AKU (BUKAN) ISTRI BENALU 3
Kuletakkan kembali ponselku di atas nakas. Setelah dua jam menatap layarnya akhirnya selesai juga tugasku mengetik satu bab cerita. Meski tidak kupungkiri pikiranku menjadi kacau dan tak tenang setelah mendapat informasi tentang mas Zaki dari temanku Nina.
Kuselesaikan tugasku berikutnya sebagai ibu rumah tangga yaitu mencuci baju dan memasak.
***
Aku terbangun ketika teleponku berdering. Lumayan sudah sepuluh menit terpejam karna ketiduran setelah salat zuhur tadi, kini tubuhku kembali segar kembali.
"Zi, lagi-lagi gue lihat suami Lo makan siang di restoran yang sama di tempat gue makan," suara Nina begitu menggebu di sebrang sana tanpa basa-basi lagi.
Aku diam dan masih mencerna semua ucapannya.
"Sebentar ya, gue video call biar Lo lihat juga."
Sejenak kemudian panggilan suara itu berubah menjadi video yang terpampang di layar ponselku. Nina menghadapkan kamera ponselnya ke arah meja makan bang Zaki.
Aku membekap mulutku ketika kedua netraku menangkap sosok yang sangat kukenal itu sedang duduk bersebelahan dengan seorang wanita cantik berambut panjang sambil menyantap makanannya.
Aku dapat membaca binar keceriaan yang terlihat nyata dari raut wajah suamiku itu meski hanya lewat media kamera ponsel saja tanpa melihatnya secara langsung. Berbeda ketika ia sudah pulang kerja dan berada di rumah. Beberapa waktu ini ia sering tak jelas marah-marah padaku dan banyak alasan jika kumintai pertolongan. Padahal sebelumnya ia adalah pribadi yang menyenangkan dan ringan tangan.
Apakah salah jika aku selalu bersikap manja ketika ia ada di rumah? Seperti kemarin misalnya aku minta tolong untuk memasang regulator gas ia malah marah padaku.
Kamera ponsel kembali pada wajah Nina. "Bentar, Zi. Mereka udah mau pergi. Gue coba ikutin mereka ya."
"Ya, secepatnya kasih tahu gue lagi ya, Na," pintaku pada Nina.
Setengah jam berlalu dan menunggu Nina menghubungiku lagi dengan perasaan tak karuan akhirnya ponselku berdering lagi.
"Zia, mereka masuk ke lobi hotel tuh," ucap Nina sambil mengarahkan kamera ponselnya ke dua orang yang sedang berjalan sambil berangkulan.
"Bang Zaki," gumamku pelan. Kugigit bibirku, dadaku terasa nyeri membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sambungan telpon ku dengan Nina belum terputus, hanya saja kamera ponselnya mengarah ke sembarang arah.
"Mereka masuk kamar hotel, Zi."
Seketika air mataku luruh dan tangisku langsung pecah. Semudah itukah suamiku mengkhianati pernikahan yang sudah kami rajut tiga tahun lamanya?
"Nah, jangan diam aja Zia. Mendingan Lo minta cerai aja dari dia. Maaf ya, bukannya maksud gue untuk menggurui. Tapi biasanya kata orang kalau suami selingkuh itu seperti sedang pakai narkoba. Akan ketagihan terus dan melakukannya lagi dan lagi."
"Makasih ya Na, atas informasinya."
"Ya, sama-sama. Gue gemas aja gitu Zi, suami lo ngelarang Lo bekerja setelah nikah. Eh, yang Lo dapetin malah begini kenyataannya. Gue turut sedih Zia. Semoga Lo bisa ambil keputusan yang tepat ya. Sori ya, gue mau lanjut ke kantor lagi sekarang."
Kututup sambungan telpon ku dengan temanku Nina.
Aku menghapus air mata yang sudah terlanjur membasahi kedua pipiku. Lalu kutekan nomor bang Zaki. Kali ini tersambung, tapi sampai kuulangi tiga kali meneleponnya, ia tak juga mengangkatnya.
Bersambung
Login untuk melihat komentar!