, karena dua hari ini dia tidak ikut mengobrol.

"Ada pasien darurat," tulis Naina di grup chatnya. Diapun tak tertarik membaca percakapan mereka. Paling tidak jauh dari curhatan Anu yang bermesraan dengan kekasihnya.

"Kau sudah pulang?" tanya Veer yang baru masuk ke kamarnya. Tidak seperti biasanya.

Naina menoleh dan mengangguk, meski tetap sibuk mengetik di ponselnya. Tepatnya dia hanya mengalihkan perhatian dari Veer.

Mereka saling diam, keduanya sibuk dengan ponsel masing-masing, hanya Veer yang terus memandang Naina diam-diam.

Kadang, Naina melirik sebentar ke arah Veer yang tengah mengetik juga, dia menduga pasti sedang chat mesra dengan Anu. Sedang Veer mengira Naina sibuk mengetik masalah penting.

***

Keluarga Nanda mulai bersikap ramah pada Naina. Namun, Naina dan Veer tetap memegang teguh perjanjian bahwa mereka akan menjaga jarak untuk menghindari kemungkinan jatuh cinta.

Naina mulai diajak makan bersama, tapi dia selalu menolak. Naina lebih sering menghabiskan waktunya di apartemen. Mendengarkan celotehan adiknya yang gagal bekerja di bidang apa saja. Akhirnya dia memutuskan untuk menikah dengan kekasihnya, Araav.

Mereka sudah lama menjalin hubungan dan menjadi alasan penolakan Tania pada Veer. Namun keluarganya tak pernah mengetahuinya.

"Pernikahan bukan hanya sekedar meresmikan perasaan cinta, Tania. Tapi lebih dari itu," ujar Naina ketika mendengarkan curhatan adiknya.

"Kakak bicara seperti yang sudah menikah saja," ejek Tania, "faktanya, kakak itu masih single."

Naina santai saja menghadapi kalimat pedas itu.

"Aku dan Rohan, pasti ada alasan kenapa dia meninggalkanku. Tidak mungkin tidak, dia bukan pria tidak bertanggung jawab. Aku mengenalnya lebih dari tujuh tahun." Kenangnya sambil menerawang jauh ke masa lalu.

"Aku dan Araav sudah lima tahun menjalin hubungan, dan dia serius ingin menikahiku. Dia sekarang sudah bekerja dengan mapan. Orang tuanya setuju, sisanya tinggal proses kami belajar dan saling memahami sebagai suami istri kan?" papar Tania semakin pintar.

"Terserah. Aku hanya mengingatkan. Pernikahan juga bukan sekedar kau dan Araav. Tapi tentang orang tuamu dan orang tuanya Araav," pungkas Naina sambil mengambil tasnya. "Aku berangkat kerja dulu," katanya mengakhiri.

"Aku akan pulang besok. Untuk mempersiapkan semuanya. Aku harap kakak datang, dengan Veer," ejeknya sambil lari ke dalam kamar.

Naina hanya tersenyum kecut sambil mendelik ke arah adiknya. Kemudian melangkahkan kaki keluar dari apartemen. Selama di dalam lift, membaca pesan teman-temannya yang mengajak liburan ke Goa. Mereka menunggu jawaban Naina.

'Aku belum yakin bisa cuti. Juga tidak tahu alasan apa pada keluarga suamiku," balas Naina sambil menyandarkan kepala di dinding. Rasanya hari ini lelah sekali. Namun, dia tetap harus menjalani rutinitas dan tanggung jawab pada pasien di rumah sakit.

***

Arvita sudah bisa pulang setelah sekian lama dirawat di rumah sakit meski tetap ditemani tim medis, yaitu suster khusus untuk merawatnya. Gauri sangat bahagia, begitu juga dengan Kailash. Dia menjadi sangat baik pada Naina, meski tetap tak berniat menjadikan Naina sebagai menantu sungguhannya.

Baginya, menjalin kekerabatan dengan keluarga Naina itu sangat hina. Karena rasa benci dan dendamnya pada orang tua gadis itu.

Naina sendiri tak keberatan dengan itu, dia masih menganggap kemarahan Kailash hal yang wajar. Lagipula dia tidak mencintai Veer, dia masih berharap Rohan kembali padanya. setidaknya memberikan alasan dan mengetahui keberadaannya.

"Kadang aku heran dengan Naina, dia tidak tidak keberatan dengan sikap Kailash dan Veer yang tetap mengatakan tidak ingin dia masuk dalam keluarga ini. Tapi dia tetap baik. Apa dia sedang berakting, atau memang bodoh? Atau memang kenapa?" tanya bibi Asha pada Gauri yang tengah memakaikan pakaian pada Arvita.

"Bibi, Naina itu sangat baik. Dia pasti punya alasan, dia juga memahami rasa sakit yang dialami keluarga kita. Jadi dia memilih menjadi tumbal untuk keluarganya," jawab Gauri.

"Maksudmu?" tanya ibunya.

"Aku pernah dengar dia mengatakan, anggap saja aku tengah menjalani hukuman selama enam bulan atas kesalahan Tania dan orang tuanya," papar Gauri mengingat percakapan Naina dan Tania. "Jadi, dia pasti merasakan beban, dan ingin juga bebas dari rumah ini. Tapi dia melindungi keluarganya," ujar Gauri lagi. "Aku malah berharap, Veer dan ayah, memilihnya. Menerimanya. Dia wanita yang luar biasa bagiku."

"Hanya karena menyelamatkan Arvita? Dia memang seorang dokter." Ibunya masih tak yakin.

"Awalnya demikian, Bu. Tapi semakin hari, semakin sering berdialog dengannya, aku tahu dia orang yang sangat baik. Dia tahu persis andai dia gagal menyelamatkan Arvita, kita pasti akan semakin membencinya. Tapi dia profesional." Gauri menatap ibunya.

"Mungkin benar dia baik, tapi itu belum cukup bagiku untuk bisa menerimanya." Kailash muncul dari balik pintu.

"Itu hakmu, Ayah. Tapi aku, aku akan dengan senang hati merubah sikapku padanya," pungkas Gauri sambil tersenyum.

***

"Ibu jangan bermimpi keluarga Kailash Nanda akan menghadiri pernikahan Tania dan Araav." Naina tengah berbicara dengan ibunya di telepon.

Ibunya masih berharap keluarga Nanda menerima Naina, tapi tidak dengan Naina.

Meraka serba salah. Ingin mengundang, tapi takut ditolak.

Tidak mengundang, takut mereka tersinggung.

"Aku akan pikirkan nanti, bagaimana baiknya," tutup Naina lalu mematikan sambungan teleponnya.

Naina kembali membuka grup whatsapp. Dia masih bimbang haruskah ikut tour ke Goa bersama mereka? Alasan apa yang harus dibuat?

Dengan terus memutar otak mencari alasan, dia akhirnya tiba di rumah. Keluarga itu baru saja akan memulai makan malam. Tidak biasanya, ini sudah hampir jam delapan. Biasanya mereka makan malam pukul tujuh, karena itu untuk menghindarinya Naina pulang setelahnya.

"Kebetulan kau baru pulang, ayo bergabung." Gauri menyapa Naina yang baru saja tiba dan kebetulan melewati ruang makan.

"Aku sudah makan. Terima kasih," jawab Naina ramah.

"Bergabunglah Naina. Kami sengaja menunggumu," pinta Kailash yang sudah duduk disana.

Menungguku? Adakah hal penting? tanya Naina dalam hati.

Dia langsung berjalan ke arah meja makan, dan duduk di kursi yang masih kosong. Di samping Veer yang juga sudah pulang.

Makan malam dimulai, tapi tak ada obrolan diantara mereka. Naina hanya mengambil sedikit makanan, karena sudah makan malam di apartemennya.

"Makan yang banyak, Naina. Kau seorang dokter. Pasti lebih tahu tentang pentingnya makan." Gauri mencoba membuka obrolan.

Naina tersenyum lalu meneguk air mineral yang sudah disediakan untuknya.

"Kebetulan semua berkumpul, aku ... ingin mengatakan hal penting." Naina menyudahi makan malamnya.

Veer langsung menoleh, penasaran dengan apa yang akan dikatakan istrinya. Dia pun menduga-duga, kemungkinan Naina akan meminta izin keluar dari rumah ini.

"Katakan saja." Kailash menatap Naina dengan sorot mata tajam. Mungkin dia juga sama, menebak Naina ingin pergi dari rumah itu.

Seharusnya mereka senang bukan? Tapi kenapa mereka seperti keberatan.

"Apa kau ingin keluar dari rumah ini?" tanya ibunya Veer, seolah mengutarakan dugaan semua orang.

Naina tersenyum dan menggeleng. "Tidak. Aku tidak mungkin mempermalukan kalian di hadapan orang yang mengetahui pernikahan ini. Aku hanya ijin untuk tiga hari mengikuti seminar. Itu saja," terang Naina dengan tenang dan tersenyum.

Tarikan napas lega terlihat dari wajah mereka semua, termasuk Veer yang tersenyum sedikit sambil kembali menyantap makanannya.

"Tentu saja. Kenapa tidak," jawab Kailash. "Tapi yang utama, kau harus membiasakan diri izin pada suamimu."

Naina melirik ke arah Veer yang tengah asik menghabiskan makan malamnya. Lelaki itu tidak meresepon dan sibuk dengan sendok juga garpunya.

***

"Jadi, boleh aku pergi?" tanya Naina ketika mereka sedang di kamar.

"Pergi saja. Kita kan bukan suami istri. Kau lupa itu?" tanya Veer balik.

"Benar juga, kenapa aku bisa lupa." Naina mengangkat alisnya dan segera merebahkan diri di sofa sambil melakukan chatting dengan teman-temannya.

Naina : Sukses, aku ikut ke Goa. Aku pura-pura menghadiri seminar.

Kia : Haaa! keren! Sesekali tidak apa berbohong, apalagi dengan orang-orang aneh itu.

Anu : yeaaay, selain dokter kau juga fotografer yang baik. Setidaknya fotoku tidak akan buram di tangan Geet dan Kia.

Geet : Anu!!!! Grrrr....

Anu : hahahaha..

Naina: ok. Sampai ketemu besok di bandara. Aku harus packing.

Geet: sip!

Naina tersenyum dan segera mengemas pakaiannya. Terpaksa dia berbohong pada keluarga Nanda karena ingin sekali keluar dari kepenatan, mencari kesenangan dengan teman-temannya.

Dia sudah mengajukan cuti pada rumah sakit. Mendapatkan izin dan entah akan bagaimana jika keluarga Nanda tidak mengizinkannya.

Veer melihat Naina tampak aneh, karena hanya untuk pergi seminar saja kenapa dia begitu tampak bahagia? Apa karena dia akhirnya bisa pergi dari rumah ini walau untuk tiga hari?

Dia terus memperhatikan gerak gerik Naina yang di wajahnya terus melukis senyum. Tidak biasanya. Bahkan sedikit bersenandung pelan sambil berjalan ke sofa tempat ia tidur setiap malam.

***

Para gadis tiba di bandara. Mereka berpelukan karena gembira. Bukan apa, ini adalah petualangan mereka setelah dulu di masa-masa SMA mereka. Apalagi sekarang lebih berkesan, karena mereka sudah dewasa dan bisa pergi ke mana saja.

"Ayo! Sebentar lagi pesawat kita lepas landas," ujar Naina tidak sabar.

"Tunggu sebentar. Seseorang akan ikut dalam perjalanan kita," kata Anu sambil terus menanti ke pintu depan.

"Siapa?" tanya Naina sedikit cemas.

"Itu dia!" Anu tampak sumringah saat melihat Veer dan dua asistennya datang.

Naina langsung mengerjapkan mata dan mencoba mengendalikan degupan jantungnya yang tak beraturan karena terkejut ditambah takut.

"Hai, maaf menunggu lama."

"Its ok baby." Anu langsung mencium pipi Veer, dan teman-temannya hanya tersenyum. Kecuali Naina yang menyembunyikan tubuhnya yang tak tinggi di belakang Geet.

"Oh ya, kenalkan ini Geet." Anu memperkenalkan satu per satu temannya. "Kia," katanya sambil menunjuk Kia. "Dan, yang paling kusayang ... Naina," katanya sambil menarik tangan Naina dari belakang Geet.

Naina tersenyum sambil mengulurkan tangan. Sedang Veer sudah jelas terkejut, karena ternyata Naina bukan pergi untuk seminar kedokteran, melainkan pergi dengan teman-temannya.

Keduanya bersalaman, layaknya orang yang baru bertemu dan tidak saling kenal.

"Ok, lengkap. Ayo." Anu langsung menggandeng tangan Veer dan menuju pintu keberangkatan lebih dulu.

Naina dan juga kedua temannya menyusul di belakang, diikuti dua asisten Veer.

"Kau naiklah dulu. Aku harus menghubungi seseorang." Veer menghentikan langkah sebelum masuk pintu khusus. Anu langsung masuk disusul Kia dan Geet. Sedang Naina masih di belakang.

Veer menarik tangan Naina ke dinding pojok pintu dan menatapnya tajam. Naina panik karena takut dilihat oleh ketiga temannya. Dia terus menoleh ke lorong menuju pintu pesawat.

"Seminar?" tanya Veer dengan ketus.

"Sudahlah Veer. Aku hanya ingin melepaskan kepenatan. Aku juga butuh bahagia," protes Naina sambil menarik tangannya.

Veer memanggil kedua asistennya yang mengenali Naina sebagai istrinya.

"Ingat, kalian harus berpura-pura tidak kenal satu sama lain dengan wanita ini," katanya melirik ke arah Naina.

"Tanpa kau komando pun, aku tidak tertarik mengatakan bahwa kau suamiku pada mereka." Naina segera meninggalkan Veer dan kedua asistennya. Ia masuk ke dalam pesawat dan duduk bersama Geet dan Kia. Sedang Anu duduk bersama Veer.

Sepanjang perjalanan mereka tampak mesra. Bahkan Anu sempat mendekati ketiga temannya untuk mengatakan tak biasanya Veer begitu romantis padanya, saat  itu Veer tengah ke toilet.

Bagi Naina, Veer hanya sedang mencoba pamer saja padanya.

"Siapa peduli? Memangnya aku akan cemburu?" gumam Naina sambil terus membaca majalah di tangannya.

Bersambung...


Komen ya ...

Subscribe 

Kasih 5 bintang





Komentar

Login untuk melihat komentar!