Muslim yang Kubenci Malah Menyelamatkanku
Langkahku semakin mundur seiring Jordy mendekat. Apa sebenarnya tengah terjadi, aku tak mengerti. Mustahil Salsa mampu melakukan semua ini. Dia tahu aku sangat membenci pria, ini jijik malah.

"Ayo, Sayang. Capek aku nungguin kamu merespon. Ini terpaksa ku lakukan ...." Tangan kekar Jordy berusaha menyentuh.

"Aku tau kamu pura-pura sama Reza. Kamu hanya jual mahal ke aku 'kan? Pakaianmu, gerak tubuhmu mengisyaratkan kamu ingin aku menyentuhmu."

Langkahku terpaksa berhenti saat tubuh menyentuh dinding ruangan berukuran 3x2 ini. Jordy semakin dekat, dengan cepat ya mengunciku ke dinding saat hendak berlari ke ruang sebelah.

"Jordy ... lepasin! Lo tahu siapa bokap gue 'kan?" 

Pria dengan pakaian tidak rapi itu menaikkan sebelah bibirnya. 

"Yah, dan bokap lo udah membuat keluarga gue menderita. Sepertinya selain gue naksir berat sama lo, sakit hati gue juga akan terbalas. Secara pejabat tidak mungkinlah bawa kasus ini ke ranah hukum, apa dia mau mencoreng namanya sendiri?"

"Jordy, gue bisa kasih semua. Tapi jangan apa-apain gue." Meski rasa takut ini begitu besar, aku masih mencoba berpikir waras dan bernegosiasi dengannya. 

Tidak mendengarkan ucapanku, lelaki itu menarik dress bagian bahu hingga terlihat lenganku. Matanya tidak berkedip. Jijik sekali rasanya. 

Lelaki itu semakin mendekat hingga kurasa napasnya yang menjijikkan menyentuh kulit tangan, kepala kami hampir tak berjarak. Merasa terjepit,  kugigit telinganya hingga berdarah.

"Argh!" Jordy mengerang sebentar, aku yang akan berlari ke arah pintu tertahan saat dengan cepat ia menarik tanganku dan membanting tubuh ke lantai. Rasa sakit menjalar ke seluruh badan, nyaris saja kepalaku terbentur meja.

"Wanita sialan!"

"Aaargh! Tolooong!" 

Namun, sepertinya memang tidak ada yang mendengar. Tubuh pria itu sudah mengunciku dan ....

Brak!

Seseorang mendobrak pintu, aku dan Jordy sama terkejut. Mataku melebar sempurna. Dosen yang dingin dan angkuh itu sudah berdiri di sana, dengan dua orang gadis berjilbab di belakangnya.

 "Aq ... Aqila ...." Suaraku gemetar dan serak.

Pak Fathan menatap nyalang, tangannya mengepal. Tanpa babibu ia ayunkan pukulan bertubi-tubi pada Jordy.

"Dasar mahasiswa mesum!"

Hatiku masih dipenuhi rasa takut, Aqila dan gadis lain mendekat, memeluk untuk menenangkanku. Dengan cepat mereka membawaku keluar, dan di dalam sana baku hantam masih terjadi.

Suara orang-orang sudah mendengung, pasti karena keributan ini. 

"Kamu baik-baik aja, Lin?" tanya Aqila.

Pertanyaan itu sebenarnya tidak membutuhkan jawaban. Dia tidak buta 'kan? Ish kenapa pula hatiku merutuk pada orang yang telah menolong.

Kurang lebih dua puluh menit, Pak Fathan keluar dengan gagah. Menyadari kehadirannya, aku sontak melihat ke dalam. Di sana, pria bajingan itu terkapar. Pikiran dengan cepat melayang pada Salsa. Mungkinkah ia dalang dari semua ini? Tapi untuk apa?

"Bapak tidak apa-apa?" Mimik khawatir terpancar jelas di wajah kedua gadis berhijab syar'i yang membawaku keluar tadi, terutama Aqila. Ada tatapan beda yang ia tujukan pada Pak Fathan.

Ah, tentu saja jika saja tidak dingin dan angkuh, dia adalah lelaki sempurna tipeku. 'Wait, Njel! Dia sudah beristri dan lo bukan pelakor!'

"Saya tidak apa-apa. Lebih baik kalian bawa gadis ini masuk untuk menenangkannya. Setelah itu baru antar dia pulang." Suara itu sesaat mengusik empatiku. Padahal aku sudah jahat, membuatnya bertengkar dengan istri, tapi ia tetap baik. Rasa bersalah ini mengganggu.

"Lupakan saja dia!" seru pria itu lagi.

Kembali aku menunduk lebih dalam saat langkah lelaki tegap itu mendekat.

Pak Fathan berjalan pelan melaluiku. Kuberanikan mengucap, "Terima kasih" tanpa melihat ke wajahnya.

Seketika langkahnya terhenti.

"Tenanglah, semua akan baik-baik saja."

Ucapan itu seolah memberiku kekuatan saat sekarang aku masih diliputi rasa takut.
Muslim yang kubenci justru ada memberiku pertolongan.  
Lord, aku jadi merasa bersalah. 

Bersambung 

Komentar

Login untuk melihat komentar!