Part 6: Mati Pun Tak Apa
Part 6: Mati Pun Tak Apa

Dua laki-laki beda usia itu duduk berdampingan. Iris mereka sama-sama tertuju pada lantai.

Rojak menghela napas semakin berat. Wajah tua itu menolak lelah. Diusapnya sebutir airmata yang telah berkumpul di pelupuk mata. Teringat kembali putri bungsunya yang berbaring lemah.

“Bapak tidak mengerti jalan pikiran kamu. Istri baru melahirkan disuruh ngurus anak tiga. Di mana otak kamu?” tandasnya berat. Tidak ingin berkata kasar sebenarnya hanya saja makian itu keluar begitu saja.

“Aku tidak meminta Adara mengurusi anak-anak, Pak,” batin Lucky tidak terucap.

“Lucky minta maaf, Pak. Aku tidak tahu kalau Adara separah itu.” Setelah mempertimbangkan beberapa padanan kata, akhirnya ungkapan itu yang terucap. Tidak ada yang lebih baik dari meminta maaf, Lucky bersenandika.

“Sekarang di mana Adara, Pak? Lucky mau bertemu.”

“Tidak, tidak usah. Bapak bisa mengurus anak bapak sendiri,” tolak Rojak.

“Pak, Adara masih istri saya.”

“Kelewat, percaya diri kamu, Lucky. Kamu pikir setelah apa yang kamu lakukan pada anakku masih kuperbolehkan kalian berumah tangga! Tidak! Demi Tuhan tidak akan pernah.” Nada suara Rojak naik kembali. Dadanya terasa semakin panas. Meski sekuat tenaga ia menahan emosi tetap mengalir begitu saja.

“Sudah, Pak. Bapak juga harus menjaga kesehatan,” timpal Allan yang tiba-tiba datang.

“Ruang Mawar.” Allan memberikan sebuah kartu pada Lucky. Karena sedang berada dalam masa pandemi rumah sakit menghilangkan kebijakan jam besuk. Serta membatasi pihak keluarga yang menunggu cukup satu orang saja. Itu sebabnya Allan dan Rojak harus bergantian masuk ke kamar rawat.

Laki-laki bertubuh tegap itu menerima. Wajah babak belurnya selalu menunduk sesal. Dia berjalan menyusuri lorong mencari ruang bertuliskan ‘Mawar’.

“Kenapa kamu membiarkan dia menemui Dara.” Rojak berdiri sejajar dengan Allan.

“Sudah, Pak. Bapak juga harus menjaga kesehatan sendiri. Yang penting Adara sembuh dulu.”

“Tidak akan bapak ijinkan dia kembali pada Dara, Allan.”

“Iya, Pak. Iya, itu kita pikirkan nanti.” Pria empat puluh tahun itu mengajak Rojak kembali duduk.

Satu kamar diisi oleh tiga tempat tidur, dibatasi sekat gorden berwarna kuning muda. Bau khas rumah sakit tercium dikala memasukinya. Lucky melihat salah satu tempat tidur yang diisi oleh Adara.

“Dik,” seru Lucky di samping Adara.

Wanita dengan mata terpejam itu tidak menjawab. Sampai detik berputar panggilan Lucky hanya mendapat jawaban hening. Namun, perlahan air mata Adara menetes melewati pelipis.

“Dik, maafin, Mas. Mas tidak tahu kamu sakit seserius ini.”

Adara melempar wajah ke sisi lain yang bersebrangan dengan Lucky. Diusapnya airmata yang menggenang itu dengan ujung jari.

“Sudah pulang kerja, Mas?” sindir Adara. Suaranya parau berusaha menyembunyikan sesak.

“Sudah tadi Maghrib,” jawab Lucky polos.

“Kenapa ke sini? Tidak mengurus anak-anakmu?”

“Sayang, kamu nyindir?” tandas Lucky baru menyadari.

“Tidak. Hanya mereka lebih membutuhkanmu, pulang saja. Aku bisa sendiri, ko. Apa-apa aku bisa sendiri. Aku bisa melakukan semuanya sendiri. Aku bukan wanita manja.” Suara Adara semakin parau.

“Maafin, bukan maksud Mas seperti itu.”

“Urus saja anak-anak dan mantan istrimu itu. Aku masih punya orang tua,” lanjut Adara.

“Dik!”

Adara terisak pelan, ditutupnya wajah pucat itu dengan kerudung. Isakkannya terdengar perih bagai diiris sembilu.

Lucky menunduk disampingnya. Tidak tahu harus berbuat apa untuk menghentikan tangisan Adara. Ingatannya kembali pada masa biduk rumah tangga berjalan dengan Elsa. Tiap kali ada perbuatan Lucky yang tidak sesuai dengan harapan, maka Elsa akan memaki. Laki-laki yang berusaha menjaga lisan itu sering terpancing hingga ikut mengeluarkan kata-kata makian. Entah mengapa, saat ini rasanya lebih baik dimaki habis-habisan daripada didiamkan. Lucky bersenandika.

“Mas. Apa Mas ridho atas pelayananku selama ini pada Mas,” seru Adara setelah terjalin jeda yang cukup lama.

“Ridho bagaimana, Dik?”

“Apa menurut Mas aku sudah maksimal mengabdikan diri pada, Mas?”

“Kamu sudah melakukan yang terbaik, Dik, Mas yang salah bukan kamu.” Lucky membelai kening Adara, diciumnya tangan halus itu berkali-kali.

“Kalau begitu Mas bisa bersumpah pada Allah, kalau aku istri yang saleha?” lanjut Adara.

“Mas, bersumpah kalau kamu istri yang saleha, Dik” ucap Lucky.

“Kalau begitu, apapun yang menimpaku aku ikhlas, Mas. Katanya istri yang meninggal karena melahirkan itu syahid ‘kan. Dan istri yang taat pada suaminya boleh memasuki surga dari pintu manapun.” Adara menjeda.

Diingatnya kembali kisah yang sering diceritakan, tentang Syahida Fatimah putri Rasulullah yang membuat Ali Radhiyallahu anhu marah.

Saat itu Syahida Fatimah tidak sengaja mengucapkan kata yang membuat Ali terusik, menyadari bahwa ia bersalah Fatimah Az Zahra langsung meminta maaf berulang-ulang kali. Melihat wajah Ali yang tidak kunjung berubah, maka Fatimah berlari-lari kecil di sekitar Ali, sebanyak tujuh kali sambil merayu-rayu untuk dimaafkan, melihat tingkah Fatimah dihadapannya Ali tidak dapat menahan senyum.

Kala Syahida Fatimah menceritakan kejadian itu pada Baginda Nabi, Baginda Nabi berkata. “Wahai Fatimah, kalaulah dikala itu engkau mati sedangkan suamimu tidak memaafkanmu, niscaya aku tidak akan menyolatkan jenazahmu.”

Rasa kecewa pada Lucky memenuhi batin Adara. Namun, dipegang eratnya hadis Nabi yang mengatakan, “Seandainya aku boleh menyuruh manusia untuk bersujud kepada manusia lainnya, niscaya akan aku suruh seorang wanita bersujud kepada suaminya.”

Untuk wanita biasa yang sering menyimpan kecewa, tidak mengucapkan kata-kata hinaan saja sudah luar biasa rasanya, Adara bersenandika.

"Kamu bicara apa, Dik? Jangan ngaco! Kamu harus panjang umur. Kita bakalan sama-sama sampai tua. Kita akan ngurus Ezra sama-sama." Lucky meremas tangan Adara.

"Ezra sudah punya takdir sendiri, Mas. Jika memang waktu ini terbaik untuk aku menghadap Allah, aku rela."

Ketika sakit diperut mendera kadang kala kematian terasa sangat dekat. Layaknya seorang ibu Adara pun merasakan kecemasan akan kehidupan bayinya di kemudian hari. Tapi sebagai manusia, mati dalam keadaan baik adalah sebuah kesuksesan yang nyata.

"Permisi, Bapak. Diperiksa dulu ibunya, ya." Seorang suster tiba-tiba datang membuyarkan obrolan mereka.

Lucky beranjak dari kursi plastik itu. Memberi jarak agar suster leluasa melakukan pemeriksaan.

Gadis berkulit bersih itu melingkarkan cuff tensimeter di lengan bagian atas, lalu mulai memompa benda bulat.

"Ibu ketika melahirkan tensinya berapa?" tanya Suster lembut.

"Seratus empat puluh," jawab Adara lemah. Pembicaraan dengan Lucky yang menyesakkan dada meninggalkan butiran bening di pelupuk mata.

"Ada keturunan darah tinggi, Bu?"

"Ada."

"Sekarang sudah turun, Bu. Seratus tiga puluh. Masih pusing?"

"Masih, Sus."

"Karena masih muda jadi masih tergolong tinggi tensinya."

"Pesan dokter kalau hari ini Ibu tidak bisa tidur menyamping, samping kanan atau samping kiri. Besok harus dilakukan rontgen," jelas Suster.

"Untuk apa, Sus?" timpal Lucky cemas.

"Untuk diperiksa lebih lanjut agar tahu kondisi di dalam seperti apa, Bapak. Ditakutkan ada pembuluh darah yang terbuka."

"Kalau ada gimana?"

"Tergantung, Pak. Kalau membutuhkan operasi ulang, berarti nanti operasi ulang, kalau cukup dengan obat maka tidak perlu operasi ulang. Untuk lebih jelasnya Bapak bisa konsultasikan dengan dokter besok."

"Ibu tidak mau 'kan di operasi lagi?" lanjutnya.

"Jangan sampai lah, Sus," jawab Lucky.

"Iya, maka dari itu usahakan bisa tidur menyamping, ya, Bu," bujuk Suster. Adara membalas dengan senyum.

"Jika air infusannya habis, bapak tinggal tekan bell. Saya jaga di depan," ucap Suster seraya pamit pergi.

"Eh, Suster, ko, kelas dua, ya. Istri saya ‘kan punya BPJS kelas satu."

"Tadi di bagian pendaftaran bagaimana Pak?"

"Tidak tahu, bukan saya soalnya."

"Apa sih yang kamu tahu, Mas." Adara membatin.

"Besok Bapak pastikan saja dengan staff yang ada di ruang pendaftaran."

Lucky mengacak rambut, sementara Suster kembali melanjutkan keliling ke kamar lain.

.

“Coba tidur miring, Dik!” titah Lucky

Adara mencoba memiringkan tubuhnya, tapi rasa sakit menjar kembali di area perut.

“Aduh, gak bisa, Mas. Sakit.”

“Yaudah, coba lagi nanti.”

.

Jam 21:30 WIB handphone Lucky berdering. Tertera sebuah nama yang cukup ia kenal.

"Lukcy kamu sudah gila apa?! Anak-anak kamu suruh tinggal bertiga saja di rumah. Ha?!" teriak seseorang dari balik telephone.  

….

.

Jika berkenan mohon tinggalkan jekak.
Terimakasih 😊😊😊