Melihat pada belasan chat yang kukirim pada Salsa.
[Sa! Lo di mana]
[Kita perlu bicara]
[Kok bisa-bisanya sih, Sa ... Jordy si peneror ulung ada di kamar lo?]
[Sa, kita perlu bicara]
Lalu stiker-stiker lain untuk mengekspresikan tanya dan rasa kesalku.
Bermenit-menit, berjam-jam belum juga centang dua, apalagi centang biru. Shit! Dia memblokirku kah? Jika benar kita harus membuat perhitungan, Sa. Musuh paling berbahaya itu adalah ketika ia seperti api dalam sekam.
❤️❤️❤️
Pagi ini hampir segala penjuru kampus kujelajahi, tapi tak juga kutemukan Salsa.
Saat bersama Angel Genk mataku tak sengaja menangkap sosok Salsa. Ia berjalan dengan memakai hoodie dan masker di mulutnya. Mungkin gadis itu pikir aku akan tertipu. Dasar penyamarannya sangat amatir. Tampil berbeda seperti itu justru menarik perhatian.
Berjalan cepat padanya, saat jarak kami hanya beberapa senti segera kutarik masker yang menutupi mulutnya. Menyilangkan tangan di dada, kutatap kesal padanya.
"Kalau lo gak salah, lo pasti nggak akan menghindar kek gini."
Salsa terdiam, tentu saja karena ia merasa bersalah. Sial! Dugaanku kali ini benar.
"Dasar pengkhianat!"
Awalnya gadis itu terlihat pasrah, tapi saat orang-orang di sekitar kami mendekat, Salsa tiba-tiba berani. Pasti karena image.
"Kenapa kalau gue pengkhianat? Apa gue harus jadi kacung lo selamanya?" Suara Salsa mengeras.
"Apa? Jadi benar?" Aku masih tidak percaya melihat reaksinya. Tadinya hati ini berharap bahwa Salsa melakukannya karena tekanan Jordy, tapi ternyata karena dendam pribadi yang tidak aku mengerti.
"Gue capek ya lihat lo yang terlalu sempurna. Gue juga mau lo kaya yang lain nggak sok-sokan virgin."
Tanganku sudah terangkat akan menampar pipi gadis itu, tapi Tasya memegangi. Aku menatap Salsa penuh amarah.
"Heh, kalian sampai kapan jadi kacungnya Angel? Kalian rusak sedang dia ... ibarat madu di tengah kalian!" Salsa berlalu.
Damn! Semua orang melihat padaku, juga teman-teman menatap dengan pandangan yang berbeda dari biasanya.
❤️❤️❤️
Melihat Pak Fathan di lorong kampus menuju kantor rektor. Kupercepat langkah mengimbanginya. Dosen baru itu pasti dipanggil juga atas kasusku kemarin. Melihat jalannya yang dipercepat dia sepertinya sadar maksudku. Aku tersenyum, tiba-tiba muncul ide di kepala.
"Aduh!" Aku pura-pura jatuh, dalam sekejap ria itu berbalik.
"Ada apa?" Wajah tampan dosen itu sangat cemas. Pasti ia pikir aku tengah keseleo karena high heels. Refleks ia terduduk ingin menolong.
"Bapak khawatir sama saya?" Tawa kecil teruntai lalu aku melangkah meninggalkannya.
Aku tertawa dan segera bangkit mendahuluinya. Sempat kulihat sekilas pria itu geleng-geleng. Aku yakin dia berpikir bahwa Angeline sangat cerdas mengelabui lawannya.
"Pak, Pak Rektor udah nungguin, loh."
"Oh, eh, iya. Ayo!"
Berjalan dengan Pak Fathan begini membuatku ingat saat ia menolongku semalam. Tiba-tiba saja hati ini menghangat karena ucapannya. Merasa ada seseorang yang peduli dan seolah mau jadi pelindung. What's? Pelindung? Dia suami orange Angeline.
"Pak, maaf ya waktu di cafe, Bapak jadi bertengkar sama istrinya."
Sadar aku menatapnya, pria tegap itu tertawa kecil.
"Tenang saja. Dia itu adikku, bukan istri. Saya belum punya istri."
Jadi dia belum punya istri? Kenapa aku senang mendengarnya? Rasa panas seketika menjalar di kedua pipi.
"Sudah, sana duluan!" Pak Fathan nampak canggung.
Apa? Jadi ... Pak Fathan masih single? Duh, bisa dong aku godain?
Bersambung