POV Ningsih
Sudah berhari-hari aku menuruti perintah Mas Dicki untuk bisa menurunkan berat badan. Aku hanya memakan sedikit buah dan sayur mentah, tanpa makan nasi sama sekali. Berhari-hari berlalu, tapi tak ada perubahan yang berarti. Aku bahkan sering merasakan nyeri di ulu hati.
Vian juga semakin rewel saja ketika aku memutuskan untuk diet. Dia jadi sering tidak mau menyusu, dan akhirnya terpaksa memberinya susu formula sebagai tambahan makanan pendamping ASI.
Pada akhirnya, tubuhku tak mampu lagi bertahan. Aku tumbang dan berakhir di rumah sakit. Mungkin inilah yang dinamakan depresi, ketika aku benar-benar merasa lelah secara fisik dan mental.
"Siapa bilang gendut itu jelek?" Dokter Reza, yang saat itu merawatku di rumah sakit selalu mengucapkan hal itu.
"Semua wanita itu cantik, biarpun yang gemuk ataupun kurus. Yang salah itu mereka yang hanya melihat dari penampilan luarnya saja," lanjutnya.
Aku melongo mendengar ucapan Dokter yang mungkin usianya setara denganku itu. Baru kali ini aku mendengar ada laki-laki yang bilang kalau gemuk itu cantik.
"Jika seorang pria mencintai wanita hanya karena bentuk fisik, suatu saat nanti pasti akan menjadi benci karena fisik juga. Karena itulah suami Mbak Ningsih harus melihat kesempurnaan dari hati, bukan mata belaka. Tunjukkan kalau Mbak Ningsih bisa menjadi wanita sempurna tanpa harus terpaut penampilan fisik."
Ucapan Dokter Reza seketika mengubah pola pikirku. Benar juga, kenapa aku menyerah pada impianku hanya karena fisikku kini telah berubah? Wanita yang memiliki bentuk tubuh seperti ini, bukan hanya aku saja.
Jika tidak bisa mengubah bentuk tubuh, mungkin aku bisa mengubah hal lainnya. Dan mungkin bukan aku saja yang akan berubah, tapi jutaan wanita yang bernasib sama!
.
.
.
Aku masih berjalan di sepanjang trotoar, ketika meninggalkan rumah Mama mertua. Keringat mengalir deras, apalagi sambil menggendong Vian. Badanku mulai gemetar, sepertinya aku sudah tidak sanggup lagi berjalan.
Saat itulah, sebuah mobil terlihat berjalan melambat di sampingku. Cukup lama, hingga akhirnya berhenti di depanku. Aku mengerutkan kening saat pintu mobil itu terbuka, dan otomatis mundur beberapa langkah. Aku takut itu orang jahat yang mau berniat buruk.
"Mbak Ningsih?"
Aku tertegun ketika melihat Dokter Reza keluar dari mobil itu. Kenapa kebetulan sekali aku bertemu dengannya di tengah jalan seperti ini?
"Mau ke mana, Mbak? Kenapa jalan kaki panas-panas seperti ini?" tanyanya lagi.
Aku enggan menjawab. Mana mungkin kukatakan padanya kalau aku baru saja bertengkar dengan keluarga suamiku? Meskipun mereka memperlakukanku dengan buruk, aku bukan tipe orang yang suka mengumbar masalah keluarga, apalagi pada orang yang baru kukenal.
"Saya mau pulang, Dokter," jawabku kemudian dengan suara pelan.
Kening Dokter Reza terlihat berkerut, mungkin sedikit bingung dengan keadaanku.
"Kalau begitu biar saya antar pulang," tawarnya kemudian seraya membuka pintu mobil.
"Tidak usah, Dokter. Sudah dekat," tolakku halus, karena tidak ingin merepotkan.
"Ayolah, Mbak. Saya tidak bermaksud buruk, hanya kasihan pada anak Mbak," ucapnya lagi.
Aku terdiam mendengar ucapan Dokter Reza. Matahari memang amat terik, dan perjalananku masih jauh. Aku juga tidak membawa uang sama sekali. Vian dari tadi juga rewel terus.
"Mbak Ningsih bisa duduk di belakang. Kasihan anak Mbak," ucap Dokter Reza sekali lagi.
Aku menarik napas panjang, dan akhirnya terpaksa menerima tawaran darinya. Aku memasuki mobilnya dengan perasaan tidak enak. Dokter Reza menyalakan mesin, dan mobilpun perlahan berjalan menembus udara yang semakin panas saja.
"Bagaimana kondisi kesehatan Mbak Ningsih?" tanya Dokter Reza di tengah perjalanan.
"Baik, Dok," jawabku singkat.
Dokter Reza sudah tidak bertanya apapun lagi setelah itu. Mungkin karena melihat aku kurang nyaman dan terus menatap ke luar jendela. Aku hanya memberitahu ke arah mana jalan menuju rumah saat dia bertanya, lalu selebihnya kami hanya saling diam.
"Terima kasih sudah mengantarkan saya, Dokter," ucapku ketika kami sampai di depan rumah. Tentu saja aku tidak berani menawarinya untuk mampir. Apa kata orang nanti jika melihatku memasukkan pria asing ke rumah saat suamiku tidak ada?
"Sama-sama, Mbak. Saya harus kembali ke rumah sakit sekarang," jawabnya seraya tersenyum.
Dokter Reza memasuki mobilnya kembali, lalu perlahan meninggalkanku yang masih berdiri di luar pagar. Setelah mobilnya menghilang ditelan tikungan, aku membalikkan badan dan masuk ke dalam halaman rumah.
Vian langsung tertidur setelah kususui, dan akupun menyandarkan tubuhku sejenak di samping tempat tidur. Jika biasanya aku langsung menggunakan kesempatan seperti ini untuk mulai membereskan pekerjaan rumah yang menumpuk, kali ini aku sama sekali tidak punya keinginan untuk melakukannya.
Aku menatap kosong ke arah jendela kamar yang terbuka. Tubuh dan pikiranku teramat lelah. Bahkan untuk menangispun aku sudah tak sanggup. Sampai kapan aku bisa bertahan seperti ini?
Aku membuang napas berat, lalu bangkit dari tempatku. Aku membuka laci meja rias dan mengambil gawai yang tak pernah kusentuh sejak masuk ke rumah sakit.
Saat menyalakan layarnya, netraku membola. Ribuan pesan masuk dari sosial media milikku. Baru aku ingat, aku sempat membuat tulisan pendek mengenai berat badan seorang wanita.
"Apakah Gemuk itu Dosa?"
Begitulah judul artikel yang aku tulis. Aku juga memposting beberapa model gaun big-size hasil rancanganku sendiri. Tak disangka, respon mereka luar biasa. Entah berapa ribu wanita yang bernasib sama mengenai berat badan sepertiku, dan mendukungku dengan sepenuh hati. Bahkan ada ratusan pesan masuk, ingin memesan gaun-gaun berukuran plus-plus hasil rancanganku itu.
Jantungku berdegup kencang, dan aku bersyukur bukan main. Mungkin ini adalah jawaban atas kesabaranku selama ini. Ya Allah, tak sabar rasanya ingin memberitahu hal ini pada Mas Dicki.
Saat itu juga semangatku seperti bangkit kembali. Aku cepat-cepat membersihkan diri, lalu mulai berkutat di dapur. Aku yakin hari ini Mas Dicki akan pulang. Dia tidak akan tega membiarkanku di rumah sendirian dengan Vian.
Aku dengan semangat memasak makanan dengan bahan yang ada di dalam kulkas. Saat semuanya sudah siap, terdengar suara mobil Mas Dicki berhenti di halaman depan. Lagi-lagi aku mengucap syukur dengan harapan baru yang sudah Allah beri hari ini.
"Mas, Alhamdulillah Mas akhirnya pulang," sambutku dengan hati bahagia ketika melihatnya memasuki rumah.
Mas Dicki menatap ke arahku dengan tatapan tak biasa. Ada amarah di sana.
"Bagus kamu, ya? Jadi ini alasan kenapa kamu buru-buru pulang dari rumah Mama?" ucapnya.
Senyum yang dari tadi mengembang di wajahku seketika menghilang. Aku menatapnya dengan bingung.
"Apa maksudmu, Mas?" tanyaku.
"Lihat ini! Coba kamu lihat!"
Mas Dicki menunjukkan layar gawainya padaku. Terlihat di sana fotoku sedang memasuki mobil Dokter Reza, sementara Dokter Reza membukakan pintu mobil untukku. Badanku seketika gemetar melihatnya.
"Nella melihatmu bersama dokter itu saat dalam perjalanan pulang! Ternyata benar, selama ini kamu selingkuh dengan Dokter itu!"
"Mas! Kamu salah paham!" ucapku lagi padanya.
"Sudahlah, Ningsih! Aku menyesal menikahi kamu! Ternyata memang benar kata Mama, wanita sepertimu tidak akan pernah bisa membuatku bahagia!"
"Mas!" Aku tak tahu lagi bagaimana harus menjelaskan apa lagi padanya.
Apapun yang aku katakan, Mas Dicki tidak mau mendengarnya. Dia bahkan menatap garang padaku, dan akhirnya berteriak,
"Mulai hari ini, kutalak kamu, Ningsih! Kamu sudah tidak pantas lagi menjadi istriku!"