Bukan Wanita Biasa

Persahabatan yang terjalin hingga mereka lulus kuliah dan bekerja, membuat mereka selalu menyempatkan diri untuk bertemu. Naina dengan cepat mendapatkan pekerjaan yaitu praktek di rumah sakit pemerintah daerah Manali. Sedang Rohan masih harus melamar pekerjaan ke sana ke mari.

Kadang Rohan yang frustasi mengaku lebih memilih berkencan dengan wanita-wanita yang tergila-gila padanya. Mendapatkan uang dari mereka, hingga Naina mengejeknya tidak berguna, memalukan.

"Aku tidak meminta, mereka sendiri yang memberikan," elak Rohan sambil menyandarkan diri di kursi taman.

Naina menatapnya dari samping.

'Apa kau tidak pernah merasakan perasaanku, Rohan?'

Batin Naina terus bertanya.

Ya, Naina jatuh cinta pada Rohan, tapi sang pria tak pernah menyadarinya. Naina sendiri tidak mengerti kapan rasa itu mulai datang padanya. Yang dia tahu, dia selalu merasa cemburu jika Rohan dikelilingi para gadis.

Kesal, ketika Rohan menceritakan kencannya dengan gadis lain. Namun tak pernah mampu mengatakan isi hatinya. Harga diri sebagai wanita masih menahannya, dan tetap mengharuskan pria lah yang harus mengutarakan cinta lebih dulu. Hingga dia terus memendam perasaan hingga bertahun-tahun lamanya. Bahkan hingga tiga tahun paska kelulusan mereka.

***

Setiap saat, Naina selalu menyediakan waktu untuk Rohan. Karena cintanya, karena harapannya untuk mendapatkan perhatian sang pujaan hati. Namun, Rohan tetap saja cuek dan menceritakan soal gadis-gadis lain pada Naina.

Hingga membuat Naina semakin jengkel.

"Pergi dan temui gadis-gadis bodoh itu saja," omel Naina ketika Rohan menjemputnya di rumah sakit.

"Hey, ko tiba-tiba marah?" Rohan heran dan mengejar Naina yang berjalan kaki dengan menjinjing jas dokternya.

Naina tak menjawab dan terus berjalan hingga halte bus.

"Naina, kau ini kenapa?" Rohan meraih tangan Naina yang tetap tak mau menjawab dan hanya sibuk melihat ke arah kanan menunggu kedatangan bus.

Rohan tersenyum dan menatap mata Naina yang tampak penuh rasa cemburu. Tak lama bus datang, Naina bersiap untuk naik, tapi tangan Rohan terus mencegahnya.

"Lepaskan aku Rohan. Aku harus pulang," ujar Naina tanpa menoleh pada sang pria yang terus menatapnya.

Tapi Rohan bergeming dan terus menahannya. Hingga hampir semua orang di sana tak tersisa karena sudah naik ke dalam bus.

"Hey, Nona! Naik tidak?" tanya kondektur bus.

"Tunggu sebentar," ujar Naina sambil berusaha melepaskan tangan Rohan. "Lepaskan Rohan. Aku harus pulang. Aku lelah, kau bisa mencari keseruan dengan gadis-gadis itu kan?" katanya sambil menggunakan tangan kirinya untuk melepaskan tangan Rohan yang mencengkram lengan tangannya.

"Beri aku waktu sampai benar-benar sukses." Rohan terdengar serius.

Naina menoleh dan menatap mata Rohan yang masih setia menatapnya. Naina terdiam, mata mereka pun saling terkunci satu sama lain.

Bus melaju pergi melihat adegan itu. Karena sang sopir tahu, bahwa Naina tidak mungkin naik pada akhirnya.

"Rohan?" Naina memandang mata Rohan tak berkedip.

"Aku tahu Naina, tapi aku merasa belum pantas untukmu," ujar Rohan pelan.

Bibir Naina bergetar dan matanya berbinar. Pada akhirnya dia menundukkan pandangannya dari pria yang amat dia cintai itu.

"Aku tidak pernah menemui gadis mana pun, selain dirimu. Hanya aku ingin kau menjauh dariku, agar mendapatkan pria mapan yang akan membahagiakanmu kelak. Bukan pemalas sepertiku."

Naina seketika menutup bibir Rohan dengan jari telunjuknya, sambil menggelengkan kepalanya.

"Aku juga mencintaimu, Naina. Tapi kau terlalu istimewa untuk pria sepertiku," bisik Rohan sambil mengecup jari telunjuk Naina, membuat sang gadis tak kuasa menitikkan air mata.

"Rohan," bisik Naina.

"Dari tadi kau hanya menyebut namaku."

Naina tersipu dan menundukkan pandangannya.

"Jangan pernah mengalihkan matamu dari mataku, karena itulah yang membuatku selalu semangat mengejar impianku." Rohan menaikkan dagu Naina dengan telunjuknya hingga kembali menatapnya.

Wajah mereka semakin saling mendekat. Naina mengangkat kepalanya agar lebih tinggi dan Rohan merundukkan kepalanya agar lebih rendah.

Teeeet!

Suara klakson bus berikutnya membuat mereka terkejut dan saling menjauh sambil tertawa. Naina langsung mendorong Rohan dan naik ke dalam bus.

Rohan tertawa dan menatap Naina yang memberinya kecupan dari dalam bus.

"Muah!" Rohan membalasnya dan tetap berdiri hingga bus tak terlihat. Kemudian kembali ke depan rumah sakit untuk mengambil motornya.

***

Buuuuk!!!

Veer terbangun karena dikejutkan suara benda jatuh. Ternyata Naina jatuh dari sofa tempatnya tidur dan mengenai meja.

Naina memegang kepalanya sambil duduk di lantai. Dia mengusap-usap kepalanya karena sakit dan terkejut.

"Kau mengganggu orang tidur saja," protes Veer sambil mengusap wajahnya.

"Maaf. Aku lupa kalau tempat tidurku kecil," balas Naina sambil berdiri dan merentangkan tangannya. Kembali menggelengkan kepala dengan cepat untuk menormalkan diri.

"Bukan tempatnya yang kecil, tapi badanmu yang terlalu lebar," ejek Veer.

Naina memang bukan wanita bertubuh indah seperti Anu. Dia hanya gadis pada umumnya dengan tinggi standar hanya 158 cm dan berat badan yang tidak terlalu ideal.

"Lebar itu bikin hangat kalau dipeluk," balas Naina sambil menguap malas.

"Apa? Percaya diri sekali kau." Veer berdecak mengejek.

"Kau bilang begitu saat aku memelukmu dalam hujan." Naina setengah berteriak sambil membalikkan badannya. Seketika dia tersadar siapa yang menjadi lawan bicaranya, sedangkan Veer mengangkat sebelah alisnya.

Naina menatap sekeliling kamar, baru menyadari bahwa dia berada di kamar suami yang tak pernah mau mengakuinya.

Dia kembali menatap ke arah Veer yang tengah memperhatikannya. Kemudian duduk di sofa, dan meraih ponselnya, lalu membuka fotonya bersama Rohan.

Veer merasakan keanehan pada diri Naina. Tadi dia tampak sangat ceria dan gaya bicaranya manja, tapi seketika jadi pendiam lagi.

Dia dan keluarganya memang mengira Naina wanita yang kaku, tradisional dan benar-benar gadis daerah yang masih ketinggalan zaman. Sehingga mereka terkesan merendahkan Naina, bahkan mereka tak pernah tahu pendidikan dan pekerjaannya. Jadi ketika Naina bersikap ceria seperti tadi sungguh di luar perkiraannya.

***

Veer jadi sering memperhatikan gerak gerik Naina.

Pertama dia heran, karena Naina berbicara pada malam itu seolah pada orang lain, bukan padanya.

Kedua karena ada rasa penasaran juga pada akhirnya dengan sosok wanita yang kemarin sangat dia benci. Bahkan ingin dia sakiti setiap harinya. Namun sepertinya wanita itu tak pernah merasa tersakiti, dia tampak biasa saja.

Setiap berinteraksi dengan pelayan di taman belakang, dia tampak elegan sekali, berwibawa juga tenang. Sangat menghargai siapapun, tak peduli status sosialnya. Namun, ketika di hadapan keluarga Nanda, Naina tampak diam tanpa ekspresi apapun, terkesan lugu dan kaku.

Sesungguhnya Naina dilarang berinteraksi dengan anggota keluarga Nanda tapi juga pelayan, tapi para pelayan yang sering menghampiri Naina saat merawat taman bunga di halaman belakang. Mengajaknya bicara karena merasa kasihan, juga karena nyaman ketika berinteraksi dengan Naina.

Di hari minggu seperti ini, keluarga Nanda biasanya berkumpul di taman. Khusus hari ini, mereka kedatangan penjual perhiasan langganan mereka. Setiap anggota keluarga boleh memilih perhiasan yang mereka mau untuk dipakai sehari-hari, atau untuk sebuah perayaan adat.

"Menantu anda tidak terlihat?" ujar Madhav sang penjual perhiasan. Bagaimanapun, dia tahu tentang Naina karena memang pernah menyiapkan perhiasan untuk pernikahan Veer.

"Ah iya, panggil Naina kemari," ujar Kailash pada pelayan.

Pelayan segera memanggil Naina di taman belakang. Setelah tiba, dia duduk di kursi yang telah disediakan.

Semua wanita keluarga itu sibuk memilih perhiasan. Hanya Naina yang diam saja menunggu instruksi dari penguasa di rumah ini.

"Kau pilihlah," titah Kailash dengan suara dingin.

"Tidak perlu, Tuan. Saya jarang memakai perhiasan," balas Naina mencari kalimat bijaksana.

"Kau tidak harus membantah Naina, ambillah mana yang kau suka. Tidakkah kau bisa menghargai kami?" Ibu Veer menatap dengan tatapan tajam.

Naina mengangguk, lalu memandang perhiasan yang terhampar di hadapannya. Dia memperhatikan satu per satu, mencari yang sekiranya paling sederhana dan paling murah.

"Tuan, bisa aku lihat yang itu?" Naina menunjuk perhiasan dengan warna perak mendominasi.

"Ini?" Tuan Madhav mengambil sebuah kotak perhiasan.

Naina mengangguk. Perhiasan itu tampak sederhana karena tidak glowing seperti yang lain.

"Aku yang ini saja." Naina menunjukkan pada Kailash dan istrinya.

"Istri Veer memang memiliki selera yang baik. Perhiasan ini mengandung platina dan emas murni. Harganya juga paling mahal dari yang lain," ujar Tuan Madhav.

Naina langsung melotot dan menelan ludah, lalu menoleh ke arah Kailash juga Veer yang tengah menatapnya.

"Maaf, aku pikir ini paling sederhana jadi mungkin paling murah." Naina segera menyerahkan kotak tersebut pada tuan Madhav.

"Ambil saja," ujar Veer, "kau sudah memilihnya. Tidak masalah." Namun tetap dingin.

"Tapi Veer, aku ...."

"Bisakah kau tidak membantah?" tanya Veer tajam. Sikapnya masih saja dingin terlebih jika di depan keluarganya.

Naina segera menarik kembali tangannya dan memegang kotak perhiasan itu. Anggota keluarganya yang lain hanya saling berpandangan, dan menatap perhiasan terhamal yang dipegang Naina.

"Ibu!" teriak putri Gauri yang sejak tadi tengah bermain dan berlari bersama anak-anak lainnya.

"Ya Tuhan, Arvita!" Gauri histeris saat melihat putrinya terjatuh dari balkon lantai dua rumah. Darah mengucur dari kepalanya, semua panik tidak karuan.

"Cepat panggil ambulance!" teriak bibi Asha.

"Tidak! Siapkan mobil!" teriak Kailash yang berusaha mengangkat tubuh Arvita.

Naina lari ke arah Arvita dan berusaha menyentuh kepalanya.

"Jangan sembarangan Naina!" teriak Gauri.

"Darahnya harus dihentikan dulu. Ikatkan kain halus ini di kepalanya." Naina melepas selendangnya berusaha menolong Arvita.

"Dengar! Aku bilang jangan sentuh cucuku!" teriak ibu Veer yang panik. "Mundurlah!" teriaknya.

Bibinya Veer langsung menarik Naina ke belakang dengan kasar. Sementara itu, suami Arvita mengangkat tubuh anak kecil malang itu dan membawanya ke dalam mobil.

Veer mengambil alih kemudi dan segera melesat ke rumah sakit terdekat.

Naina terdiam dan terlihat gelisah, haruskah dia ke rumah sakit? Atau diam saja di rumah?

Dia mondar mandir sambil berfikir, membuat orang-orang yang melihatnya aneh dan kesal.

"Apa kau tidak bisa duduk?" teriak bibi Asha yang memang paling cerewet.

Naina tersenyum dan berusaha duduk. Namun, ada panggilan ke ponselnya membuat dia mengurungkan niat untuk duduk.

"Aku akan segera ke sana." Naina langsung mematikan ponselnya dan keluar dari rumah itu dengan menggunakan mobil dinas dari tempatnya bekerja.

***

Keluarga Nanda tampak panik ketika tiba di rumah sakit. Dokter jaga mengatakan Arvita sudah kehilangan banyak darah. Selain itu harus diambil tindakan medis lebih lanjut karena ternyata selain benturan di kepala, juga kemungkinan ada luka dalam dan harus ditangani dokter spesialis bedah.

"Dokter, lakukan yang terbaik," isak Gauri.

"Anda tenang saja, kami sudah menghubungi dokter yang kompeten menangani hal ini," ujar dokter jaga.

"Kenapa tidak anda langsung dokter?" Kailash tidak sabar.

"Tuan, luka anak ini sangat serius. Diperlukan penanganan ekstra dari ahlinya. Untuk sementara kami sudah melakukan tindakan awal, tapi organ  lebih baik menunggu dokter spesialis. Saya hanya dokter umum," paparnya dengan tenang.

"Sudahlah Tuan Nanda, percayakan pada tim dokter," ujar Dr. Mishra, dokter keluarga Nanda yang juga hanya seorang dokter umum.

Semua hanya menunggu dengan kecemasan. Karena ini hari minggu, tentu dokter spesialis tidak stand-by di rumah sakit. Jadi harus sabar menunggu.

"Bagaimana kondisi pasien?" Suara yang tak asing itu mengejutkan mereka. Terlebih Veer yang sejak tadi menyandar di dinding.

"Dia kehilangan banyak darah, Dok. Kemungkinan luka dalam yang harus anda pastikan. Hasil rotgen akan segera tiba," ujar dokter jaga.

"Ok. Aku akan periksa dulu. Stok darah tersedia? Jika tidak minta keluarganya untuk donor darah, sekarang juga." Naina yang merupakan dokter spesialis yang dihubungi pihak rumah sakit.

Keluarga Nanda saling lirik melihat Naina dengan jas dokter dan tampak sibuk dipakaikan alat-alat safety oleh suster. Rambutnya diikat dan dipasangkan pakaian khusus lalu sarung tangan. Mereka tidak tahu harus bicara apa, hanya tangis yang pecah dari bibir Gauri dan ibu Veer, yang sempat melarang Naina menyentuh Arvita.

"Dia?" Kailash mengerjapkan mata dan mengusap keringat di dahinya.

"Naina!" Gauri langsung menghambur ke pintu yang akan ditutup dan mengatupkan kedua tangannya. "Maafkan aku," katanya dengan linangan airmata. "Selamatkan putriku."

Naina tersenyum tipis tapi terlihat menenangkan.

"Sudah siap, Dok."

"Tutup." Naina meminta suster menutup ruangan itu.

'Dia seorang dokter?'

Hanya itu yang terpikirkan oleh Veer saat ini. Hingga dokter jaga meminta kesediaan dari keluarga untuk melakukan donor darah. Gauri dan Veer yang memiliki golongan darah yang sama dengan Arvita, langsung menuju ruang khusus pendonor.

Tiga puluh menit kemudian Naina keluar dan menemui Kailash juga keluarganya.

"Ada benturan keras di kepala, dan darah sedikit menumpuk di sana. Harus dilakukan operasi untuk itu. Untuk yang lainnya, di bagian tubuhnya hanya sedikit retakan di tulang punggung. Dan akan diambil tindakan setelah bagian kepala. Dokter Amar adalah dokter tulang yang akan menanganinya." Naina menjelaskan sambil memperkenalkan dokter yang tampak lebih tua darinya.

Gauri tampak lemas. Dia hanya pasrah dan meminta yang terbaik saja untuk putrinya.

"Naina, maksudku ... dokter." Kailash tampak tegang dan kikuk. "Apa dia akan baik-baik saja?" tanyanya penuh kegetiran.

Arvita adalah cucunya satu-satunya.

"Saya akan berusaha semaksimal mungkin, Tuan Nanda," jawab Naina dengan senyuman penuh ketenangan. "Saya permisi dulu." Naina menuju ruangannya disusul suster dan dokter Amar untuk membahas tindakan lanjutan.

"Ya Tuhan, andai tadi kita biarkan dia menyentuh Arvita," ujar ibu Veer penuh penyesalan.

"Kita tidak tahu dia dokter, Bu." Ayah Arvita terdengar lemah.

"Itulah kesalahan kita. Tidak pernah mau mengenalnya. Menjadikan dia hanya pelampiasan dari amarah kita saja." Gauri terisak.

"Anda jangan khawatir, dr. Naina adalah dokter terbaik di Manali. Rumah sakit ini berulang kali menawarkan praktek padanya, tapi dia menolak meninggalkan orang tuanya. Entah keajaiban apa yang membuatnya tiba-tiba datang ke Mumbai dan bersedia bekerja disini," papar Dr. Mishra.

Kailash terdiam, begitu juga Veer, perasaan mereka berkecamuk. Cemas dengan keadaan Arvita, juga merasa malu pada Naina. Bahkan Veer tak henti-hentinya memandang ke arah ruangan di mana Naina tadi masuk bersama suster dan tim dokter.

Dan bagai terpanggil oleh perasaan Veer, sosok itu keluar dari ruangannya dengan sangat elegan, lalu kembali masuk ke ruang ICU, kembali mengecek kondisi gadis malang itu.

"Naina ...," bisik Veer lemah tapi ada sebaris senyum tak terbaca di sana.

bersambung....

Komen ya gaes. Biar aku semangat. 

Subscribe

Kasih rate 5 star


Baca juga A SURROGATE MOTHER yang mengharu biru


Komentar

Login untuk melihat komentar!