SEUMUR HIDUP TERLALU...
Seumur hidup terlalu lama.

Satu kalimat yang dibacanya di facebook terus terngiang di telinga Nara. 
Pagi tadi seorang teman membagikan isi cuitan twitter seseorang. Kurang lebih tentang ibunya yang selama ini berfikir kalau seumur hidup terlalu lama, jika dia terus bertahan dengan ayahnya. Ayah yang selalu melakukan kesalahan kecil dan tidak bisa berubah.
Dan akhirnya sang ibu memilih bercerai dan mencari pengganti yang bisa membuatnya bahagia.

Inara. Perempuan itu merasa Tian, suaminya mulai berubah. Sejak menikah tiga tahun silam, mulai menampakan 'keasliannya'. Jarang salat adalah satu hal yang membuat Nara kesal. Ditambah hal-hal kecil lainnya yang menurut Tian sangat sepele. Tapi karena terus berulang, membuat Inara kesal. Bahkan setelah kehadiran Rayyan, buah hati mereka, Tian jarang sekali mengajaknya bermain dan lebih memilih tidur.

"Yah kalau libur ajak Rayyan sebentar, aku repot jangan tidur terus"

"Yah ngoroknya jangan kenceng-kenceng, kamu nggak mau kerja bakti. Sedang di depan rumah bapak-bapak lagi berkumpul"

"Yah kalau ambil baju jangan di acak-acak begini, baru tadi pagi dirapikan"

"Yah ini sampah apa? Ko dijubelin di bawah kasur begini?"

"Yah tadi dzuhur dan ashar sudah kelewat, ayo maghrib dulu! Biar Rayyan nggak minta pake mukena terus. Dia lebih sering lihat ibunya salmat sampai-sampai selalu minta pakai mukena, padahal dia laki-laki seharusnya meniru Ayah!"

"Yah ini sisa nasi dipiring banyak nggak habis, kalau tadi kenyang kenapa nambah lagi, sayang banget harus dibuang"

Itulah sebagian ocehan Nara yang selalu terdengar kalau Tian libur. Tian yang tidak pernah berusaha merubah sikapnya yang kekanakan.
Tian yang selalu merasa dia baik-baik saja selama tetap bertanggung jawab pada nafkahnya, tidak berlaku kasar dan tidak selingkuh.

Tapi Nara selalu dibuat nya gemas. Dan tulisan tentang seumur hidup terlalu lama membuatnya semakin mantap untuk bertindak.

Dalam pikirannya, setelah Rayyan bisa lepas ngASI dia akan kembali bekerja. Dan ketika dia sudah bisa mencari nafkah sendiri, dia akan meninggalkan suaminya. Dia yakin kebahagiaan sebenarnya bukan bersama suaminya saat ini.

***

Hari ini, sudah tiga bulan Nara kembali bekerja setelah tiga tahun lalu resign karena mengandung Rayyan. 

Sebenarnya Tian kurang setuju Nara bekerja lagi. Dia lebih senang Nara di rumah mengurus Rayyan yang harus rela dititipkan di rumah Ibu sementara waktu. Sampai Nara dapat pengasuh yang cocok.

Sore itu dia menunggu Tian yang akan menjemputnya. Ya, Tian selalu berusaha menjemput Nara meski harus mengejar waktu dengan jam pulang kerjanya. Sama yang dilakukannya ketika masih pacaran dulu.

Tian tidak tahu saja niat Nara ketika sudah terkumpul tabungannya nanti. 

Bogor sore itu gerimis kecil. Nara dan beberapa karyawan pabrik lainnya masih menunggu di halte pabrik. Nara membuka gawainya. Pesan masuk dari Tian.

[Bun, motorku kempes nih. Lagi nambal, kamu mau tunggu atau mau naik ojol?]

[Aku nunggu aja, lagian di sini juga gerimis kok]

Ah ... lebih baik dia menunggu suaminya di sini.

Nara menutup aplikasi warna hijau dan menggantinya dengan warna biru.

Tampak seorang teman FB kembali membagikan tulisan seumur hidup terlalu lama.
Dia tersenyum, karena tulisan itulah dia ada di sini sekarang.

Lama dia melihat satu persatu komentar, ada yang mendukung ada pula yang tidak. Tiba-tiba matanya tertuju pada komentar salah satu laki-laki yang membuat Nara menitikan air mata. Menyadari kesalahannya ....


"Seorang suami ketika sukses berusaha menyenangkan keluarganya, sedangkan istri yang sukses seringkali melupakan fitrahnya. Merasa bisa berdiri sendiri, lalu meninggalkan suaminya"

Dari sekian banyak komentar baik dan buruk, komentar itulah yang terus terngiang-ngiang. Nara tahu, tidak semua laki-laki dan perempuan sama seperti isi komentar itu. Bahkan beberapa orang menghujat si empunya komentar. Tapi tetap saja kalimat itu terasa sampai ke hatinya. Apakah dia seorang wanita yang melupakan fitrahnya sebagai seorang istri? Seorang ibu? Yang harusnya berusaha mati-matian menjaga rumah tangganya, bukan merusaknya.

Dan seharusnya, dia juga yang membantu Tian berubah. Bukan hanya dengan ocehan nya yang justru semakin tidak didengar Tian.

Hati Nara gelisah, matanya sembab karena airmata yang mengalir begitu saja. Ingin rasanya saat ini dia bersujud meminta maaf pada suami nya itu.

Tiba-tiba gawainya berdering.

"Halo, ini istri Bapak Tian? Bisa kerumah sakit Bhakti sekarang Bu? Suami Ibu ada di UGD sekarang karena kecelakaan ..."

Tangis Nara pecah mendengarnya, tangannya gemetar. Bagaimana bisa? 

Nara menyetop ojek online yang sudah dipesan teman menunggunya dari tadi.

"Mbak saya minta tolong pake ojek Mbak, suami saya kecelakaan rumah sakit nya nggak jauh dari sini mungkin hanya sepuluh menit mbak bisa pesan lagi!" suara Nara bergetar memohon. 

Setelah disetujui pemesan sebenarnya, Nara naik ke atas motor dengan tergesa-gesa.

"Mas ayo tolong saya dulu, nggak usah pakai aplikasi nanti saya tambahin uangnya"

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, jantung  Nara berdetak tidak karuan. Apakah suaminya luka kecil atau luka parah? Nara tidak tahu sama sekali.

Sampai di sana banyak perawat dan dokter memenuhi ruangan. Ternyata korban kecelakaan tidak hanya Tian.

"Maaf anda siapa?" tanya salah satu perawat.

"Suami saya Tian, tadi ada yang telpon dia ada di UGD sini."

"Maaf Bu, Bapak Tian salah satu korban yang tidak selamat. Dia meninggal di tempat. Ibu bisa ikut saya ke sebelah sini."

Nara tak bisa berkata kata, apalagi mengikuti perawat itu. Tubuhnya limbung, pandangannya kabur.

***

Sudah ada Ibu dan kedua mertuanya ketika Nara membuka mata. Dia berharap ini mimpi. Tapi tangisan kedua orang tua Tian membuatnya sadar kejadian yang baru saja dialaminya.

" Ma, Tian ...," lirih Nara.

"Iya Nak, Tian sudah pergi. Mama minta maaf atas nama Tian kalau selama ini punya salah sama kamu ...," ucap Ibu mertuanya.

Tangis Nara pecah.

"Ma ... Tian nggak salah, Nara yang mau minta maaf sama Tian tapi nggak sempat. Tian keburu pergi, Ma. Apa Tian nggak mau menerima maaf Nara? Sampai-sampai Nara nggak dikasih kesempatan?" Nara terus terisak. Tian benar-benar tidak memberinya kesempatan. Dia menyesal kenapa baru menyadari kesalahannya sekarang? 

Ah, Tian ... ternyata seumur hidup bersama kamu begitu cepat. Batin Nara terus saja menyesal.

Nara ingat semuanya.
Dia berjanji tak apa-apa Tian tidur terus, asal sekarang dia bangun.
Tidak apa-apa Tian menyelipkan sampah di setiap  sudut ruangan, dia janji takkan mengomel lagi dan ... Aaahh...

Bangunlah Tian...


Komentar

Login untuk melihat komentar!