KAWIN YUK!

📣 #AJARI_ADIKKU_KAWIN


💖 Pernikahan LUCU dan Seru antara SUAMI yang GOMBAL akut dan ISTRI yang POLOSNYA Kebangetan


#cerbung

#MiratiMona


"Ujang, tolong AJARI ADIKKU cara KAWIN!"


Seketika itu juga, kopi yang lagi kuteguk keluar kembali dalam bentuk semburan ke wajahnya yang berada tepat di depanku.


"Ah, maaf! Maaf!" Dengan gugup aku menyambar kain di dekatku dan hendak mengelap mukanya.


"UJAANG! ITU SERBET MEJA!" Dia berusaha menepis tanganku.


Aku mengerjap kaget dan melempar serbet itu ke samping. "Ma-maaf. Lagian kamu bercandanya kelewatan!" Aku berkelit sambil memberi tisu ke arahnya.


Namun, Bramantyo sama sekali nggak ketawa. Acara makan siang sekaligus reuni berdua aja di rumahku, mendadak jadi serius.


"Kamu bercanda, 'kan? Mana ada ngajarin anak orang cara kawin?"


"Aku serius! Dia udah mau 25 tahun, tapi cara kawin aja dia nggak ngerti." Lagi-lagi wajah seriusnya tak berubah. 


Aku makin kesal. Rasanya dia mulai mempermainkanku. "Udah tahu perasaanku sama Ayudisa seperti Kasih Tak Sampai season empat. Kamu malah bikin aku Tersanjung season tujuh! Padahal tidak ada Ikatan Cinta episode 365 di antara kami!" gerutuku.


"Kamu ngomong apa?" Bramantyo memandangku bingung. 


Ah, sudahlah, kami memang sering nggak nyambung kalau ngomong. Herannya, dia yang kaya raya tujuh turunan itu senang sekali nempel di dekatku yang cuma anak tukang bubur ayam. 


"Jangan bercanda soal perasaan orang, Bram. Cintaku pada Ayudisa cuma sebatas di sini." Aku menepuk dadaku perih. "Kalian ningrat, aku melarat! Jangan bikin hatiku sekarat, karena ditolak itu berat!"


"Aku nggak pernah bercanda. Kamu harus nolongin adikku. Dia mau dijodohkan Bunda dengan…." Suaranya seperti tersangkut. "Laki-laki tua kaya-raya."


Aku berdeham. Perih. Perjodohan di antara kaum ningrat ternyata masih ada bahkan di abad modern seperti ini. 


Cintaku benar-benar bubar! Ambyar! 


"Kamu udah nggak cinta sama Ayu?"


"Mana ada! Aku selalu mencintainya. Aku masuk dalam kader berprestasi jomlo gagal move on ini!" Aku mengusap kepalaku frustrasi mengingat aku ditolak mentah-mentah oleh Bunda Ayudisa ketika mencoba melamar putri bungsunya tahun lalu.


"Ya udah, ayo kawin sama adikku! Dia udah setuju. Daripada dia hidup menderita sama Om-Om umur empat puluhan. Jadi madu pula! Mendingan kawin lari sama kamu yang aku udah kenal luar-dalam sejak kuliah bareng di Bandung. Udah ganteng, pinter, kekar, kuat, satpam lagi!"


Aku bengong. "Bram, kayaknya ada yang salah sama kata terakhir. Dan kalau kamu yang ngomong, GELI SUMPAH!!"


"Pokoknya, kamu mau nggak?"


"HARAM, BRAAAAM!!! BUKAN MAHRAM!!" Aku akhirnya tak kuasa berteriak. 


Tiba-tiba aku mengaduh karena kepalaku terkena lemparan sendok yang ada di tangannya.


"Nikah dulu, lah!" Kali ini wajahnya terlihat sedikit kesal.


Sejenak aku ragu. Apa benar Bram serius? Aku cuma satpam. Kuliah S1-ku tidak sampai selesai karena terbentur biaya. Otakku tidak cukup mampu bersaing untuk meraih beasiswa meski IP-ku pun selalu di atas 3. Namun, akhirnya kujawab, "Siapa yang nggak mau, sih? Maharnya?"


"Oke. Aku siapin semuanya. Maharnya, semampumu aja." Bram mengangguk puas.


Aku pun menyesap kopiku berusaha menyingkirkan debar yang terasa. Mungkin dia memang hanya mau bercanda. Sebaiknya aku tak usah terlalu serius menanggapinya.


"Oh, aku hampir lupa." Suara Bram tiba-tiba menyentak lamunanku. "Dia juga bisa melihat makhluk yang harusnya nggak bisa kita lihat!"


Seketika itu juga kopi di mulutku kembali menyembur sempurna.


🌟🌟🌟


Meski dibilang keturunan ningrat, Ayu dan Bram tinggal di kompleks perumahan elit di Jakarta Selatan. Aku pernah berkunjung ke rumahnya satu kali saat mencoba melamar Ayu dengan membawa seserahan berupa gelang emas seberat lima gram. Namun, fakta bahwa kolam ikannya saja, lebih besar daripada rumahku di tepian kota Cirebon, membuatku auto ditolak!


Nyeseknya sampai ke laut!


Akhirnya, dengan Bram sebagai wali nikah karena ayah mereka sudah meninggal sejak lama, aku dan Ayudisa pun melaksanakan pernikahan dadakan ini. Hanya di KUA yang sepi di hari Jumat penuh berkah.


Bunda Ayudisa ada di mana? Tentu beliau nggak tahu keberadaan kami sekarang. Namanya juga kawin lari! 


Ayudisa terlihat sangat cantik dalam balutan baju muslim putih berlapis. Jilbab panjangnya dihias kerudung tile yang disulam batu kristal imitasi di tepiannya hingga terkesan berkelas. Dia sama sekali tidak melakukan penolakan untuk menikahiku, bahkan kini tampak tersipu-sipu. 


Jantungku rasanya berdebar membayangkan masa depan kami. Ibuku pun langsung menerima calon mantu ningratnya dengan suka cita. Apalagi usiaku sudah 30 tahun dan masih saja membujang tanpa ada hilal calon istri yang diincar. 


Tentu ketika ada kesempatan untuk menikahkan anaknya, beliau langsung nyamber dengan kecepatan penuh!


Soal nafkah, Bram menjanjikan akan membantuku karena tidak ingin adiknya hidup miskin. Tentu aku menolak. Lebih baik tidak menikah daripada harus membebani sahabat sekaligus calon kakak iparku yang sama jomlo ngenesnya itu. Lagipula, sebagai suami, akulah yang harus bertanggung jawab terhadap nafkah istriku, bukan iparku!


Herannya lagi, Ayudisa sama sekali tidak keberatan hidup sederhana. Gajiku sebagai satpam di salah satu bank syariah di Kubangkarang Karangsembung, Cirebon adalah 3,5 juta. Itu cukup untuk makan diriku dan Ibu karena beliau pun menjual bubur ayam khas Cirebon.


Masalahnya, apa Ayudisa yang terbiasa hidup mewah, mampu mengikuti gaya hidup sederhana kami? Meski aku mencintainya karena memang gaya berpakaian dan sikapnya yang kalem, pendiam, sopan, dan tidak terlihat suka pamer harta bendanya, aku tetap was-was.


Namun, nasi sudah menjadi bubur. Aku merasa bersyukur perempuan sesempurna Ayudisa mau menjadi istriku yang hanya satpam ini.


Seperti mukjizat! Tujuh keajaiban dunia! Sebuah peristiwa langka yang mungkin harus dicatat dalam Guiness Book of the Record atau setidaknya Museum Rekor Indonesia!


Maka, kurengkuh bahunya yang tegang setelah akad pernikahan kami dan membawanya ke dekat kaca lalu menghadapkannya ke sana. Pantulan wajah cantiknya terlihat jelas di sana.


"Enak ya jadi kamu, kalau mau lihat bidadari, tinggal lihat di kaca."


Dia mengerutkan kening dan menatap kaca di hadapannya gamang.


"Mas, aku memang bisa melihat setan, tapi bidadari belum pernah." Wajahnya begitu tenang ketika menggerakkan dagu ke ujung ruang KUA yang sepi. 


Seketika itu juga bulu kudukku meremang. 


Pernikahanku… tampaknya akan sangat luar biasa!


💋💋💋


Mona lagi capek nulis cerita yang kejam-kejam. Mau nulis yang santai aja. Semoga suka, yaaaa! Makasiiii…..


Komentar

Login untuk melihat komentar!