Bab:2
ISTRIKU HANYA INGIN UANGKU SAJA. #2

[Maksud kamu apa, mas?]

[Kamu udah gak anggep keluargaku, lagi? Kamu itu bisa kerja jadi mandor di PT karena abangku yang bantuin kamu. Kalau gak abangku mungkin kamu masih jadi pengangguran.] Ah, selalu saja Hanum mengungkit masalah demikian.

[Ya, tapi kamu sendiri yang bilang kalau adikmu bukan adikku, kan?]

[Terserah ya, mas. Kalau kamu gak kirim uangnya, aku gak mau angkat telponmu lagi dan kamu gak boleh Vidio call sama Hasan dan putri,] jelasnya membuat dada ini sesak.

Seringkali  aku dibilang bodoh atau apalah oleh orang lain karena terlalu menurutkan kemauan Hanum. Ya, yang aku pikirkan bukanlah tentang Hanum melainkan kedua buah hatiku yaitu Hasan dan Putri. Mereka masih kecil, bagaimana jika mereka kekurangan uang, Hanum tidak memberinya jajan atau mereka kelaparan. Karena, aku tahu betul bagaimana sikap dan sifat Hanum. Jika ia merasa stres jangankan mengurus anak-anak dengan baik, seringkali pula ia melayangkan pukulan pada pantat mereka. Aku tidak mau itu terjadi.

[Num, tanggung jawab mas bukan hanya menafkahimu saja, tapi juga mendidikmu.]

[Didik saja diri mas dulu, baru didik aku. Aku gak mau ya, kalau sampe malu dan mukaku ini tebal dihadapan keluargaku.] 

[Gak bisa Num, mas gak bisa nurutin kemauan kamu. Yang nikahan itu adik kamu, kalau tidak mampu gak usah dipaksakan untuk terlalu mewah. Jangan menyiksa diri hanya untuk gengsi,] balasku.

Selesai membalas pesan Hanum aku langsung mematikan ponsel. Istirahat siang hampir usai, aku harus kembali bekerja, mengontrol para karyawan yang memberondol sawit dan juga para pemanen-pemanen yang sedang memanen sawit.

"Pak," sapa mereka dengan sopan.

Mereka masih duduk beristirahat, karena masih ada sisa beberapa menit untuk berehat. Aku ikut duduk sambil mengipas-ngipaskan topi kearah wajah karena panas yang menyengat.

"Kalau masih ingin baring, baring saja. Mumpung masih ada waktu untuk meluruskan pinggang," ujarku pada mereka.

"Heh. Bapak di sini selalu sendiri, kenapa tidak mencari cadangan. Perempuan di sini cantik-cantik. Apalagi yang janda, semuanya sexy-sexy. Apa bapak tidak tertarik? Mumpung istri bapak tidak tahu," ucap salah satu bawahanku yang bernama Lim dia berasal dari suku Nias.

"Astagfirullah ... Saya ini kepala rumah tangga, imam dalam keluarga dan dijadikan panutan oleh anak-anak saya. Jika saya memberi contoh yang buruk, apa jadinya dengan anak keturunan saya nanti. Jika hidup mereka menyimpang siapa yang akan disalahkan? Pasti saya. Sebab saya telah memberi mereka contoh yang buruk dengan mengotori ikatan suci pernikahan. Di dalam sebuah rumah tangga bukan hanya menurutkan hawa nafsu, tapi bagaimana tanggung jawab seorang laki-laki jantan kepada wanita yang telah ia ucapkan ikrar sumpah pernikahan di depan Allah. Dosa besar bagi suami yang berselingkuh dan berzina." 

Kata-kata seperti itu tidak hanya sekali-duakali kudapati. Seringkali para bawahan nakal mengajakku untuk melenceng dari dunia lurus, untung saja aku masih bisa menjaga imanku saat sedang ditimpa masalah seperti ini. Aku masih punya Tuhan, aku tidak mungkin mengecewakan sang pencipta hanya demi nafsu semata.

_________________________

Sepulang bekerja dari lembur aku berniat menelpon Hanum. Biasanya saat-saat lelah seperti ini senyum anak-anaklah yang bisa menghiburku sekarang. Aku menekan nomer yang bertulis nama 'Hanumku' nama itu kuberi saat pertama kali kami bertunangan. Saat aku belum tahu bagaimana sifat aslinya, sampai sekarang aku tak pernah mengubah nama itu karena bagiku sangat spesial. 

Panggilan Vidio dariku masuk ke ponsel Hanum, beberapa panggilan tak terjawab hingga panggilan yang ketiga diangkat. Tapi, yang mengangkat bukanlah Hanum melainkan 'Putri' anak bungsu kami yang baru saja berumur 3 tahun 4 bulan.

"Ayah, ayah." Panggilnya membuat senyum ini mengembang seketika.

Kulihat Putri sedang berada di atas kasur, yang terlihat hanya wajahnya saja yang besar. Sepertinya putri menaruh kamera terlalu dekat dengan wajahnya.

"Bunda mana, sayang?" tanyaku pada putri kecil kami itu.

"Bunda lagi tidul." Kulihat kamera bergoyang-goyang tidak menentu, Putri sepertinya ingin memberikan ponsel kepada Hanum Putri kecil kami itu sudah fasih bermain ponsel meskipun baru berumur 3 tahun lebih.

"Itcu Bunda." Dengan kamera yang masih bergoyang-goyang layar ponsel berhasil menangkap sosok Hanum yang sedang berbaring di atas kasur.

Tapi, hal itu membuatku terkejut. Hanum tidak tidur sendiri, melainkan bersama pria lain yang tak kukenal. Tubuh Hanum terbalut dengan selimut dan dipeluk oleh pria itu dari belakang. Melihat pemandangan itu hatiku benar-benar hancur. Dengan kamera yang tak beraturan dan layar yang kurang jelas aku berusaha menscreenshoot Vidio call itu. Setelah mendapatkan beberapa tangkapan layar, aku langsung mematikan panggilan Vidio. 

Hanum, rupanya ini alasanmu yang sebenarnya tidak membolehkan aku pulang. Rupanya kamu memiliki laki-laki lain yang menemani tidurmu. Apa selama ini aku telah dibodohi oleh Hanum? Kalau begitu akan kuberi kejutan padanya saat di pesta pernikahan Zia nanti.

Aku terhenyak sambil mengelus dada sesak.


Komentar

Login untuk melihat komentar!