DG3.
Yang kusukai dari buruh di pabrik? Banyak. Kalian jangan menyangka itu adalah pekerjaan level bawah yang tidak cukup untuk jadi alasan untuk bergembira. Aku punya banyak alasan untuk menikmati hari yang kulalui dengan penuh rasa syukur. Antara lain, dormitory, gajian, privacy, dan uang hasil keringat sendiri.
Bekerja di sebuah kawasan industri yang cukup terkenal, aku dikontrak selama dua tahun. Dibesarkan oleh single parent, tamat SMA dan bisa ke sini adalah keberuntungan. Ibuku hanyalah seorang penjahit biasa yang menerima upah kodian, sementara ayahku sudah lama tiada. Untuk itu, aku menyimpan mimpi yang cukup besar. Aku ingin kuliah dan membangun rumah mungil yang nyaman untukku dan Ibu. Selama ini, aku tak pernah memperbolehkan temanku berkunjung ke rumah, karena takut mereka akan menjauhiku setelahnya.
Salah satu alasan itulah, yang membuatku memutuskan jadi jomblo sejati hingga usiaku menjelang 21. Mimpi untuk mengubah hidup ke arah yang lebih baik, adalah satu-satunya jalan. Agar kelak jika orang yang kucintai ingin berkunjung ke keluargaku, aku tidak perlu mengarang seribu satu alasan hanya demi menolerir rasa malu.
Aku suka overtime, karena itu artinya uang. Aku juga suka off, karena bisa bepergian melakukan hobi. Dua hal yang tentu saja tidak akan pernah sejalan. Aku juga menyukai matahari terbenam, yang sayangnya belum pernah kunikmati karena ada saja hal yang membuatnya tertunda. Seperti diburu azan Magrib atau hujan. Yaah ... Baru dua kali aku pergi ke pantai, yang dua-duanya gagal memperlihatkan matahari terbenam ke hadapanku.
Singkatnya, aku suka hal-hal praktis dalam hidup. Seringkali sendirian karena tidak mau merepotkan orang lain. Termasuk mendatangi satu-satunya pohon tabebuya yang berbunga. Entah kenapa bisa satu saja yang berbunga, mungkin karena dia hasil sisipan. Semua teman menganggap aku gila, karena memang aku seperti orang sinting demi hasrat melihat bunga tabebuya itu sementara overtime sedang gila-gilaan. Masuk jam tujuh pulang jam tujuh, kadang disambung pula oleh second shift alias pulang jam tujuh pagi masuk jam tiga sore, pulang jam sebelas, masuk lagi jam tujuh. Sungguh, ketika itu aku ingin mati saja. Sempat pingsan di line, ternyata aku anemia dengan HB 6,5 g/dL. Dua bulan rawat jalan, aku didaulat menjadi anak dokumen agar fisikku tak terlalu kelelahan.
Aku juga tidak terlalu peduli dengan kabar angin. Sering ketinggalan berita-berita ter-update di perusahaan. Majelis-majelis ghibah berupa sudut-sudut kamar, ruang tamu, balkon, jalan ke pasar di belakang dormitory atau di mana saja sering aku lewatkan. Tak lain tak bukan, aku suka tenggelam ke dalam ratusan lembar kertas. Tidak hanya untuk mengejar target kuliah tahun ini, tapi juga untuk memuaskan batin akan kecintaanku pada fiksi.
Ada banyak hal-hal konyol yang kutemui di sepanjang perjalanan hidupku di sini. Seperti memergoki orang pacaran, dikejar-kejar tukang kredit yang pengin sekali aku menjadi langganannya, diteror telepon oleh sekuriti yang mengajak kencan buta, berjumpa banyak orang yang kemudian terlupakan, melakukan berbagai hal yang kusuka tanpa ada interupsi.
Jadi, apakah hal yang barusan kudengar juga akan menjadi bagian hal-hal konyol yang harus kulewati? Ditangkap ID card, lalu si bos menyuruhku mentraktirnya makan malam?
Apa begitu? Kok rasanya absurd sekali?
Dari mana dia dapat nomorku?
Aku bolak-balik gugup ke kamar, dapur, ruang tamu, balkon, kamar mandi. Mau cerita sama teman takut pula ini jadi gosip.
Bagaimana ini?
Kenapa Pak Wu minta bertemu? Aku tidak sedang dalam bahaya, kan?
Pak Wu tidak berniat jahat, kan? Semoga nanti bukan surat pemecatan yang akan kuterima di Plaza Batamindo.
Eh, tak mungkin juga ding, mecat kok di plaza, di hari libur pula.
Apa Pak Wu mau minta imbalan karena meloloskanku dari SP? Kan, selama ini bukan hanya aku satu-satunya spesies yang lolos dari terciduk waktu break. Lagian, itu juga bukan pelanggaran berat, kecuali di jam efektif, ya 'kan?
Dibanding ge er, aku lebih ke takut. Hingga seporsi nasi Padang tidak mampu kuhabiskan, hanya teh obeng yang ludes tak bersisa. Mata juga tidak mau terpejam padahal tadi ngantuk minta ampun. Ritual jelang tidur juga kulakukan seadanya, serta tidak berminat lagi main ke facebook, IG atau apapun itu paltform dunia maya.
Udara bersih dan pemandangan pagi yang cerah di balkon juga tidak bisa mengatasi keresahanku. Harusnya tadi aku bertanya ada apa, sayangnya mulut goblokku langsung tergagap begitu tahu yang menelepon adalah Pak Alan Wu. Hingga hanya sepatah kata 'iya' yang terlompat dari bibirku.
Kelelahan berspekulasi, akhirnya aku terkapar juga dan masuk ke alam mimpi. Suara azan Zuhur dari mushala di belakang dormitory tak lagi mampu mengetuk kesadaran. Alangkah kagetnya aku ketika Ayuk Siti menggoyang bahuku.
"Gak Zuhur-an kamu, Kin? Sudah jam dua lewat sepuluh, lho." Gadis berkulit putih dengan lesung pipi di sebelah kiri itu tersenyum.
Astaga!
Ngapain Ayuk Siti bangunin aku?
Aku, kan, lagi palang merah!
***
Setelah drama galau karena tidak bisa menyambung tidur sehabis dibangunin Yuk Siti, aku berlama-lama berkemas. Usai makan pagi yang dirapel dengan makan siang, menyetrika pakaian untuk seminggu, mandi hingga jari-jari keriput, bersiap-siap sesantai mungkin, barulah aku keluar pintu rumah yang terletak di lantai tiga.
"Mau ke mana, Kin?" Citra, anak lawan shift yang kami panggil Buk RT karena dia adalah jabatannya sebagai home leader menyapaku yang sedang memakai sepatu kets. Dia dan Sinaga duduk di bangku semen yang menempel si bawah jendela. Tempat favorit untuk bersantai ria dengan aneka cemilan.
Citra sendiri adalah kawan seangkatan, searea dan senasib denganku di perusahaan. Bedanya, dia berada di lawan shift. Seringkali ketika mendokumen, kami bertukar memo lucu di meja dokumen. Seperti ucapan 'selamat tewas' ketika masuk malam.
"Mau malam Minggu lah dia, Bu RT. Masa jomlo terus udah mau dua tahun." Candaan Sinaga membuatku mau tak mau tertawa.
"Aku mau ke plaza sebentar. Kali aja ada ketemu jodohku yang lagi tersesat di situ," balasku sambil mengedipkan mata pada Sinaga. Kami tergelak.
"Aku pergi. Mau kirim tela-tela, gak?" tawarku. Tela-tela makanan yang terbuat dari singkong dengan berbagai rasa, favorit kami satu dormitory.
"Tidak. Makasih, aku baru saja membelinya sepulang dari gereja. Hati-hati, ya," ujar Sinaga.
Aku melambaikan tangan sambil menuju tangga ke lantai satu. Deg-degan yang coba kusembunyikan dari kawan-kawan serumah kini makin bergemuruh. Semoga ini bohongan saja, ya, Tuhan. Pak Wu kemarin khilaf dan dia tidak akan datang hari ini. Jadi aku tinggal jalan-jalan cantik saja di Plaza atau nongkrong di wifi lantai empat.
Berjalan menaiki anak tangga--lagi-- ke jalan raya, ponselku berbunyi. Mr. Boss memanggil. Sedikit gemetar di tangan, kuangkat teleponnya.
"Ya, Pak?"
"Kamu tidak lupa, kan?"
"Jadi, ini serius, Pak?" tanyaku memastikan.
"Kamu kira bercanda? Aku sedang di jalan sekarang. Jangan bilang kamu masih di tempat tidur."
"Eh ... i-iya, Pak." Aku tergagap lagi.
"Bagus."
Sambungan dimatikan.
Aku berhenti sesaat, bersandar pada besi pegangan tangga, membiarkan dua gadis di belakangku mendahului. Kulayangkan pandang pada unit gedung berlantai empat yang membentuk persegi. Jika Pak Wu bermaksud jahat, aku sudah menulis tentang janji hari ini di notes yang biasa kupakai untuk menghitung pengeluaran. Jadi, jika aku menghilang atau terjadi sesuatu, begitu orang-orang menggeledah lemariku, mereka akan menemukan petunjuk.
Aku lalu melanjutkan langkah menuju transkib--angkutan khusus kawasan industri ini. Kemudian, menit-menit meresahkan itu semakin menuju end--atau klimaks? Ayunan roda transkib dan angin yang menerpa wajah tidak bisa menenangkan deburan di dadaku. Apalagi semua penumpang kompak diam, sibuk melayangkan pandang pada pohon-pohon dan bangunan yang terlihat berkejaran, hingga tak ada pengalihan sama sekali.
Begitu turun dan membayar ongkos, aku segera melangkah ke depan plaza. Celingak-celinguk sebentar, lalu mataku menatap seorang berkemeja putih dan kacamata hitam. Sepatu kets putih menyempurnakan penampilan kasualnya setelah bawahan warna biru langit. Rambut dipangkas rapi dengan model tentara. Tubuh tingginya bersandar pada salah satu pilar utama plaza. Sepintas terlihat seperti bintang hallyu, mencolok di antara wajah-wajah pribumi yang berseliweran sore ini.
Oh.
Jantungku berdegup kencang. Terlalu keren. Aku mencelup. Aku pulang saja!
Persis ketika hendak berbalik, Pak Wu melihatku. Sejenak tertegun, dia mengangguk sebagai isyarat untuk mengikutinya. Bagai kerbau dicucuk hidung aku melangkah sedikit oleng. Hadeeh ... jiwa ndeso-ku tak bisa kupadamkan meski sudah mau dua tahun di sini.
Dia menuju parkiran lalu berhenti dekat sebuah mobil berwarna putih. Membukakan pintu lalu berucap pendek.
"Masuk."
Aku merasa salah dengar hingga hanya menatapnya tanpa kata. Sampai tatapan yang seperti menembus kacamata hitam itu menyadarkanku.
Jangan norak, Kina. Ndeso boleh, memalukan jangan.
"Maaf sebelumnya, Pak. Kita mau ke mana? Bukankah katanya kita akan bertemu di plaza ini?" ucapku sejernih mungkin.
"Iya. Kita sudah bertemu, kan? Sekarang kita mencari tempat dulu untuk minum kopi," pungkasnya tenang.
What the ....
Aku yang terlalu lugu atau bagaimana ini, sih?
"Wah, makasih, Pak." Aku menolak.
"Kenapa?"
"Takut ada yang marah," jawabku polos.
"Kekasihmu?"
"Eh ... bukan." Aku tersenyum kecut.
"Jadi, apa masalahnya?"
Kulempar pandang ke mobil di belakang Pak Wu, berusaha mengintip ke dalam yang tidak menghasilkan apa-apa. Kacanya gelap.
"Kita ... anu, maksudnya hanya saya dan Bapak saja? Boleh membawa teman?" tanyaku sambil mengeluarkan ponsel, bersiap menelepon Sinaga.
"Aku tak akan memakanmu. Hanya mengajakmu minum kopi. Cepatlah masuk."
Aku menimbang sesaat, lalu memutuskan masuk ke kursi di sebelah kemudi. Dia segera menyusul dan mobil menyala, keluar dari area parkir plaza, lalu berbaur dengan keramaian lalu lintas sore di hari libur.
Wangi beraroma citrus dalam mobil yang sejuk itu mulai membuat sesuatu bergolak dalam perutku. Interior elegan dengan warna abu-abu dalam kabin semakin terasa asing. Seasing sosok yang duduk mengemudi dengan tenang. Kacamatanya sudah dilepas, menyempurnakan ekspresi datarnya menatap ke depan.
Aku masih menyesuaikan diri dengan rotasi bumi. Kemana rupanya gravitasi? Kenapa aku masih melayang-layang sendirian? Kebingungan dalam keheningan suasana janggal dan situasi yang belum pernah kuhadapi sebelumnya.
"Dingin?" celetuknya tiba-tiba seraya matanya menatap ke atas tas hitam sederhanaku. Barulah aku sadar tanganku gemetar.
Aku cepat menautkan jemari. Melayangkan pandang sejenak menembus kaca yang tertutup sebelum memberanikan diri berucap.
"Pak, bisa dibuka kaca jendelanya?"
"Kenapa?"
"Aku mual," keluhku tak bisa menahan diri lagi. Jika berada dalam mobil yang sedang berjalan dengan kaca tertutup dan AC menyala, bisa dipastikan aku akan pusing.
Pak Wu menoleh sejenak. Kemudian mematikan pendingin, berikut kaca mobil turun otomatis. Angin menerpa masuk.
Fiuh. Lega.
Aku berpura-pura cuek melihat pemandangan hijau di luar. Kami melintasi jalan yang dinaungi pohon-pohon rindang. Matahari sore sesekali berhasil masuk ke dalam mobil ketika melewati pohon-pohon yang tidak seberapa tinggi. Fix. Mobil ini mengarah ke pusat kota.
Tak berani bertanya hendak ke manakah sebenarnya, aku mencoba menikmati perjalanan ini. Segala bentuk suudzon kusingkirkan dari kepala.
Menit-menit berlalu dalam keheningan. Lagu barat bergaung lembut mengisi ruangan--aku mah nggak ngerti penyanyinya bilang apa. Sementara pria di sebelahku santai saja dengan kebungkaman ini. Tetap tenang melaju dan sesekali menyalip kendaraan lain. Kemudian kecepatan mobil jauh berkurang setelah masuk ke pusat kota. Jalanan ramai dengan kendaraan berbagai rupa. Di sisi kanan kiri padat dengan gedung dan bangunan khas kota metropolitan.
Tak lama, mobil memasuki kawasan Mega Mall. Mal besar lima lantai itu berdiri kokoh di antara sekian banyak bangunan jemawa lainnya. Parkir di tempat yang disediakan di samping gedung, Pak Wu membuka pintu. Aku ikut keluar tanpa banyak cakap.
Lalu nervous itu datang ketika Pak Wu tidak lagi berjalan di depan. Ia sengaja melambatkan langkah menjajariku. Gestur tubuhnya juga lebih santai. Jauh beda denganku yang semakin tak pede dengan diri sendiri.
Ini salah satu mal terbesar di sini. Beragam orang dan profesi keluar masuk di sini, tetap saja aku merasa menjadi gadis paling buluk sedunia. Jika saja Pak Wu bilang kami akan sampai ke sini, setidaknya aku akan meminta pendapat Sinaga yang feminim untuk menilai penampilan sebelum berangkat. Bukan hanya memakai sweater putih lengan panjang dengan celana jeans hitam dan sepatu senada. Mengikat rambut alakadarnya--sekarang ikatannya sudah longgar ke mana-mana-- membuat anak rambut berjatuhan sesukanya, memoles bibir dengan lip gloss Pixy tanpa warna, lalu bedak bayi di wajah yang aku yakin tak bersisa setitik pun karena sudah habis dikikis angin.
Aku merasa style-ku merusak pemandangan. Penampilan elegan Pak Wu sekarang cocoknya berjalan dengan perempuan bergaun tanpa lengan, atau dress panjang, dengan high heels atau sepatu balet. Wajah perempuannya harus anggun dengan make up minimalis untuk mempertegas kecantikannya, sorot mata harus terlihat cerdas, pun langkahnya harus gemulai. Bukan panjang-panjang dan serampangan seperti yang kulakukan.
"Ke Coffe Bee, kita?"
Aku menoleh. Sedikit terkejut setelah keheningan yang panjang Pak Wu bicara tanpa aba-aba. Langkahnya mengarah ke pintu timur mal.
Coffe Bee? Aku sering mendengarnya. Kafe itu cukup terkenal seputaran kota ini, tapi aku belum pernah masuk ke dalam. Bukan apa-apa, mehong, cuy. Tidak cocok untuk karyawan kelas ngesot sepertiku.
Ya Tuhan, kenapalah mau minum kopi doang harus jauh-jauh ke mal begini. Di pinggir jalan aja bisa, 'kan? Dasar horang kayah!
***