Dormitory Girl 4
Dua cangkir kopi beraroma menggoda dan cake berbentuk segitiga sama sisi tersaji di meja kami yang terletak agak di sudut. Pak Wu yang memesan karena aku tidak tahu apa-apa tentang jenis-jenis kopi. Mataku mengawasi seluruh ruangan. Meja-meja lain berjejer rapi dalam ruangan yang lumayan luas, para barista dan waitress sibuk melayani pengunjung.
Kafe terkenal ini selalu ramai dengan pengunjung yang silih berganti. Apalagi bila akhir pekan seperti ini. Waktu di mana orang-orang banyak bersantai ke luar rumah untuk mulai kembali berjibaku dengan pekerjaan untuk seminggu ke depan.
Aku menyedot lamat-lamat kopi bagianku. Enak dan lembut terasa di lidah. Pantaslah harganya fantastis karena kualitas memang sepadan dengan harga.
Pak Wu sudah membuka kacamata yang tadi dipakai lagi ketika turun mobil. Dia pun menyedot minumannya. Semakin canggung saja karena Pak Wu tak juga mulai bicara. Mataku menjelajahi ruangan bernuansa elegan dan mewah ini.
Beberapa karyawan Coffe Bee terlihat mengangguk hormat ketika melihatnya. Sepertinya ini kafe favoritnya dan dia adalah pengunjung tetap.
"Nikmati saja, jangan merasa tidak enak. Aku begini aslinya," ucapnya ketika melihat ekspresi resahku.
"Baik, Pak." Aku mengangguk.
Janggal banget, kan, diminta keluar, jalan, masuk kedai kopi. Sepanjang perjalanan dan sudah duduk di sini, si bapak diam. Apa-apaan ini? Apa aku diminta jadi tukang usir lalat saja? Yakin deh, lalat tak perlu diusir bakalan tergelincir sendiri di kulit mulusnya. Lagian mana ada lalat mau deketin pria wangi sepertinya?
Kalau hanya untuk berdiam diri, seharusnya dia lebih bijak untuk tidak ikut menyiksaku seperti ini.
Aku mulai keki. Dasar Pak Wu aneh. Benar-benar kalem seperti yang terlihat di PT.
"Ayo makan," tawarnya melihat potongan cake dalam piringku tak tersentuh. Dia sendiri sudah mengambil sendok dan mencuil cake warna cokelat itu.
Aku mengangguk sambil memerhatikan. Kue segitiga berwarna cokelat, dengan taburan kacang di atasnya. Kalau di dormitory kurasa hanya dua menit untuk menghabiskannya.
"Maaf, Pak. Apa ada sesuatu yang penting yang hendak dibicarakan? Jujur, saya kurang nyaman dengan situasi ini." Aku tak tahan lagi dengan keheningan antara kami. Apalagi setelah menghabiskan cake seuprit yang hanya menimbulkan gatal di lidah. Kurang banyak, Paaak. Mau ngomong beneran, malu dong.
Matanya tidak menyorotkan apa pun. Atau aku yang tidak menangkap apa pun karena tidak berani balas menatap. Ayolah, dia atasanku. Jelas saja aku tidak berani bersikap berlebihan.
"Kalau begitu, selesai ini boleh saya pulang saja?" ucapku sedikit takut.
"Pulang?" Tak kusangka Pak Wu tersenyum lebar.
Astaga. Apa itu lucu? Apa dia tak sadar betapa kaku dan memalukannya aku? Seorang pria matang duduk berhadapan dengan gadis biasa berpenampilan seperti orang habis jogging, dalam kafe mahal di ujung minggu? Hayolah, Pak, kau membingungkan.
Lalu aku tersadar itu senyuman pertamanya yang pernah kulihat.
"Sebentar lagi, ya. Maaf jika tidak nyaman. Aku sedang mencari pertanyaan pembuka yang cocok."
Gantian aku yang tersenyum. Seorang Pak Wu tidak tahu apa yang harus ditanyakan pada gadis jelata ini? Apa aku harus bangga atau down, karena Pak Wu khawatir aku tidak bisa menangkap pertanyaannya dengan benar, sehingga dia harus memilah-milah kata?
Oh. Ayolah, Pak. Jangan membuatku terlihat semakin bodoh saja.
"Kamu di sini ada saudara-kah? Atau ada saudara yang pernah bekerja di sini?"
Sebagian besar isi pulau ini adalah perantau, yang akan menjadi magnet bagi warga di kampung asalnya untuk ikut mengadu peruntungan di sini, persis seperti kebiasaan di kota-kota besar pada umumnya.
"Tidak, Pak. Dulu ikut teman yang kebetulan pamannya ada di sini."
"Temanmu kerja di perusahaan kita juga?"
"Tidak. Dia di perusahaan lain, tapi sudah finish dan pulang kampung enam bulan lalu."
Pak Wu manggut-manggut, ingin berbicara lagi ketika dering ponsel membuatku harus mengalihkan perhatian. Dia mengangguk saat aku meminta izin mengangkat panggilan telepon.
"Aan?" Aku menyapa cepat sesaat setelah mengucap salam.
"Kin, kamu di mana? Ketemuan, yuk."
"Ha? Kenapa tak bilang sebelumnya mau ketemuan, An? Kamu sama siapa?" Aku merasa salah dengar. Aan, temanku waktu SMA tapi beda sekolah. Dia baru datang lima belas hari lalu. Sempat bertemu sekali ketika dia baru datang, sampai hari ini dia belum mendapat pekerjaan.
"Sendirian. Awalnya aku cuma mau jalan-jalan sambil cari-cari lowongan kerja, tau-taunya nyampai ke daerah Muka Kuning. Inget kamu tinggal di sini. Makanya sekalian mampir." Suaranya terdengar berat.
"Aku ... " Kulirik sekilas Pak Wu yang sedang menyesap kopinya. "Aku sedang di luar, An. Jauh. Besok malam saja, gimana?" Aku bisa menebak kegelisahan Aan. Dia datang ke kota ini karena rekomendasi dariku.
"Tak bisa malam ini, Kin? Aku tunggu di plaza sampai kamu pulang."
"Mmm ... kelamaan nanti kamu menunggu, An."
"Tak apa. Aku tunggu."
Sambungan putus, aku memasukkan HP ke dalam tas. Terbayang wajah Aan yang harus bengong menunggu di negeri antah berantah tanpa seorang pun yang dikenal.
"Ada janji lain?" Mata sipit Pak Wu mengawasi ekspresiku yang gelisah. Aku mengangkat muka, menatap matanya untuk pertama kali.
"Maaf, teman saya sedang menunggu, Pak."
"Cowok?"
"Eh, iya ... Pak."
Mata itu masih mengawasi, aku membuang tatapan gugup. Sesaat hanya keheningan yang mengisi ruang antara kami.
"Ayo kuantar." Lelaki itu berdiri. Aku mengikuti dengan tidak enak.
"Pak, maaf," cetusku begitu kami kembali berada dalam mobil yang hangat. Gelap sudah melingkupi langit.
"Tak apa." Senyum sekilas dipemerkan Pak Wu. Aku mendesah. Antara lega dan tidak.
Mobil menembus kepekatan malam yang diterangi lampu jalan hingga kembali sampai di depan gerbang satu. Aku terkejut ketika melewati sosok wajah yang kukenal. Pak Wu segera menepikan mobilnya.
"Kin." Panggilan itu cepat membuatku mendekat. Aan berdiri di dekat pilar gerbang, wajahnya terlindung oleh bayangan dahan yang disorot lampu jalan.
"Aan?" Aku balas menyapa.
Dalam keremangan, aku melihat wajah kuyu pemuda sepantaranku itu. Rambutnya kucel dengan muka berminyak.
Rasa kasihan segera memenuhi rongga dadaku.
"Kenapa menunggu di sini? Jadi capek kamu berdiri."
"Tak apa. Kamu bilang bentar lagi nyampe di gerbang satu. Aku tunggu di sini saja," katanya rendah. Matanya tidak menatap padaku melainkan ke belakangku. Aku memutar tubuh.
Pak Wu masih di sana rupanya. Pria itu sedang memutarbalik arah mobilnya.
"Maaf mengganggu." Nadanya sarat rasa bersalah.
"Tak apa. Ayo ke plaza, cari makan dulu, yuk."
"Ah, tidak. Aku hanya sebentar. Aku tidak enak sama cowokmu. Lagian pamanku sudah menelepon."
Aku menatap wajah Aan. Dia bicara padaku tapi matanya terus mengawasi mobil yang kembali menepi dekat kami.
"Jangan salah sangka, An. Kami tidak memiliki hubungan apa pun," pungkasku tegas. Aan tersenyum tipis.
"Aku benar-benar tidak bisa berlama-lama. Barusan pamanku nelepon menyuruh pulang. Maaf, Kin. Kalau tahu begini, aku nggak akan menelepon kamu tadi." Rautnya sungguh-sungguh. Aku menghela napas.
"Apa yang terjadi? "
Aan, saat pertama meneleponku dulu sangat bersemangat ingin ke sini. Dia bilang ada pamannya meski hubungan keluarganya jauh. Susah payah dia datang ke sini tanpa bekal yang cukup, sampai hari ini dia masih terlunta-lunta tanpa pekerjaan.
"Aku tidak tahu. Biasanya Paman juga tidak peduli aku mau pulang jam berapa." Wajah hitam manis itu sendu. Aku memang payah dalam hal membaca ekspresi orang lain.
"Setidaknya kita makan dulu." Aan mungkin saja belum makan malam, atau bahkan belum makan seharian?
"Tidak. Makasih, Kin."
Aku mengembuskan napas keras.
"Apa kamu sudah dapat pekerjaan?"
Gelengan kepala pemuda itu mengisyaratkan semuanya. Aku terenyuh. Kurogoh dompet dalam tas dan menarik dua lembar warna merah dan menjejalkannya ke tangan Aan. Pemuda berkulit sawo matang itu menolak.
"Ayolah, An. Aku tahu kamu kesulitan. Jangan sungkan," desakku. Aku tahu berapa uang saku yang mengantarkannya sampai ke sini.
"Kin. Aku cowok, tidak seharusnya ...."
"Sudah, sudah. Lupakan itu. Kita berada di rantau orang dan kamu sedang kesulitan."
"Aku akan membayarnya suatu hari nanti."
"Lupakan saja."
"Tidak. Aku tak bisa melupakan ini, Kin."
"Baiklah. Bayarlah jika kamu sudah kaya. Sekarang pulanglah, nanti pamanmu mengunci pintu rumahnya lagi."
Pemuda itu mengangguk berat, melempar senyum sungkan pada Pak Wu yang berdiri sekitar tiga meter dari kami. Ada kaca yang sempat kutangkap membayang di pelupuk wajahnya.
Aku memandang punggungnya yang menjauh. Merasa bersalah dulu begitu menggebu menceritakan tentang kota ini hingga Aan nekad datang tanpa persiapan matang.
"Kita belum makan malam."
Suara Pak Wu mengagetkan. Aku menyeka sudut mata yang mendadak basah.
"Saya belum lapar, Pak," tolakku halus.
Lelaki itu memutar kontak mobil di tangannya.
"Apa tawaranku baru saja ditolak oleh seseorang yang baru saja mengajak makan orang lain?"
Aku mendongak. Tak kutemukan ekspresi di wajahnya karena mata yang dilapisi kacamata hitam itu melempar pandang ke jalan yang lumayan ramai oleh kendaraan.
Kuedarkan pandang ke sekeliling. Kemudian menangkap suasana yang sangat rawan untuk kami.
"Ayo." Nadanya tak ingin dibantah. Dan aku menyesal begitu kembali duduk di sisinya.
Kenapa menurut? Dia, kan, bukan siapa-siapaku!
***