Part 1


Part 1

"Kamu masih memberinya uang?" Suara Ibu mertuaku terdengar tajam.

"Tidak, Ma," jawab  Mas Ramdan cepat.

"Kamu tidak lihat baju yang dia kenakan, semua bermerek dan itu tidak murah."

"Aku tidak tahu, Ma. Mama kan yang memegang semua uang dan rekening aku kenapa jadi mencurigai aku sih."

"Kalau begitu dari mana dia dapat uang?"

"Mana aku tahu, Ma. Dia kan baru datang dari kampung siapa tahu dibelikan ibunya."

"Mana ada ibunya janda tua dan miskin itu punya uang."

Aku menghela napas kasar, kalau saja tidak terpaksa aku tidak akan kembali ke sini. Hanya beberapa waktu setelah itu aku akan mencari kontrakan.

Bang Ramdan adalah seorang artis daerah yang cukup terkenal. Kami kenalan sewaktu aku bekerja di kota dulu. Perkenalan kami memang tidak lama, dia langsung mengajak menikah.

Aku kira semua akan baik-baik saja, tapi semua karena mereka punya sebuah rahasia yang aku baru mengetahuinya belakangan ini. 

Sejak hamil Mas Ramdan tidak pernah mengunjungi apa lagi menafkahiku. Aku berjuang sendirian, melahirkan, sampai Fatih putraku berusia empat bulan pada saat sekarang ini.

"Dengar ya, Ram. Mama tidak suka dia berlama-lama di sini."

Lalu hening nampak pertengkaran mereka sudah selesai. Tak lama kemudian pintu kamar terbuka dia muncul dengan wajah datar.

Aku tersenyum, berusaha bersikap kalau tak mendengar pertengkaran tadi. Biar nanti dia bicara sendiri. Aku ingin tahu bagaimana caranya mengusirku dan anaknya dari sini.

"Bagaimana kamu bisa ke sini?" tanyanya menerima Fatih yang kusodorkan padanya tanpa ragu.

"Naik ojek. Kamu kan tahu kalau aku nggak punya kendaraan sama sekali."

"Bukan itu maksudku. Maksudku kenapa kamu datang ke sini, padahal kamu sudah tahu kalau aku takkan bisa kembali padamu?" 

Aku merasakan sebuah tikaman tajam tepat di jantung, oleh ungkapan tak berperasaan itu.  Namun, tekadku sudah bulat kalau aku akan bertahan selama mungkin di sini.

"Aku tidak memintamu kembali buktinya aku yang datang ke sini," jawabku acuh sembari mengeluarkan pakaian Fatih dan menyusunnya di sebuah lemari plastik yang kosong di sudut kamar.

"Sampai kapan kau akan tetap di sini?"

"Apakah kau tidak ingin bersamanya? Apakah kau tidak sedikitpun menyayangi Fatih? Dia anakmu," tekanku tajam.

"Farah, bukan kita sudah membicarakan ini ...."

"Stop, Mas! Jangan buat aku mengambil tindakan yang tidak seharusnya. Sampai Fatih mendapatkan hak yang seharusnya darimu aku tidak akan ke mana-mana."

Hak?

Aku bahkan tertawa sendiri mendengar kalimat yang baru saja meluncur dari mulutku.  Bukan itu tujuan utamaku datang ke sini, aku punya tujuan yang akan membuat mereka pingsan kalau mengetahui apa maksudku.

"Besok akan kuantar kau pulang," putusnya.

"Tidak. Aku bertengkar dengan ibu, aku tidak tahu harus ke mana," jawabku cepat.

"Farah ...."

"Terima saja kalau aku akan tinggal di sini sementara tanpa menyusahkanmu kecuali untuk keperluan Fatih." Aku sudah selesai marapikan pakaian ke dalam lemari, rasanya benar-benar sesak ketika harus menahan emosi mati-matian.

"Aku lapar," ujarku santai ke luar kamar menuju dapur. Memeriksa lemari dan tudung tempat biasanya orang menyimpan makanan, tapi tidak ada yang kutemukan sama sekali.

Baru jam lima sore, belum ada yang makan malam dan ketika aku datang tadi Mama dan Susi Art di rumah ini sedang memasak.

"Tidak ada makanan," jelas Mas Ramdan canggung, rupanya dia mengikutiku. Sekilas kulihat Fatih yang tertidur dalam pelukannya. Aku memutuskan kembali ke kamar dari pintu kamar kulihat Mama mertua dan Rini adik ipar ku sedang tertawa-tawa di teras.

Aku menggeleng kepala masuk kamar dan meraih ponsel. Beruntung aku punya teman yang menyediakan jasa gojek untuk makanan jualannya sendiri tak begitu jauh dari sini.

Terpaksa kupesan pecal lele dua porsi lengkap dengan jus alpokat dan beberapa cemilan lainnya.

"Pesan makanan?" Mas Ramdan masih mengikutiku.

"Iya," jawabku mengacuhkan dia yang hendak memberikan Fatih.

"Memangnya ada uang?" tanyanya semarkasme.

"Iya, dan kupegang sendiri," sindirku memamerkan dompet warna ungu dan tersenyum manis padanya.

"Dari mana kamu dapat uang?"

Nah, dia akan mati penasaran.

"Ngepet," jawabku sekenanya dan pergi ke luar karena dari jendela kamar aku melihat gojek pesananku sudah mendekat.

Tentu saja Rini dan Mama Risa terkejut melihat gojek datang sesuai pesananku. Belum sempat mereka bertanya aku mengeluarkan selembar uang merah dan menyerahkannya kepada Abang gojek.

"Kebaliannya buat Abang saja," seruku sembari masuk ke dalam rumah sementara Bang Gojek bengong menyodorkan uang kembalian, tapi kemudian dia masukkan lagi ke dalam kantongnya dengan semrigah ketika mendengar seruanku.

Tanpa basa-basi aku langsung ke meja makan  melahap pical lele dengan bersemangat dan benar-benar mengabiskan kedua porsi itu sekaligus.

"Dasar menantu tak tahu basa-basi," terdengar gerutu Mama Risa tak jelas dari ruang keluarga, aku tahu dia sengaja bersuara keras agar aku mendengar.

Aku menyelesaikan makan lalu setelah membereskan sisa-sisa makanan aku masuk kamar menemukan Mas Ramdan sedang menatap penasaran.

"Alhamdulillah, kenyang sekali." Aku pura-pura menguap mengambil Fatih dari gendongannya dan meletakkannya di tempat tidur empuk milih Mas Ramdan.

"Kamu dari mana dapat uang sebanyak itu?"

"Banyak?" Alisku terangkat, dari mana dia tahu kalau uangku banyak.

"Ya, kamu ada uang dapat dari mana?" selidiknya.

"Minta pada ibukulah, nggak mungkin minta padamu."

"Nggak mungkin dari mana ibumu dapat uang, di kampungmu itu makan saja susah."

Astaga, kenapa jadi seribet ini sih?

"Ya sudah kalau gak percaya," jawabku merebahkan badan dan memejamkan mata.

"Apa kamu jadi simpanan orang kaya?"

"Apa?" Aku menatapnya tak percaya mendengar pertanyaan itu.

"Iya, siapa yang membayarmu semahal itu hingga hidupmu semewah ini?"

Komentar

Login untuk melihat komentar!