Dormitory Girl 5.
"Ini berlebihan, Pak," komentarku ketika menyaksikan hidangan di meja dengan suasana kafe yang membuat tak nyaman. Entah Pak Wu sengaja memilih kafe ini atau karena inilah kafe terdekat yang cukup aman dari jangkauan mata karyawan perusahaan.
Rata-rata, pengunjungnya adalah anak muda dan berpasangan.
"Makanlah. Semakin larut. Besok masuk pagi."
Aku menahan keinginan untuk menyalahkannya. Kuraih sendok dan segera memasukkan potongan steak ke dalam mulut. Mengunyah perlahan, sementara otak kembali memindai wajah kuyu Aan ke dalam memory.
Semoga dia sudah sampai dan makan. Semoga tidak ada masalah lagi seperti ceritanya seminggu lalu. Di mana Aan pulang telat karena mengarungi belantara Batam untuk mencari pekerjaan. Dia harus pergi ke mushala terdekat agar bisa merebahkan badan karena berkali mengetuk pintu, tak ada yang membukakan.
Aan bercerita sambil tertawa, tapi aku sudah mengusap mata di ujung telepon.
"Teman apa teman?" Pertanyaan ambigu Pak Wu menyedotku kembali ke hadapan steak di meja. Aku mengangkat wajah dan sadar baru dua potong makanan itu yang berhasil masuk dalam perut.
"Siapa?"
"Yang tadi."
"Oh. Teman waktu sekolah. Baru datang lima belas hari lalu." Aku kembali menyuap.
"Your first love?"
Aku menatap wajah Pak Wu yang terlihat santai. Kenapa dia menyimpulkan seperti itu?
"Bukan." Aku ingin menyudahi percakapan tentang Aan ketika teringat sesuatu.
"Pak, pekerjaan apa yang tidak membutuhkan SKCK dan kartu kuning di sini?"
Pria itu menatapku sejenak. Kemudian berujar datar.
"Untuknya?"
Pak Wu pasti mendengar bisik-bisik kami di dekat pilar gerbang satu tadi.
"Ya."
"Dia siapamu?"
"Teman, Pak. Kenapa tidak percaya?" Aku gagal menyembunyikan nada sebal dari suaraku.
"Dia orang yang seperti apa?"
Aku menatap pada lelaki yang sudah menghabisan makanan dalam piringnya itu. Pak Wu tidak terlihat seperti seorang yang sedang bercanda.
"Dia pekerja keras dan jujur. Mandiri sejak kecil. Sekolah dengan hasil keringat sendiri. Sering absen karena harus mencari uang untuk bertahan hidup dan membayar uang sekolah, tapi tetap masuk sepuluh besar."
Aku tahu karena teman-temanku dulu sering membicarakan tentang Khairil Ansor, si cerdas anak SMA tetangga yang jatuh bangun demi pendidikannya.
"Dia bisa bekerja di restoran kenalanku jika memenuhi syarat. Tergantung seberapa besar kamu mempercayainya."
Aku mendongak. Tanpa sadar membalas tatapan mata Pak Wu. Wajah bersih itu masih kalem. Dan aku tak bisa menyembunyikan rasa senang sekaligus takjub.
"Bapak percaya pada saya?"
"Tentu."
"Kenapa?"
"Karena ijazahmu jaminannya."
"Pak!"
Aku tak jadi tersenyum. Apa-apaan, masa ijazahku pula jadi jaminan?
"Bercanda." Mata Pak Wu membentuk senyuman mengikuti lengkung bibirnya. Dia bisa bercanda juga?
"Kebetulan restorannya sedang membuka lowongan. Kamu bisa bicarakan dengannya."
Aku berterima kasih seraya cepat mendial nomor Aan. Sayang, HP-nya tidak aktif. Segera kukirim SMS, berharap dia membaca sesegera mungkin.
****
Alunan lembut suara Ed Sheeran kembali mengiringi perjalanan pulang. Pak Wu masih dengan gaya cool-nya yang sama mengemudi dengan tenang. Sudah pukul sembilan.
Lampu-lampu malam gemerlap di sepanjang jalan. Masih ramai kendaraan berseliweran.
"Kamu rencana menyambung kontrak tidak?" Pertanyaan Pak Wu menarikku dari keasyikan menyaksikan spektrum warna yang membentuk pelangi di kaca mobil. Aku membenarkan posisi duduk sejenak.
"Belum pasti, Pak," ucapku. Jujur aku masih ragu apakah akan menyambung kontrak atau tidak. Bayang-bayang kampus semakin meracuni pikiranku sejak rekening mulai menyentuh angka cukup untuk pendaftaran.
"Kenapa?"
"Saya ... ingin kuliah," sahutku pelan. Kuliah adalah mimpi terpendam yang ingin sekali kurealisasikan. Sayangnya, sangat sulit mewujudkan impian itu.
"Kan bisa kerja sambil kuliah."
"Fisik saya tidak kuat, Pak. Jika terlalu memforsir tenaga saya bisa drop lagi. Saya juga tidak bisa kurang tidur. Insomnia yang baru sembuh bisa kumat."
"Kamu pernah rawat inap?"
"Tidak. Rawat jalan saja, Pak. Dua bulan. Hemoglobin rendah, 6,7 g/dL."
"Golongan darahmu?" Pak Wu menatap sedikit intens sebelum fokus kembali menatap jalan.
"B."
"Ooh ... orangtuamu?"
"Saya hanya punya Ibu, Pak. Dan beliau terlalu lelah untuk membiayai semua biaya perkuliahan sendirian," ujarku seraya tersenyum tipis. Ibu, aku rindu.
Ingat dulu perjuangan untuk bisa duduk di bangku kuliah, gerimis kembali mengguyur hati. Bagaimana Ibu pontang-panting mencari pinjaman, tapi tak juga mencukupi hingga hari terakhir. Mungkin belum keberuntunganku.
"Jadi, apa yang membuatmu belum yakin untuk tidak memperpanjang kontrak?"
"Tentu saja biaya kuliah nanti, Pak. Saat ini mungkin saya sudah bisa mendaftar, tapi untuk ke depan tentu tidak cukup hanya dengan mengandalkan tabungan dua tahun bekerja."
"Ah ya, kau tentu harus sudah memiliki pekerjaan sampingan lain yang tidak terlalu menyita waktumu," ucap lelaki itu manggut-manggut.
"Iya. Semoga nanti ada jalan. Kalau tiga tahun mengganggur, akan cukup sulit nantinya mengejar materi perkuliahan." Itu juga salah satu pertimbanganku. Dua tahun saja aku sudah banyak lupa pelajaran SMA dulu, apalagi tiga tahun? Beku sudah otakku tak bisa diajak menerima pelajaran lagi.
Sekarang saja aku sudah mulai bosan berlatih mengerjakan soal-soal SNMPTN. Seringkali buku tebal itu hanya jadi bantal tambahan di ranjang.
"Coba saja mendaftar dulu. Nanti akan ada jalan bagimu. Belajar yang rajin saja." Kata-katanya menyuntikkan semangat dalam aliran darahku. Aku merasa terharu.
"Oh ya, temanmu sudah bisa dihubungi?" tanyanya lagi mengalihkan pembicaraan.
"Belum. Mungkin baterainya habis." Semoga Aan begitu sampai segera mengecas dan mengaktifkan handphone-nya.
"Kau benar-benar yakin padanya?" Pertanyaan meragukan yang membuat keki.
"Tentu saja."
"Kau terlihat mudah percaya pada orang, ya," katanya terkesan sarkas. Aku manyun mendengarnya.
"Ya. Saya mudah percaya pada orang, makanya sekarang berada di sini," balasku sedikit menggerutu. Dia tertawa.
"Awas, di sini sikap seperti itu cukup membahayakan. Kau tak bisa mempercayai orang begitu saja dengan mudah."
"Ya, Pak." Kuanggap itu sebagai nasehat baik dari seseorang yang perlu untuk diingat-ingat. Tak peduli sekalipun yang mengatakannya adalah orang yang seakan menculikku.
Pak Wu tidak bertanya lagi. Ekspresi yang terpahat di wajah berhidung mancung itu tidak terbaca. Selain karena penerangan yang minim, biasanya muka itu juga datar seperti tembok. Mataku juga mulai mengantuk karena kurang tidur. Tak peduli seberapa keras aku berusaha menahannya, akhirnya aku menyerah dan menyeberang ke alam mimpi.
Aku terjaga ketika kami sampai di kawasan Panbil. Terang benderang di sini. Pak Wu melambatkan laju kendaraannya melihat lampu merah di hadapan. Kemudian mengambil lajur kiri.
"Pak, itu ...." Aku gugup demi melihat Pak Wu akan berbelok.
"Kenapa?" Dia tetap fokus menyetir.
"Saya turun di Gerbang Satu saja. Tak enak kalau diantar sampai dormitory," ucapku panik. Jika masuk lewat Gerbang Satu, mobil ini hanya perlu lurus saja sekitar tiga ratus meter. Gerbang Satu persis menghadap jalan utama.
"Sudah malam. Tidak ada transkib lagi." Kalem jawaban Pak Wu.
"Ojek masih ada kok, Pak. Baru jam sembilan lewat seperempat." Walaupun gerbang ditutup, biasanya masih disisakan celah untuk kendaraan roda dua.
Lelaki itu diam tanpa ada tanda-tanda akan mengubah tujuan. Malah mobil itu kini sudah melesat memasuki jalan yang akan mengantar ke Gerbang Empat. Gerbang yang terletak di selatan kawasan industri ini menjadi satu-satunya gerbang yang tidak pernah ditutup dari empat pintu yang ada, hanya saja jaraknya cukup jauh dari jalan lintas utama.
"Pak." Aku melentukkan kepala ke sandaran jok. Mulai cemas dan berharap tidak ada seorang pun yang kukenal nanti melihatku turun dari mobil ini. Syukur-syukur tak ada anak dormitory yang nongkrong di pinggir jalan R Tangga.
Melewati bangunan-bangunan PT sepanjang kawasan industri ini, hanya ada satu dua ojek berpapasan di jalan. Sepi.
"Maaf, Pak. Aku tidak enak jika diantar sampai dorm. Apalagi kalau ada yang tahu. Bisa-bisa nama baik Bapak tercemar."
"Tidak ada yang salah dengan hubungan pertemanan, bukan?" Dia memandangku lagi. Mobil sudah melewati Masjid Nurul Iman. Kalau berbelok ke kiri maka masuk ke Blok P. Blok Q terlewati satu persatu, dan Blok R sudah di hadapan.
"Tapi, saya lebih menyukai privasi--" Aku tidak konsentrasi lagi, berharap jalan di depan R Tangga --karena melewati tangga untuk sampai ke pinggir jalan-- kosong melompong. Kata-kataku menggantung begitu saja karena tak sempat lagi mencari alasan.
"Terima kasih untuk semuanya, Pak." Aku akhirnya mengangguk hormat begitu mobil berhenti persis di bawah penerangan lampu yang tercantol di tiang listrik. Dia tersenyum.
Aku membuka pintu, bersiap turun ketika Pak Wu menyodorkan sesuatu.
"Untuk sarapan besok pagi."
Satu kotak bakery yang tadi sempat dibelinya di jalan.
"Aduh, Pak. Jadi tak enak. Makasih. Saya tidak suka bakery. Maaf harus menolak." Aku menolak gugup. Cepat cepat cepat, mumpung sepi. Aku harus melesat secepat kilat melintasi jalan ini sebelum seseorang muncul.
"Apa menolak sesuatu termasuk hobimu?"
Aku menyerah. Menggapai kantong dan segera turun, menutup pintu dan tiba-tiba teringat sesuatu.
"Pak, Anda belum mengatakan alasan kenapa kita harus bertemu malam ini."
***