SI SERSAN BANDEL 1

Jakarta, Mei 2013

Pria muda berpangkat sersan satu terlihat serius menentukan sudut elevasi targetnya. Dengan bantuan rangefinder membantu daya pandang untuk menghitung jarak, di sebelahnya, Letnan Duhita sebagai spotter, ia menemukan kegugupan yang dirasakan pria berpangkat sersan satu itu melaksanakan misi pertamanya.
Duhita menjauhkan teropong dari matanya.

“San Nehan, aku tahu ini misi pertamamu, aku masih memberikan waktu 30 detik.”

“Siap.”

Letnan Duhita berdiri di sebelahnya. “Saat aku melaksanakan misi pertamaku, aku juga gugup, tapi aku berhasil melakukannya,” ujar Duhita dengan sedikit senyum memandang senjata yang berada di tangan Nehan.

Nehan melirik. “Senyum Anda malah membuatku semakin gugup, Let.”

Duhita melotot, ia memukul kepala Nehan. “Dasar bocah sableng! Sana, cepat lakukan tugasmu! Area sudah aman, jangan kecewakan aku!”

“Siap.”

Duhita menghela, mundur agak ke belakang dengan mengumpat. “Hmm, kenapa Letkol Purwaka memberikan orang baru bandel ini di reguku!”

Duhita memperhatikan Nehan yang bersiap menembak, ada perasaan heran mengapa prajurit baru di regu sniper itu telah diberi misi, paling tidak ia telah menempuh pelatihan khusus dua tahun, namun Nehan belum ada dua bulan di batalyon pasukan khusus. Duhita baru membaca data-data Sertu Nehan setelah ia selesai cuti yang lalu, sersan muda berkulit kuning yang tingginya tak jauh beda dengannya itu memang banyak mendapat medali lomba menembak di luar negeri.

**

Malam itu di kantin barak ramai sorak sorai suara laki-laki. Duhita yang masih bercelana PDL dengan atasan kaus hijau polos yang lengannya digulung masuk ke kantin dan memesan kopi lalu duduk di depan televisi, dia sama sekali tak peduli dengan suara bising di meja belakangnya.

“Let, nggak ikut merayakan keberhasilan saya?” ajak Sertu Nehan.

“Silakan. Aku lagi nggak mau diganggu.” Duhita menyelonjorkan kakinya, dan kedua tangannya melipat, lehernya ia sandarkan santai di sofa depan televisi.

Terdengar suara cekikikan dari beberapa orang.
“Han, apa aku bilang, nggak usah berurusan dengan Letnan Duhita, hanya dicuekin buntut-buntutnya, hihihi,” ejek Serma Binsar.

“Berisik!” teriak Duhita dan semua serempak menjawab, “Siap!” Mereka lalu berhamburan ke luar ruangan.

Duhita memijat-mijat kepalanya, ia pusing lebih pusing dari menerima kegagalannya dalam misi meskipun nyaris tak pernah gagal. Duhita menarik napas panjang lalu mengembuskannya, terbayang besok ibunya akan datang ke tempat dinasnya dan ini kali pertama.

“Ngapain, sih, Ibu pake ke sini segala!” umpatnya sendiri.

“Oh, ternyata Letnan lagi galau ibunya mau datang, ya? Hehehe.”

Duhita kaget. Nehan cengar-cengir di belakangnya. “Kutu kupret! Kamu ngagetin aja tiba-tiba muncul di belakang.”

“Tenang aja, Let, nanti akan saya bantu.”
Duhita berdiri. “Ah, berisik, kamu nggak tahu apa-apa!”

Nehan tersenyum lebar dan kini berada di depannya. “Letnan kan tadi sudah suport saya, sekarang saya mau balas budi.”

Duhita berlalu pergi. “Alamat buruk punya anggota kayak gini.”
 
**
Keesokan harinya.
“Lari! Lari! Jangan kayak siput mau beranak!” teriak Duhita membina regunya.

“Letnan!” teriak anggota dari kejauhan.

“Ya, ada apa?”

“Ada tamu.”

“Hadooh, bisa diusir aja nggak! Bilang lagi sibuk!”

“Sulit, Let, tamunya sudah ada di sini.”

“Duhita!” teriak ibunya Duhita dengan senyum semringah, tangan melambai, yang datang bersama asisten pribadinya.

Mendengar sapa ibunya yang terdengar seperti suara mak lampir membuat wajah Duhita seketika pucat lesi. “Aduh kiamat!” umpat Duhita.

Menik─ibunya Duhita─dan abdi dalemnya berjalan terburu-buru mendekatinya. Wanita berbadan gempal dengan sanggul, kebaya, jarik dan selendang serta kacamata dengan frame tebal itu berbinar-binar bertemu putrinya meski Duhita sama sekali tak menunjukkan ekspresi senang.

“Ngapain, sih, Bu, ke sini segala? Kan bisa tinggal di apartemen Hita, nanti Hita nyusul ke sana.”

Menik membuka kipasnya lalu mengipas-ngipas pipinya yang kemerahan di bawah terik matahari di lapangan. Anggota Duhita melongo melihat Menik yang datang dengan teno seperti di resepsi pernikahan keraton.

“Apa kabar Ndoro Putri?” basa-basi Wardoyo─asisten pribadi Menik.

Duhita tanpa basa-basi langsung menginjak kaki Wardoyo. “Jangan panggil itu di sini, Doyok!”

Anggota regu Duhita berbisik-bisik.
“Oh, raden ajeng tho dia.”

“Tapi, kok, kelakuannya kayak preman, ya?”

“Iya, ya. Raden ajeng kan biasanya lemah lembut, sopan santun, berbudi pekerti,” sindir lainnya lalu tertawa-tawa berbisik.

Duhita senewen lalu menendang bokong seorang di antaranya. “Berisik! Sana teruskan lari kalian, delapan kali putaran lagi!”

“Siap!!!”

Bersambung


Komentar

Login untuk melihat komentar!