"Terus apa langkah kamu selanjutnya, Zia?" tanya Nina.
"Kita lihat saja nanti apa keputusan bang Zaki. Jika ia menceraikanku, aku sudah sangat siap," jawabku.
Tak terasa mobil Nina sudah sampai di parkiran rumahnya. Aku sengaja mampir dulu ke rumahnya untuk menjenguk Azka--anaknya yang sedang demam.
Dari pintu depan, asisten rumah tangga Nina sudah membukakan pintunya sambil menggendong anak berumur satu tahun yang menggemaskan itu, siapa lagi kalau bukan Azka.
Nina langsung memeluk erat dan menggendong Azka. Kening anak itu ditempeli dengan kompres penurun demam.
Kuelus pipi mulus anak itu. Memang cukup panas saat kusentuh.
"Lekas sembuh ya, Azka sayang."
***
Bang Zaki membuka pintu depan dengan pelan. Sudah pukul dua belas malam sekarang, aku sengaja masih berjaga sampai ia pulang.
"Lho, kamu belum tidur Zia?"
Aku hanya mengangguk untuk menjawabnya. Kusalimi punggung tangannya dan mengambil alih tas kerjanya dari tangannya.
"Bagaimana lemburnya?" tanyaku kemudian.
Bang Zaki tampak salah tingkah. Ia dengan cepat menukar pakaiannya dengan pakaian tidur.
"Lelah sekali, Zi. Bos yang baru akan selalu menyuruhku lembur."
"Oh, ya?" tanyaku antusias. Kami sudah siap tidur sekarang.
"Hu'um. Sekarang aku mengantuk. Besok harus berangkat kerja lagi pukul 6."
"Apa ada yang kamu sembunyikan?" tanyaku lagi. Kutatap wajahnya dengan seksama.
Bang Zaki nampak cukup terkejut dengan pertanyaanku barusan. Ia mendelik. "Apa maksudmu, Zia?"
Aku mengulas senyum.
"Ada yang ingin kubicarakan. Bisa minta waktunya sebentar?" tanyaku. Kusandarkan punggung di bagian atas kasur yang menempel dengan dinding kamar.
"Apa lagi? Butuh uang belanja tambahan? Mau minta tolong apa?" Nada suara bang Zaki mulai meninggi. "Sudah kubilang aku lelah. Aku ingin tidur sekarang! Bisamu hanya menyusahkanku saja!"
Kuhela napas untuk mengatur emosiku. Seharusnya 'kan aku yang berhak marah sekarang. Mengapa ini terbalik?
Sepertinya suasananya belum memungkinkan untuk bicara sekarang. Sudah terlalu malam dan besok bang Zaki harus kembali bekerja.
***
Sudah sejak beberapa hari ini aku tidak pernah lagi mengandalkan bantuan dari bang Zaki. Semua pekerjaan kukerjakan sendiri. Aku bukanlah benalu seperti yang ia katakan.
Memasang gas, mengganti galon air minum, bahkan memotong rumput depan rumah dan membetulkan atap yang bocor.
Sedari pagi sudah kukatakan padanya agar bisa pulang cepat. Aku ingin bicara dengannya. Semoga hari ini ia mendengarkanku dan tidak pergi dengan wanita itu.
Hari ini aku memasakkan masakan kesukaan bang Zaki. Jika ia lebih memilih wanita itu, mungkin ini menjadi masakan terakhir dariku untuknya.
Ada wanita yang memilih untuk mendatangi selingkuhan suaminya dan bicara empat mata sebagai sesama perempuan serta memohon agar selingkuhannya itu mau meninggalkan suaminya.
Opsi itu tidak akan pernah kulakukan. Karna jika aku melakukannya. Sama artinya aku menjatuhkan harga diriku di depan wanita itu. Aku adalah wanita elegan. Tidak akan kubiarkan orang lain merendahkanku hanya gara-gara ingin mempertahankan pernikahanku.
***
Sudah pukul sembilan malam sekarang tapi bang Zaki belum juga pulang. Kuhubungi ponselnya tetapi tidak aktif. Lelaki itu benar-benar mengabaikanku rupanya.
Kuhangatkan kembali masakan yang tadi siang ku masak. Setelah itu kutunggu lagi ia di meja makan. Aku akan menunggunya sampai ia pulang nanti.
"Zia, bangun! Malah tidur di meja makan?" bang Zaki mengguncang tubuhku. Aku ketiduran di atas meja makan karna kelamaan menunggunya pulang.
Aku mengerjapkan mataku. Bang Zaki duduk di sebelahku.
"Maaf, Zia. Aku lembur lagi hari ini tanpa sempat mengabarkanmu."
Kuusap wajahku perlahan. Lembur? Lembur bersama si Alea itu 'kan?
"Ya sudah, mari kita bicara," ucapku pelan. Padahal aku sedang menahan perasaan yang sedang bergejolak di dalam dada. Tapi sebisa mungkin aku bersikap tenang menghadapinya.
Lelaki itu mencondongkan tubuhnya ke arahku. Ia menatapku penuh tanya. "Ada apa sih, memangnya? Uang belanja kurang? Makanya jangan boros-boros jadi istri! Kamu 'kan enak di rumah tidak ngapa-ngapain. Sedangkan aku lelah seharian bekerja."
"Kamu berhubungan lagi 'kan dengan Alea?" Kali ini aku sudah tidak tahan lagi.
Bang Zaki terperanjat.
"A--Apa mak--maksud kamu, Zia?" tanyanya dengan tergagap.
"Aku sudah tahu semuanya." Kutelan saliva dengan susah payah. Tenggorokanku rasanya tercekat.
Bang Zaki terdiam kemudian tertawa. Entah apa yang ia tertawakan.
"Lalu apa maumu, Zia? Syukurlah kalau kamu sudah mengetahuinya."
"Kamu masih ingin terus berhubungan dengannya? Atau mau memperbaiki pernikahan kita? Aku akan memberimu kesempatan jika kamu mau meninggalkan wanita sekarang." ucapku sambil menatapnya tajam memberinya pilihan.
"Ha ha ha." Tawa bang Zaki semakin kencang. Entah apanya yang lucu. Jelas-jelas aku sedang bicara serius dengannya sekarang.
"Jadi kamu memintaku untuk memilih?"
Aku diam. Mataku tiba-tiba saja mengembun. Tapi sekuat tenaga kucoba menahannya agar tidak terjatuh. Aku sudah memperhitungkan kemungkinan terburuknya sejak hari itu, hari pertama saat kutahu suamiku berselingkuh.
"Jelas aku memilih Alea. Dia lebih segala-galanya darimu. Kamu tidak ada apa-apanya jika harus dibandingkan dengan dia. Aku menikahimu karna terpaksa saja, kedua orang tuaku menuntutku agar segera menikah."
Deg!! Seperti terhujam belati saat aku mendengar alasan dibalik dia menikahiku. Hanya karna tuntutan orang tuanya?
"Sekarang kamu mau apa? Gantian aku yang akan memberimu pilihan. Kamu mau dimadu atau mau aku ceraikan? Karna teranyata kamu juga sudah tahu hubunganku dengan Alea, maka secepatnya aku akan menikahi dia, dengan atau tanpa persetujuanmu."
Aku meremas pakaianku kuat-kuat. Kupejamkan mata sesaat, lalu saat kubuka mata aku sudah siap dengan semuanya.
"Jadi kamu pilih yang mana? Dimadu atau kuceraikan, hah?" tanyanya lagi.
Kutelan saliva sekali lagi, sambil menatap kedua mata bang Zaki.
"Aku ... aku memutuskan untuk ...."
Bersambung