Dormitory Girl 6.
"Pak, Anda belum mengatakan alasan kenapa kita bertemu malam ini."
"Kau tak masalah temanmu melihat aku ada di sini?"
Wajahnya dipenuhi senyuman. Aku menghela napas sedikit kesal. Setuju ikut karena penasaran si Pak Bos mau bilang apa, ternyata malah lupa membahasnya.
"Tidak bisakah memberi tahu sedikit saja? Satu menit." Satu menit. Aku ingin menguji peruntungan dengan enam puluh detik.
"Oke." Pak Wu bergerak hendak membuka pintu. Apa-apaan itu?
Maksudku ya bukan harus turun juga dari mobilnya. Pak Wu sengaja ingin membuatku panik tampaknya.
"Lupakan, lupakan saja, Pak," putusku kehabisan waktu. Berterima kasih sekali lagi, lalu tergesa menyeberangi jalan. Berlari menuruni anak tangga, melintasi halaman dormitory, dan naik tangga kembali menuju rumahku. Di Batam ini sepertinya ada dua hal yang tidak bisa dihindari setiap karyawan; antri dan naik tangga.
Sampai di lantai tiga, kusempatkan menoleh. Astaga! Mobil itu masih di sana.
Sedikit ragu, kulambaikan tangan. Semoga ini aku tidak sedang ke geeran dengan menyangka Pak Wu memperhatikanku dari balik kaca mobil.
Sayup kudengar klakson mobil, bersamaan dengan gerak mundur kendaraan itu untuk berputar haluan. Kemudian menghilang dari pandangan, terhalang oleh gedung R 13 di depan.
Kubuka sepatu bersamaan dengan munculnya dua gadis berbaju kaus lengan pendek dari ujung tangga yang lain. Untunglah aku lebih cepat sedikit sehingga mereka tidak melihat aku melambaikan tangan.
"Baru pulang, Kin?" Isma, salah satu dari gadis itu menyapa ramah. Kami satu angkatan dari penyalur. Keduanya adalah tetanggaku.
"Iya." Aku membalas senyumnya lalu memutar kenop pintu sambil membaca salam. Untunglah belum dikunci.
Citra dan dua teman lain sedang menonton kaset DVD. Kebiasaan peralihan shift pagi ke malam, biasanya mereka begadang agar besok siang bisa tidur nyenyak.
"Wow. Baru pulang. Katanya mau ke plaza aja? Warbiaasa Kina kalau keluar sekali-sekali," gurau gadis Palembang itu.
"Bisa aja, Bu RT." Aku tersenyum." Tumben sudah sepi?"
"Anak-anak shift B sudah tidur, kan besok masuk pagi. Yang shift A kebanyakan belum pulang dari rumah saudaranya," jawab Jane. Gadis paling tinggi di antara kami serumah itu sedang mengunyah cemilan guang di meja makan seraya matanya tak lepas dari tivi.
Aku masuk ke kamar. Meletakkan kresek di ranjang dan segera menyusul rebah.
Sejenak otakku memindai apa-apa yang baru kulalui. Seperti mimpi saja. Aku? Barusan menghabiskan waktu dengan seorang pria di kota Batam? Sulit dipercaya.
Kalau saja teman-temanku pada tahu, bisa runtuh gedung ini oleh pekik mereka.
Keberuntungankah yang barusan kualami? Atau awal kesialan? Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depan. Aku tidak mau berspekulasi dan memikirkannya berlebihan. Satu-satunya yang sedikit mengganggu adalah tidak adanya kabar dari Aan.
Segera aku berbenah untuk tidur. Semoga malam ini bisa langsung tidur nyenyak karena sudah capek berpergian. Biasanya peralihan shift ini adalah masa-masa berat. Mata tidak mau terpejam karena sudah terbiasa tidur siang.
Kubuka ponsel sebelum berlayar ke pulau mimpi. Ada dua panggilan tak terjawab dari Sinaga, lalu SMS yang menanyakan di mana keberadaanku. Sementara pesan untuk Aan belum masuk ke tujuan. Nomornya masih tidak aktif.
Kulongokkan kepala ke arah ranjang Sinaga. Tempat tidur itu sudah tertutup layar.
Jam bulat di dinding dekat pintu ruang tamu sudah menunjukkan angka sepuluh kurang sepuluh. Waktunya tidur. Tapi karena sempat tertidur di dalam mobil, aku jadi tidak mengantuk lagi.
Ingin menelepon Pak Wu menanyakan hal yang belum sempat kami bicarakan tadi, tapi rasanya segan setengah mati. Biar sajalah kalau dia lupa. Aku tidak akan menanyakan hal itu duluan. Dia yang akan menghubungiku jika itu penting untuknya.
Aku memilih membuka buku kumpulan soal-soal untuk ujian masuk perguruan tinggi. Pembicaraan dengan Pak Wu menimbulkan semangat baru. Target tahun ini harus tercapai. Lolos ke perguruan tinggi negeri agar biayanya lebih murah.
Aku akan berjuang lebih keras lagi.
****
Masuk pagi ini, yang kusukai adalah aroma embun yang lekat di rerumputan. Bias cahaya yang perlahan memudarkan kegelapan, berganti sinar lembut yang menerpa wajah ketika menunggu bus jemputan. Meski kadang tubuh tidak fit, menyambut pagi rasanya begitu menyenangkan.
Setelah sarapan bakery yang sempat membuat heboh di rumah--banyak banget untuk ukuranku yang biasa belanja hemat-- kami berangkat. Sinaga masih membahas roti sampai ke area. Bergabung dengan teman-teman di line, dia masih tak henti mengingatkanku tentang bakery empuk itu.
Kebetulan pula aku duduk di sampingnya. Di depanku Uni Lia. Seminggu ke depan aku tidak mendokumen, aku rolling sama Demi, anak line empat.
Fix. M*rning Bakery jadi topik hari ini.
"Tumbenan si Kinara beli bakery enam potong sekaligus. Biasanya paling banyak dua biji. Itu pun yang harganya lima ribu," cerita Sinaga dengan mimik lucu. Yang mendengar tertawa.
"Kusangka dia hanya ke plaza semalam, tau-taunya sampai ke Batam Center. Abis itu beli bakery banyak lagi. Padahal akhir bulan. Curiga aku, kamu ada janji kan semalam? Marhaletnya kamu, Bou?" Sinaga terus mengolokku.
"Seminggu ini dua kali dia keluar. Kemarin itu sebentar saja, sih. Yakin aku dia hanya sampai plaza. Semalam, berangkat jam setengah lima, pulang setengah sepuluh. Udah gitu, gak diangkatnya telepon awak. Aku, kan, jadi khawatir dia diculik orang." Sinaga masih nyerocos yang membuat aku mesem-mesem. Teman-teman line yang berjumlah sepuluh orang ikut tertawa mendengar cerita dengan logat Bataknya yang kental.
"Iyalah, kesepian si Kin jomblo terus. Akhirnya nemu yang cocok juga." Kak Jenni menimpali. Anak-anak line ketawa ditahan-tahan agar tidak terdengar oleh atasan. Untunglah meja sepanjang lima meter yang kami sebut line ini terletak agak ke pojok, lumayan berjarak dengan meja leader dan supervisor.
"Beneran kamu udah punya cowok, Kin? Anak mana? Pasti ganteng." Uni Lia termakan hoax Sinaga.
"Nggak ada, Un. Si Bou terlalu menghayati telenovela," bantahku sembari terus memindahkan material dari genangan air murni di kotak spesial ke tray seratus lubang. Meski ngobrol, kami tetap fokus untuk memindahkan ribuan material lunak ini satu-persatu.
"Ih, dibilang pula aku menghayal? Kalau gitu, coba, kamu pergi dengan siapa semalam? Tak mungkin kamu sendirian sampai bisa singgah di Tanah Mas. Aku saja sudah lima tahun tidak tahu itu M*rning Bakery di mananya. Gak pernah ke sana sih," Sinaga terkikik. Puas sekali dia berhasil mencuri info dari tulisan di kotak bakery.
"Sama kakakku," sahutku asal. Ingat percakapan sebelum turun dari mobil semalam. Untung saja pakai smock, sehingga tidak ada yang melihat perubahan ekapresiku.
"Halah. Mana ada. Kamu bilang tak ada saudara di sini."
"Kakak, I love you, kalii," timpal Kak Jenni lagi. Gadis Melayu yang sedikit lagi tinggal nyusun skripsi.
Aku selalu salut sama Kak Jenni. Fisik dan semangatnya luar biasa. Kuliah sambil kerja, dan ikut kegiatan apa saja yang diadakan perusahaan. Dia salah satu motivasiku untuk belajar. Jika saja kondisiku memungkinkan, pastilah aku akan ikut kuliah sambil kerja bersamanya di universitas tak jauh dari kawasan ini.
"Isssh ... berhenti meledekku, ah. Aku kesambet semalam, jalan-jalan kayak hantu sendirian," pungkasku ingin mengakhiri topik menjengahkan ini.
"Terus nyasar ke M*rning Bakery beli roti jumbo aneka rasa. Enak kali kesambetmu Bou. Kapan-kapan ajak aku, ya. Eh, yang tiga biji sisanya tadi kamu simpan di kulkas ya? Awas, nanti pulang itu bakery tinggal kenangan. Dilibas lawan shift, soalnya menggoda banget."
Sinaga terkikik-kikik panjang. Semua anak line malah ikut-ikutan. Lama-lama aku ikut tertawa juga. Menertawai tingkah teman-teman.
Sinaga itu lucu. Bersamanya pasti happy terus. Tidak ada hari-hari membosankan jika berada di line yang sama dengannya. Pasti ada saja ceritanya yang akan membuat kami tertawa. Makanya aku suka teler kalau mendokumen, karena tidak ada teman ngobrol. Jika di line, dalam ngantuk berat pun kami masih bisa semangat.
***
Jam sepuluh, aku tak bisa menahan diri lagi untuk ke toilet. Setelah menunda-nunda karena khawatir berpapasan dengan Pak Wu di gowning, kandung kemih tak mau lagi kompromi.
Aku sangat lega ketika gowning sepi. Begitu keluar toilet juga tak ada sosok yang kuhindari itu. Bagaimanapun, kejadian semalam terasa mimpi, dan aku benar-benar berharap itu mimpi. Pak Wu sedang khilaf saja karena setres dengan tingkah ajaib para karyawan, atau pusing memikirkan kemana duit banyaknya akan dihamburkan. Jadi dia bersedekah pada operator miskin seperti aku. Setelah itu dia akan lupa dan kami kembali tidak kenal seperti semula.
Oke. Pemikiran itu lumayan menghibur. Lebih menghibur lagi karena pertemuan semalam menghadirkan solusi untuk Aan.
Aan ke mana, sih? Sampai tadi pagi pesanku belum juga masuk ke nomornya.
Baru saja hendak memakai masker, sosok berbaju kuning muncul di lorong. Jantungku langsung menciut.
Apa aku harus pura-pura tak kenal? Atau menyapa lalu terkesan sok ramah? Aku tidak mau dia menilai aku jenis perempuan yang suka klepek-klepek. Kegeeran atau ngelunjak. Kuputuskan mengangguk dengan sedikit menunduk saja.
Pak Wu lewat di depanku dengan senyum tipis. Kupandangi sejenak punggungnya yang menjauh dan hilang di balik pintu.
Semalam aku bersama orang itu selama berjam-jam.
Hari ini seperti tidak kenal.
Wow. Tentu saja karena ini di PT. Atasan dan bawahan, tapi aku penasaran juga setelah ini akan seperti apa.
Pintu terbuka lagi. Tak kusangka Pak Wu kembali masuk dengan menenteng ziplock berisi smock. Aku bergegas memasang kostum steril itu sementara dia memakai masker dan headcover.
"Apa oven 409 masih bermasalah?" Pertanyaannya membuat aku terkejut. Spontan resleting smock yang kutarik keluar dari jalurnya.
"Ti-tidak tahu, Pak. Saya di line hari ini," sahutku tergagap.
"Oh," komentarnya pendek.
Aku bergegas memakai shoescover--pembungkus sepatu terbuat dari plastik berwarna biru-- dan handglove-- sarung tangan karet-- setelah melumuri telapak tangan dengan hand sanitizer. Kemudian segera masuk ke pintu otomatis, berharap pintu selanjutnya terbuka sebelum Pak Wu selesai memasang handglove.
Tidak terkabul. Limit waktunya belum cukup untuk membuat pintu di hadapanku terbuka, akhirnya aku terjebak kembali dalam ruangan yang sama dengan Pak Wu meski hanya untuk semenit.
"Dia setuju?" tanyanya memecah hening dalam pintu interlock. Aku mafhum yang dimaksud Pak Wu adalah Aan.
"Belum ada kabar, Pak. HP-nya tidak aktif."
"Oh. Oke."
Detik-detik dalam pintu otomatis itu terasa begitu lama. Aku menahan napas karena kecanggungan yang menguasai udara. Akhirnya pintu terbuka, aku bergeser ke pinggir, membiarkan tubuh tinggi itu berlalu lebih dulu.
Sisa hari itu aku berusaha menyembunyikan deg-degan di dada. Aku resah meski tetap tertawa mendengar guyonan anak line agar mata dan semangat selalu segar.
Slide kemarin malam berputar kencang dalam kepala. Aku tahu konsekuensi apa yang akan kuterima bila ada yang tahu kedekatan kilatku dengan Pak Wu. Kedekatan yang sungguh tidak masuk akal.
Apa motif Pak Wu? Dan teka-teki nomorku didapatnya dari siapa belum terjawab. Kenapa dia terlihat baik padaku? Aku tak ingin kegeeran dengan teori abrakadabra, love at first sight. Pasti ada alasan yang lebih masuk akal. Ada asap bila ada api.
Wajahku familier, katanya. Mirip siapakah aku dalam kehidupannya? Siapa Pak Wu sebenarnya? Bahkan aku tak tahu apa-apa selain dari secuil informasi yang beredar di kalangan operator. Pak Wu itu peranakan yang lahir di Palembang. Bapaknya keturunan Tionghoa, ibunya pribumi. Usianya tiga puluh tahun dan masih lajang.
Apa pun itu, aku berharap tidak ada harga mahal yang harus kubayar karena mengenal Pak Wu 'sedikit lebih' dari karyawan lainnya. Semoga tidak ada motif terselubung di balik kebaikannya. Ekspresi datarnya terlalu sulit untuk diterjemahkan dengan hanya mengira-ngira.
Alarm peringatan mulai berdengung di kepala. Ini Batam, ini Batam. Di mana batas akal sehat dan kebodohan hanya setipis kulit ari.
***
Hari itu akhirnya berakhir dengan seribu satu pertanyaan berkecamuk dalam benak. Bias lampu jalan yang coba menembus kaca bus tampak bagai pijaran bintang. Aku menyandarkan kepala ke jok, bersedekap dengan pikiran melayang jauh. Sinaga dan Uni Lia sibuk mengecek hp-nya di sebelahku.
Turun dari bus karyawan, langit malam sudah pekat. Pohon-pohon mangga dan belimbing di dormitory teronggok membentuk bayangan hitam. Ruli jam segini masih ramai-ramainya. Pun dengan koridor-koridor dormitory, di halaman maupun di balkon-balkon berkursi semen. Ojek dan transkib berseliweran. Beberapa orang--pasangan atau geng-- seperti biasa duduk-duduk bersantai di pinggir trotoar.
"Kin, Naga, ke ruli, yok? Mau makan bakso ceker. Enak kayaknya malam ini makan yang pedas-pedas." Uni Lia menjawil lenganku.
"Jangan ajak dia, Un. Dia harus memastikan nasib bakery-nya secepat mungkin. Mana tahu sudah raib," cengir Sinaga yang membuat aku manyun. Tak habis-habis dia meledekku seharian ini.
"Ya sudah. Ayo ke ruli. Aku jadi pengen makan yang pedes juga dengar komentar si Bou," balasku sambil menjitak ringan keningnya. Sinaga gesit menghindar sementara Uni Lia tertawa.
Bertiga kami bersisian menuju ruli, berbaur dengan rombongan gadis-gadis berseragam lainnya.
Ngebakso sepulang kerja? Ini tawaran manis yang tidak akan bisa kutolak.
"Hai, Naga." Sapaan nyaring dari persimpangan jalan belakang dormitory-ruli membuat kami menoleh. Sosok berambut pendek dengan celana batik slebor dan kaos longgar terlihat menuju ke arah kami.
"Wiwin?" Sinaga senang. Wiwin adalah teman dekatnya, si tomboy yang ramah dan supel anak area sebelah.
"Cieh, yang pada seven-seven, bolehlah minta traktiran bakso nih ya," canda Wiwin seraya bergabung.
"Gajian seminggu lagi woe, sekarang BS-BS aja, ya," timpal Uni Lia.
"Asyiik, bau-bau ada traktiran dari Uni bulan depan, nih,"
Aku dan Sinaga menertawakan ekspresi Wiwin yang sok manja menggelendot di lengan Uni Lia.
***