ISTRIKU HANYA INGIN UANGKU SAJA#5
[Dan apa, mas? Kamu kalau ngomong yang ringkas dong, jangan bertele-tele.]
[Mas, jawab?]
Tok.
Tok.
Tok.
"Fikri, apa kamu sudah tidur?" tanya ibu dari balik pintu.
"Belum, Bu. Fikri masih belum bisa tidur," jawabku. "Masuk aja, Bu. Pintunya gak dikunci," sambungku.
Ibu duduk sembari menghembuskan nafas pelan. Ia meletakkan tangannya pada pundakku dan berkata dengan lembut. "Tadi Hanum barusan telepon, minta Hasan diantar besok pagi juga. Dia bilang di rumah ibunya akan ada acara pernikahan Zia." Ibu berujar dengan senyum kelembutan.
"Terus dia gak nyuruh ibu hadir, besok?" tanyaku dan ibu menggeleng.
"Heh."
"Jangan turuti permintaannya, Bu. Dia bukan ratu yang harus kita patuhi semua kemauannya, sudah cukup rasanya dia menginjak-injak harga diri keluarga kita," ucapku terhenyak.
"Yasudah, apa baiknya di kamu saja."
"Bilang saja Hasan tidak mau diantar, bilang saja Hasan betah di sini dengan Dila."
"Hanum juga tanya, apa ibu memberitahumu tentang Hasan yang ia titipkan di sini. Ibu jawab saja sudah setengah bulan ini tidak pernah berhubungan denganmu, melalui via telepon," ujar Ibu.
Aku hanya mengangguk, setelah itu ibu pamit mau istirahat.
"Kamu istirahat saja dulu, Fik. Jangan terlalu dipikirkan, yang ada kamu sakit kalau mikirin hal itu terus." Ibu mengusap punggungku pelan.
______________________________
Sekitar pukul 10:00 pagi. Aku bersiap ingin berangkat menuju rumah ibu mertua untuk menghadiri pesta pernikahan Zia secara diam-diam. Aku sengaja memakai jaket kulit hitam serta topi dan kacamata. Tak lupa pula aku memakai masker agar tidak ada yang bisa mengenaliku.
"Bu, Fikri pamit dulu, ya? Dil, jaga Hasan," ucapku.
"Hati-hati, Nak."
"Hati-hati, Mas."
"Ayah, ikuuut." Hasan merengek bergelayut pada lenganku.
"San, Hasan tinggal dulu, ya, Nak. Kalau bisa hari ini ayah bakalan jemput Adek sekalian." Aku berusaha memberi pengertian pada Hasan.
"Adek? Kalau bunda?" tanyanya membuatku tak bisa menjelaskan.
"Hasan rindu bunda, Yah," ucap Hasan.
"Iya, nanti kita ketemu Bunda," hiburku.
"Bu, Fikri pergi, ya. Hasan jangan nakal, harus nurut apa kata Tante," ujarku.
__________________
Sesampainya di acara mewah itu, aku menyusup dikeramaian. Berusaha bersembunyi sementara waktu sampai akhirnya aku bisa naik ke atas panggung untuk memberi surprise pada keluarga Hanum.
Kulihat dari kejauhan Hanum yang tengah duduk menikmati iringan musik koplo yang dinyanyikan oleh salah satu kerabatnya. Ia menggunakan pakaian kebaya berwarna tosca serasi dengan para keluarganya. Di samping Hanum kulihat ada seorang pria yang memakai kemeja berwarna senada dengan Hanum dan keluarganya, berdiri tepat di sampingnya.
Tangannya mentoel-toel lengan Hanum membuat darah ini mendidih, membuncah naik dan menguap. Sepertinya sanak keluarganya pun sudah tau tentang hubungan Hanum dengan pria itu, kenapa mereka diam saja tanpa ingin memberitahuku yang sebenarnya.
Tak terasa tangan ini mengepal dengan keras. Ingin sekali meninju pria tersebut, bukan berarti aku cemburu. Hanya saja, aku sangat marah karena masalah ini akan berakibat fatal bagi kedua anakku.
Di sana, aku tidak melihat Putri bersama Hanum. Di mana lagi Hanum menitipkan Putri setelah dia menitipkan Hasan pada ibuku.
Hanum perlahan memiringkan kepala, meletaknya di pundak pria itu. Apakah dia sudah putus urat malu atau memang orang-orang sudah tau tentang hubungannya dengan pria itu.
"Eh, dengar-dengar Hanum itu sudah lama pisah dengan si Fikri. Kabarnya si Fikri gak pernah ngasih nafkah selama kerja di PT. Si Fikri juga pulang cuma sekali-kali aja untuk melihat keadaan anaknya. Kasihan Hanum, harus mengurus dua anak tanpa dikasih nafkah oleh suaminya. Beruntungnya dia sekarang udah dapat pengganti yang lebih baik dan mau ngongkosin kehidupan si Hanum. Lihat, sekarang mereka udah terang-terangan banget, ya, nge publish hubungan mereka. Sampai-sampai baju seragam aja udah sama," ucap seseibu yang duduk tak jauh dariku sambil kasak-kusuk. Suaranya memang nyaring karena suara musik masih berputar.
"Iya, kasian banget Hanum. Sampai-sampai ia harus menitipkan Hasan di rumah bekas mertuanya, kabarnya si Fikri juga udah mau nikah dengan perempuan lain. Udah tau belum ibu-ibu, kalau sebenarnya yang bantuin Fikri itu masuk kerja jadi mandor di PT itu abangnya si Hanum. Tapi, kok, balasannya begitu amat, ya? Kayak gak tau terimakasih dan gak bersyukur. Makanya Hanum gak ngundang keluarga mantan mertuanya, karena keluarga mertuanya itu sudah tau kalau Fikri itu punya simpanan. Kalau aku jadi Hanum pasti udah kulabrak itu keluarganya," sahut seseibu yang lain.
Ya, Allah. Fitnahan apa yang telah dilontarkan oleh Hanum pada diriku. Sehingga para tetangga berbondong-bondong menghujat dan mencaciku, berkata yang bukan-bukan dan jelas semua itu hanya karangan semata.
3 bulan sekali aku pulang, itupun terkadang seringkali dihalangi oleh Hanum. Dua hari saja aku berada di rumah Hanum sudah marah-marah menyuruhku untuk balik ke PT. Tak disangka, ia malah menuduhku dan menceritakan hal-hal buruk kepada orang-orang dan para tentangku. Padahal selama ini aku yakin dia tidak pernah kekurangan apapun dariku. Semua gaji kuserahkan padanya, sampai-sampai aku rela tiap malam makan mie instan atau nasi dengan telur ceplok saja agar tidak membuatnya kecewa.
"Kepada keluarga mempelai wanita, ada yang ingin menyumbangkan sebuah lagu? Kalau ada silahkan naik ke atas panggung," ucap pembawa acara sambil sumringah.
Dengan lantang aku berdiri dan berkata "Saya."
"Baiklah, kepada Mas yang berjaket kulit dan berkacamata hitam silahkan naik," ucap pembawa acara dan aku berangsur berjalan menaiki panggung.
Sebelum itu aku membuka kacamata, topi dan masker yang ku kenakan. Semua keluarga Hanum terkejut melihat aku yang tengah berdiri di atas panggung termasuk Hanum dan pria yang berada di sampingnya.
"Mas, Fikri." Kulihat Hanum melongok, dari gerakan bibirnya dia seperti menyebut namaku.
Setelah naik ke atas panggung dadaku serasa semakin bergemuruh, melihat tangan Hanum melingkar di lengan lelaki itu.
"Maaf sebelumnya, kepada tamu undangan dan keluarga besar mempelai pengantin. Saya di sini sebenarnya tidak ingin bernyanyi. Teruntuk Hanum, istriku yang masih sah secara agama dan negara. Terimakasih atas 7 tahun pernikahan kita, selama itu juga aku berusaha menjaga Marwah dan kesucianmu serta tidak pernah merendahkan dirimu sebagai seorang wanita apalagi sebagai ibu dari anak-anakku. Akan tetapi, hari ini, dengan mata kepalaku sendiri. Aku melihat engkau begitu rendah dan hina saat engkau merangkul tangan laki-laki yang bukan mahrammu. Apalagi semua keluargamu melihat pemandangan itu dan tidak ada yang menegur perbuatan terlarangmu itu."
"Hari ini juga aku melihatmu begitu sangat menjijikkan, apalagi saat tahu kau menebar fitnah palsu untukku. Setiap bulan aku selalu memberi nafkah, bahkan semua uang gajiku aku berikan kepadamu. Tidakkah, kau bersyukur atas itu wahai istriku?"
Wajah Hanum memerah dan memberut, bibirnya maju, sepertinya ia ingin menangis.
"Aku sebagai suami sah--mu, sangat malu melihat kelakuanmu. Apa salahku padamu? Apa salah keluargaku sehingga kau memfitnah kami? Apa karena lelaki baru itu kau begitu banyak berubah sekarang? Kau tidak punya hati, tidak punya perasaan. Saat ini juga, akan aku umumkan kepada semua orang bahwa kita akan berpisah. Kuserahkan kau, pada keluargamu dan pada lelaki itu. Terimakasih, aku akan membawa anak-anak ikut bersamaku," ucapku kemudian memberikan kembali mic itu kepada pembawa acara.
Sontak setelah aku turun dari panggung suasana di acara itu menjadi riuh dan kacau. Mertua Perempuanku terlihat bangkit dan menremas kuat rok yang ia pakai. Mungkin ia sangat malu dengan ucapanku barusan, apalagi di sini ada besannya yaitu mertua Zia.
"Fikri, tunggu!" Mertua perempuan turun dari pelaminan mengejarku. Akupun berhenti dan menoleh.
"Apa maksud kamu berkata seperti itu? Kamu ingin mengacaukan acara pernikahan anakku dan ingin membuat keluargaku malu, ha?!"
"Seharusnya Fikri yang bertanya pada kalian. Apa maksud kalian memfitnahku dan ibuku?"
Mertua terdiam dengan dada yang kembang kempis.
Jangan lupa tinggalkan love dan komentar, ya? Biar aku makin semangat.☺️