3. Penelepon Misterius
Dormitory Girl 2



Aku memasuki sebuah ruangan tiga kali tiga meter dengan meja tunggal dan lemari berkas. Di atas meja terdapat seperangkat komputer lengkap dengan printer dan kontainer kecil tertutup. Beberapa log book berderet rapi di sisi kiri dan satu set sofa berwarna abu-abu terletak di ruangan ini. Simple, tapi elegan.

Di belakang meja, sosok maskulin  berwajah oriental menatap layar komputer. Setelah mempersilakan duduk di kursi depan meja dia masih menekur ke benda di depannya.

Keheningan melingkup di antara kami hingga detak jarum jam dinding di samping kananku terdengar jelas. Aku mulai bertanya-tanya. Untuk apa aku ke sini jika didiamkan?

Puas mencuri pandang, barulah Pak Wu menoleh dan matanya memaku wajahku.

"Kamu ... yang ID-nya di sini, ya?" cetus Pak Wu dengan nada rendah, tanpa mengalihkan tatapannya setelah beberapa saat menatapku.

"I-iya, Pak." Aku sedikit tergagap karena tatapannya yang serupa magnet mengacaukan fungsi sel otak di kepalaku.

Untunglah tangannya yang menggulung lengan kemeja hingga siku itu segera menggapai sesuatu di meja, kemudian menyodorkan padaku.

"Ini log book-nya. Di dalamnya ada memo untuk lawan shift. Serahkan ke leader-mu," ucap Pak Wu kembali datar. Sedatar ekspresinya.

"Makasih, Pak." Aku mengangguk takzim. Bagi operator biasa berhadapan langsung dengan atasan one by one seperti Pak Wu jelas membuat nervous dan tak pede. Selain karena beda kelas, Pak Wu memiliki daya tarik yang bukan isapan jempol semata.

Ganteng dengan raut wajah dan kulit khas Asia Timur, tinggi kekar, fotogenik, dan masih bujangan. Bukan rahasia jika Pak Alan Wu adalah salah satu idola kaum hawa di perusahaan ini. Meski sering berpapasan atau melihatnya dari kejauhan, tetap saja berada dalam satu ruangan yang sama, ini adalah kali pertama untukku. Hormon neropinefrin-ku langsung bereaksi spontan ditandai dengan detak jantungku yang tak beraturan.

"Silakan kembali ke area."

Aku cepat berdiri tapi tiba-tiba ingat sesuatu. Pak Wu lupa apa sengaja ingin mengujiku dengan melupakan masalah ID card? Jelas-jelas pertanyaan pertamanya tadi tentang kartu identitas sekaligus absensi perusahaan. Akan sangat merepotkan jika setiap pulang dan pergi kerja harus ke pos sekuriti untuk absen manual. Tempat itu lumayan jauh dari pemberhentian bus karyawan.

"Mm ... maaf, Pak. Bagaimana dengan ID-card saya?" tanyaku takut membangunkan ular tidur.

"Oh ya," Pak Wu mengeluarkan kartu sebesar ATM yang memakai gantungan warna biru laut itu dari saku kemejanya. Membolak-balik, membaca sebentar lalu meletakkan di meja. 

"Lain kali, jangan diulangi. Jika sudah waktu break, segera turun daripada tertidur di area," ujarnya
lagi. 

Aku meraih ID, mengucapkan terima kasih lalu melipir secepat mungkin. Tergesa-gesa memakai smock lagi untuk ke area. Sebentar lagi kami akan briefing untuk pulang. Jika terlambat, aku terancam naik bus terakhir meninggalkan perusahaan.

"Bagaimana? Pak Wu bilang apa?" Pertanyaan serupa bertubi-tubi datang begitu aku memasuki area. Teman-teman sudah selesai bersih-bersih material dan line. Mereka bergerombol di depan meja leader sambil ngobrol. 

"Selamat kamu, Kin?" ledek Kak Dita begitu melihatku muncul dari kerumunan mereka yang menghadang karena penasaran. Secepatnya kuserahkan mandat dari Pak Wu pada Uni Dita yang langsung mengisi buku jurnal harian area. 

"Pak Wu gak ada nelepon Kak Dita, kan?" serangku begitu line leader Transfer dan Pengeringan shift B itu menyelesaikan tulisannya.

"Tidak. Kenapa?" Kak Dita balik bertanya seraya memasukkan selembar kecil memo keramat ke dalam jurnal lalu menutupnya.

"Tidak ada pesan untuk menyiapkan Surat Peringatan dari supervisor, kan?"

"Tidak."

"Yakin?"

"Astaga! Kamu kenapa?" Kak Dita mulai tak sabar.

"Huffh. Syukurlah, tapi aku belum lega. Bagaimana kalau dia berubah pikiran? Lalu malam nanti aku dipanggil untuk dikasih SP?" Aku bersandar ke dinding dekat meja leader. Masih ketakutan.

"Jadi, kamu tidak di SP?" Mata-mata penasaran serentak tertuju padaku.

"Saat ini tidak. Tahulah, nanti," jawabku lesu.

"ID-mu mana? Belum dikasih?" tanya Kak Dita lagi.

"Udah. Ini." Kuperlihatkan kartu itu tanpa semangat.

"Kamu ada tanda tangan tadi di ruangan Pak Wu?"

"Tidak." Aku menggeleng.

"Ya aman lah, itu. Mana ada ceritanya ID duluan sebelum Surat Peringatan, tanda tangan dulu baru serah terima ID. Lolos kamu sekali ini. Bersyukurlah," ujar leader bertubuh bohay itu yang membuat riuh teman-teman.

"Kok bisa lolos ya, Kak?" tanyaku bego.

"Yaaai ... orang senang lolos dari SP, ini anak malah lesu. Keberuntunganmu itu," tawa Rini Sinaga sambil mendorong lenganku.

"Dia masih schok melihat pesona langsung Pak Wu," celoteh Kak Popy--badan mungil tapi suara keras--yang disambut riuh gelak tawa.

"Mungkin karena kebetulan sudah masuk jam break subuh. Jadi Pak Wu menoleransi-nya. Pak Wu orangnya memang baik. Coba kalau Mbak Nunung, sudah pasti kamu kena SP satu sekurang-kurangnya, Kin," ucap Kak Dita.

"Ayeee ... Si Kakak memuji Pak Wu. Suit-suit." Kak Popy nyeletuk lagi. Ruangan kembali ramai. Uni Dita--leader permanen berusia 35 tahun-- nyengir lebar.

"Mas Bojoku tetap yang terbaik, doong. Ayo-ayo, briefing kita. Merapat semuanya," panggilnya. Serentak semua anak line merapat. Berdoa dipimpin Kak Dita dan segera keluar.


***

Aku mengempaskan tubuh di tempat tidur. Lelah sekali rasanya malam ini. Insiden ID card ternyata sangat menguras energi. Meski Pak Wu sudah mengembalikan, lemasnya masih tersisa sampai sekarang.

Rumah sepagi ini sudah ramai. Hari Minggu adalah di mana semua anak-anak shift A dan shift B bertemu setelah seminggu hanya berpapasan di tangga dormitory, di loker karyawan, atau di sebelah ranjang yang orangnya sedang tewas diamuk mimpi.

"Berakhir juga shift malam bulan ini. Ayeee ...." Suara Nena terdengar. Aku tidak membuka mata. Namun, aku bisa memastikan dia sedang berjoget dengan masih memakai tanktop. Selebrasi khas-nya setiap kali shift malam usai.

"Wooi ... tumben tidak bersih-bersih kamu. Biasanya paling semangat begitu sampai di rumah langsung berberes," Suara Nena mendekat dan colekan di lengan membuatku membuka mata.

"Aku ngantuk kali. Tewas aku sampai terciduk atasan."

"Benarkah? Terus?" Berita 'lagi tewas--tidur--terciduk atasan' entah kenapa selalu menarik minat karyawan melebihi diskon baju 75% di mal. Buktinya, Nena yang mau ke kamar mandi jadi duduk dulu di kasurku.

"Hu um. Untung segera dibalikin. Kalau tidak aku bisa insomnia seharian."

"Astaga. Baik banget atasanmu. Kalau atasan kami pasti langsung dikasih SP. Siapa atasan yang nangkap ID-mu?" kejarnya bersemangat. Nena memang tidak satu departemen denganku. Dia di bagian sterilisasi, sementara aku dan Rini Sinaga masih di proses awal.

"Pak Wu. Mungkin karena kebetulan pas jam istirahat Subuh."

"Ooh ... wajarlah kalau begitu. Kukira di jam efektif. Ayo sarapan dulu," ajaknya sambil bangkit meninggalkanku karena terdengar suara Jane yang heboh meneriakkan sarapan dari ruang depan.

"Kamu nggak sarapan, Kin?" teriaknya menembus dinding. Sejak serumah dengan Jane, kurasa aku tidak akan kaget lagi jika tiba-tiba ada meriam meledak dekat telinga. Dia berhasil menggembleng indera pendengarku sedemikian rupa hingga tidak terlalu peka pada suara keras.

"Lanjut aja dulu, Jane," sahutku sambil menutup muka dengan selimut.

"Dia habis schok ID-nya ketangkap  Pak Wu." Nena memberikan informasi pada kawan-kawan dimeja makan.

"Yakinnya kamu schok gara-gara ketahuan tidur, Bou? Jangan-jangan kamu semaput melihat kegantengan Pak Wu," ledekan Rini Sinaga membuat orang serumah terkikik. Sontak saja mereka ramai membicarakan berbagai insiden yang terjadi gara-gara tertidur di area sambil tertawa heboh.

Rini satu tahun di atasku. Kami satu angkatan dari penyalur. Meski berdarah Batak, dia lembut sekaligus lucu. Orang-orang di area maupun di rumah, selalu memanggil dengan nama marganya. Panggilan Bou, bukan berarti karena aku berdarah Batak juga, tapi itu panggilan sayangnya untukku. Bou adalah plesetan dari boru, kami sepakat itu artinya saudara perempuan.

Aku tersenyum kecut di balik selimut. Setelah sejenak berdiam dengan posisi telentang, aku meraih ponsel yang tergeletak sembarangan. Log in ke fb dulu. Sepertinya berselancar di dunia maya sebentar bakal merileks-kan otakku yang tegang.

Bahasan teman-teman di ruang tamu mulai bergeser ke hot topic di perusahaan. Biasalah, setiap pulang kerja, apalagi jika ketemu lawan shift, mereka akan bertukar informasi. Saat ini mereka sedang me-list cowok ganteng yang masih jomblo di area masing-masing, lalu bergeser ke pesona berondong, terus entah bagaimana sampai ke cerita kriminal. Tentang gadis-gadis yang disekap dan disuruh menjual diri.

"Apa? Disuntik terus direkam?" Jeritan Jane membuat telingaku kembali dipaksa menangkap isi percakapan mereka.

"Iya. Kabarnya begitu. Nanti dipakai buat ngancam korban, kalau dia nggak mau menerima tawaran, video-nya bakalan disebarin. Gila, kan?" Sumber informasi kali ini sepertinya Ayuk Siti.

"Ya Tuhan, ada ya orang kek gitu, tega kali," kata Sinaga miris. 

"Kenapa polisi tak menangkap mereka? Kan bisa si korban melaporkan ke yang berwajib," tanya Nena. 

"Jelas saja nggak ada yang berani. Mereka takut video-nya bakalan tersebar ke medsos. Lagipula kalau mudah diringkus polisi, itu bukan sindikat namanya. Mereka bekerja sangat terorganisir dan rapi. Sulit menemukan jejaknya karena mereka lihai menghilangkan jejak. Yah, namanya aja kejahatan terencana," jelas Ayuk Siti lagi.

"Wah, ini cukup meresahkan. Mulai sekarang kita harus hati-hati. Kalau bisa usahakan pergi-pergi selalu bawa teman." Jiwa mengayomi Citra sebagai kepala keluarga langsung keluar. Yang lain mengiyakan.

Tak lama obrolan bertukar lagi ke topik gajian. Rencana belanja dan jalan-jalan, serta kuliner enak di sepanjang kota. Aku sudah tak begitu menyimak lagi karena sebuah pesan masuk ke inbok. Dari Dina, cewek si Dirga rupanya. Dirga adalah teman korengku sejak zaman ingusan, yang padanya aku titipkan ibuku di kampung. Dia minta nomor WA dan pertanyaan basa-basi yang kubalas secukupnya. 

Panggilan dari nomor baru masuk ketika aku tengah merem--sengaja mengulur waktu membaca messenger yang ala-ala.

Dina-kah?  

Kuperhatikan layar, bimbang mau angkat atau tidak. Diangkat, aku masih belum ngapa-ngapain, nanti obrolannya pasti panjang. Maklum, 'cewek temanmu akan berbicara padamu seperti dialah yang menjadi temanmu'.Tak diangkat, rasanya tidak enak juga. Barusan aku masih membalas pesannya, nampak sekali aku tidak bisa main cantik nanti.

"Halo, Dina, ya?" sapaku setelah menyentuh tombol jawab.

"Halo."

Suara lelaki!
 
Kutatap layar sejenak. Lalu kembali menempelkan benda itu ke telinga.  

"Ini dengan Kinara?" Nada bicara orang ini terdengar formil sekali. Bukan karakter suara yang suka mencuri nomor di kontak teman atau catatan di meja konter HP. Aksennya sedikit berbeda.

"Benar. Kalau boleh tahu ini dengan siapa?" Mana tahu aku bakalan dapat kejutan seratus juta dari Telkomsel. Bisa buat bangun rumah buka kunci di kampung. Yeay! Aamiin.

"Ada waktu luang sore ini? Kalau ada bisa kita bertemu di depan Plaza B*tamindo nanti jam lima?"

What the ...!

Orang sini dia rupanya.

Siapa ini? Kenapa tidak menjawab pertanyaanku? Dari mana dapat nomorku? Adik Ayuk Siti--yang tahun baru kremarin mati-matian merayu agar aku mau jalan dengannya pas malam pergantian tahun-- kah? Tapi suaranya kok lain?

"Siapa dulu ini?" tanyaku dengan sedikit penekanan.

"Aku Alan."

"Alan yang mana, ya? Aku tidak mengenal seseorang bernama Alan di sini."

"Yang tadi pagi mengambil ID-mu."

"Ya?"

A-p-a-a ....

Ponsel lolos dari tanganku dan jatuh ke kasur. Aku ternganga seperti mendengar berita Lee Min Ho kesambar geledek.

***