Mendengar perkataannya itu aku harus menghela napas keras. Berusaha menahan kesabaran.
Dasar pria picik!
Aku tetap dengan posisi merebahkan badan, tak peduli wajahnya yang mengeras menatap ketenanganku.
"Hanya karena isi dompetku lebih tebal darimu kau bisa menuduhku seenaknya, Mas," sergahku jengkel.
"Aku tidak menuduhmu harus ada penjelasan dari mana kau dapat uang selama ini?"
"Terserah apa katamu, aku mau tidur."
Aku menarik selimut menutupi tubuh, mencopot hijab dan melemparnya ke sudut sembarangan.
"Sarah ...."
"Kita lanjutkan lagi pertengkaran kita nanti malam."
Kutarik selimut hingga menutupi kepala, benar-benar harus berjuang untuk waras selama di sini.
Beberapa bulan lalu ....
Aku menikah dengan calon artis terkenal, setidaknya itulah berita yang heboh di kampung.
Semua orang merasa bangga begitulah yang terlihat. Kecuali Ibu, kurasa. Ada gurat kecemasan yang terbayang di wajahnya ketika aku menceritakan Mas Ramdan dengan semrigah.
"Kita orang miskin, Nak. Kamu yakin akan menikah dengan artis?" kata Ibu di sela persiapan akad nikah yang akan diadakan di masjid yang tak jauh dari rumahku.
"Ya, nggak masalah, Bu, Mas Ramdan dan keluarganya baik kok, dia menerimaku apa adanya," hiburku menyentuh wajah yang mulai menggeriput itu.
"Kalian belum lama kenal." Ibu mengingatkan.
"Ibu tenang saja, bantu dengan doa."
Percakapan singkat dengan Ibu menjelang akad itu masih sering menghantui sampai sekarang. Bagaimana tidak, aku merasa kecemasannya benar-benar beralasan.
Selesai acara akad nikah di masjid kami yang terdiri dari keluarga intinya saja datang ke rumahku. Mengadakan doa syukuran dan makan gulai ayam kampung kembanggaan ibuku.
Tidak ada yang aneh atau sesuatu yang tidak mengenakkan. Meskipun dapat kulihat gurat kekesalan dari wajah Mama Risa dan Rini adik iparku, entah karena apa.
Mungkin aku akan menanyakan nanti, setelah berkunjung ke sana untuk resepsi tiga hari lagi.
Tak lama kemudian mereka dan rombongan pamit pulang. Terdengar keluhan dari Mana Risa tentang terlalu jauh dan jalan yang tidak terlalu mulus.
Dia tidak terlalu menanggapiku, malah memberi kode pada Mas Ramdan agar menjauh dariku. Sepertinya mereka ingin bicara.
Dari kejauhan nampak mereka berdebar. Mas Ramdan nampak kesulitan menghadapi kekesalan mamanya hingga aku mendekat, siapa tahu ini semua salahku.
"Ya sudah Mama pulang dulu, semoga kamu bertahan tiga hari di sini," ketusnya kemudian pergi tanpa menoleh padaku.
"Ada apa, Mas?" tanyaku heran menatap punggung Mama Risa yang menjauh.
"Tidak ada," jawab Mas Ramdan mengusap wajahnya.
"Ini rumah ibumu,ya?" tanyanya tiba-tiba mengalihkan perhatianku.
"Ya," jawabku mengikuti pandangannya pada rumah papan yang kuyakin telah banyak yang menjadi santapan rayap.
"Kenapa?" tanyaku heran.
"Kok bisa?" Dia nampak tak percaya, jelas itu membuatku terkejut.
"Kok bisa apanya?" kejarku.
"Tidak ada. Harusnya sebelum kita nikah aku membawa keluargaku berkunjung ke sini dulu," jawabnya entah maksudnya apa.
"Bukannya memang keluargamu sudah berkunjung?" Aku semakin heran.
"Maksudku Mama."
Lalu dia melangkah meninggalkanku dengan perasaan penuh teka-teki. Apa rumahku Juni jadi masalah? Rumah ini memang sudah sangat tua, peninggalan almarhum ayah dulu. Ibu melarang merehabnya, katanya buat rumah baru di lokasi lain saja, tapi yang ini jangan dirobohkan.
Beberapa meter dari rumah tua ini ada pondasi yang sedang di bangun. Ada beberapa pekerja yang sedang menikmati cemilan sore, salah satu dari mereka melihat ke arahku yang langsung melemparkan senyum pada mereka.
Malam pengantin yang dingin. Setidaknya itu yang kualami. Teringat olehku beberapa cerita teman-teman sebaya tentang malam pertama mereka, semua heboh tidak ada yang dingin sepertiku.
Baru saja selesai membersihkan diri aku terkejut melihat Mas Ramdan sudah tidur dengan posisi membelakangi.
Dia masih mengenakan kemeja putih dan celana kain hitam. Apa dia selah itu?
Aku menatap gaun tidur transparan yang kukenakan. Sengaja kupakai ini agar malam yang seharusnya panas tidak terlalu panas.
Ada perasaan aneh menyelinap, entah kecewa atau apalah namanya. Bagaimanapun otak mesumku mulai bekerja.
Oh, Tuhan.
Aku ini manusia normal.
Aku ingin sentuhan juga.
Dengan memberanikan diri aku naik ke tempat tidur. Berlutut tepat di belakang punggungnya menyentuh bahunya perlahan.
"Mas," bisikku.
Dia bergeming.
"Mas ayo bersihkan badan dulu," ulangku berbisik di telingaku.
"Sarah, kamu tidur sana. Aku capek," ujarnya disela kantuk yang nampaknya tidak dibuat-buat.
"Mas ...." Aku tercekat.
"Sudah tidur."
Aku menghela napas berat, kemudian merebahkan badan dengan mantap punggungnya.
Entah bagaimana aku bisa tertidur, yang jelas saat aku bangun dia sudah tak lagi di tempat tidur. Aku hendak bangkit ketika terdengar sebuah obrolan akrab dari luar.
Dia sedang bicara dengan Ibu, kulihat di ujung tempat tidur ada handuk. Segera kuraih handuk itu dan merabanya, ternyata basah.
Dia mandi pagi.
Aku memeriksa bagian-bagian tubuh yang seharusnya jadi sasaran pria normal di malam pertama. Namun, tak ada perubahan, semua normal dia bahkan tak menyentuhku sama sekali.
Kuraih handuk dan lekas mandi, mungkin aku perlu membahas ini atau memang belum saatnya bisa jadi dia lelah. Aku berusaha menghibur diri dengan menyiramkan air dingin ke tubuh, berharap semua akan berubah nanti.
****
Aku tersentak ketika Fatih menangis, suara azan dari masjid berkumandang. Aku bangun dengan mengucek mata, saat menunaikan panggilan illahi.
Kugendong Fatih yang sudah diam berniat menitipkannya pada Mama Risa karena mau shalat, tapi lagi-lagi aku harus mendengar hal yang tak menyenangkan hati.
"Kalau uangnya banyak kamu ambillah, Ram. Ingat utang pernikahan kalian masih banyak."
"Ma ...."
"Pokoknya Mama nggak mau tahu ambillah uangnya itu."
"Nggak mungkin, Ma. Uang itu miliknya dia tidak akan memberikannya padaku."
"Kamu ambilnya diam-diam lah, Ram," geram Mama Risa membuatku menggelengkan kepala.