Bab:1
ISTRIKU HANYA INGIN UANGKU SAJA.

"Dek, uangnya sudah kutransfer 7 juta. Itu juga termasuk uang lembur, aku pegang 500 ribu ya, buat beli rokok dan bensin."

"Bagus deh, mas. Kalau perlu kamu gak perlu pegang uang banyak-banyak, lagian sarapan dan makan siangmu kan, ditanggung sama bos. Kalau malem kamu makan mie instan saja biar irit." 

"Iya, dek."

"Ya, udah. Aku lagi sibuk lusa acara resepsi pernikahan Zia. Aku mau ke butik beli baju seragam. Uangnya kupakai 5 juta buat nutupin kekurangan untuk beli baju seragam nikahan Zia."

"Lo, Zia nikah? Kok, kamu gak bilang? Kan, aku bisa pulang."

"Gak perlu! Kalau kamu cuti nanti gajimu bakalan dipotong. Kan, sayang. Lagian Zia itu adikku bukan adikmu, jadi kalau kamu gak hadir juga gak bakalan ada yang nyari."

Entah mengapa mendengar ucapan Hanum hatiku sedikit mencelos. Sakit, entahlah! Kenapa setiap ada acara besar dari keluarganya aku tidak pernah dilibatkan. Tapi, jika menggunakan uang dari hasil kerjaku pasti mereka cepat.

"Kok, kamu ngomong gitu sih, dek. Kan, adik kamu, adikku juga." Aku berusaha menahan gejolak amarah yang tadi sempat berkobar.

"Ya, memang begitu. Lagian kamu juga harus kerja, kan? Kalau kamu cuti 2 atau 3 hari kan sayang uangnya. Mending kamu fokus kerja aja dan kirim uang untuk anak-anakmu. Sayang, kalau kamu libur gak dapat bonus mingguan."

"Aku sibuk banget hari ini, aku tutup dulu ya telponnya. Assalamualaikum." 

Namaku Fikri. Aku bekerja sebagai mandor di salah satu PT sawit. Bekerja di luar daerah dan menjalani LDR dengan istri juga anak-anak tidaklah mudah. Ingin pulang biasanya hanya beberapa bulan sekali, itupun hanya bisa beberapa hari. Jika telat sehari saja maka gaji akan dipotong oleh pihak perusahaan.

Memang menjadi mandor gaji di PT bisa mencapai 5 juta perbulan, tidak termasuk uang lembur. Kadang, aku sengaja ngambil lembur tiap malam agar bisa mendapat penghasilan lebih untuk dikirim kepada keluarga.

Sebenarnya biaya makan di PT ini sangatlah mahal. Tapi, aku mempunyai seorang bos yang sangat mempercayakan apapun kepadaku. Sehingga, ia sanggup menanggung uang makanku seperti sarapan dan makan siang. Selebihnya saat malam aku akan makan mie instan atau nasi dengan telor ceplok yang dicocol dengan kecap.

Kali ini tingkah Hanum sedikit keterlaluan. Ia bukan hanya tidak ingin melibatkanku dalam urusan keluarganya tapi ia juga seperti tak menganggapku sebagai suaminya.

Sudah beberapa kali aku menahan perasaan dongkol saat disisihkan olehnya. Sedikitpun ia tak pernah menghargaimu sebagai kepala rumah tangga di pandangan matanya.

[Oh, iya, mas. Uang yang kamu kirim ini gak cukup. Aku udah janji buat bantuin bayar orgen di acara resepsi Zia nanti. Kamu bisa kirim 5 juta lagi, kan? Terserah kamu mau pinjam kesiapa aja yang penting uangnya harus kamu kirim secepat mungkin.] Notifikasi pesan dari Hanum membuat lamunanku buyar.

[Maaf Num, mas gak bisa. Untuk urusan bayar orgen dan semacamnya itu bukan urusan mas. Karena Zia itu adikmu bukan adikku, jadi gak ada sangkut pautnya denganku.] Ya, kubalas saja pesan Hanum seperti yang ia katakan tadi.

[Maksud kamu apa, mas?!]

Jangan lupa tinggalkan love dan komen, ya.

Komentar

Login untuk melihat komentar!