PoV Zaki
"Jadi kamu pilih yang mana? Dimadu atau kuceraikan, hah?" tanyaku lagi.
Zia menatap kedua mataku lekat-lekat. Aku yakin dia tak akan berani macam-macam dan tak akan mungkin mau untuk kuceraikan. Pasti dia akan menerima keputusanku untuk menikah lagi dengan Alea. Istriku ini memang istri yang lemah dan selalu bergantung padaku. Mana mungkin ia bisa jauh dariku?
"Aku ... sekarang aku memutuskan untuk kamu ceraikan saja. Silakan talak aku sekarang, Bang," jawabnya mantap. Sungguh jawabannya di luar dugaanku. Berani-beraninya ia memutuskan untuk meminta cerai.
"Baik, jika itu keputusanmu akan aku ceraikan kamu. Zia Anggraini, mulai saat ini kamu aku talak," ucapku lantang. Harga diriku akan kupertahankan, sebenarnya aku merasa kehilangan. Tapi aku yakin lebih memilih Alea. Dia segalanya bagiku sekarang.
Zia menganggukkan kepalanya. Tak sengaja aku melihat air bening jatuh dari sudut matanya. Namun dengan cepat ia menghapus dengan punggung tangannya sebelum air itu mengalir membasahi pipinya.
Setelah itu ia melangkahkan kaki dengan pelan menuju ke dalam kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi.
Aku mengusap wajahku. Sebuah keputusan besar telah terjadi malam ini. Istriku yang telah menemaniku bertahun-tahun tanpa pernah mengeluh sedikit pun tentangku itu kini sudah kuceraikan.
Kuputuskan untuk tidur di sofa malam ini. Aku sungguh tidak sabar untuk mendaftarkan perceraianku di pengadilan agama dan segera bersanding dengan Alea-ku.
***
Pagi ini aku bangun kesiangan, biasanya aku selalu dibangunkan oleh Zia tiap pagi, tapi kali ini tidak. Sudah pukul 6 lewat sekarang. Alea pasti akan marah kalau aku terlambat menjemput nya.
Aku memindai isi ruangan, masih sepi dan semua lampu masih menyala padahal matahari sudah mulai terbit di ufuk timur. Biasanya Zia sudah mematikan semua lampu dan menyibak semua gorden.
Pintu kamar juga masih tertutup rapat. Apakah wanita itu masih tidur karna menangis semalaman? Biasanya 'kan wanita bisanya hanya menangis saja. Sungguh lemah sekali dia!
Kulangkahkan kaki menuju kamar untuk mengambil pakaian kerjaku yang ada di dalam lemari kamar.
Baru saja aku ingin mengetuk pintu, aku dikejutkan karna tiba-tiba pintu itu dibuka dari dalam oleh Zia.
Tumben sekali pagi ini ia sudah rapi. Mau ke mana dia sepagi ini? Tapi aku enggan untuk menanyakannya, itu bukan urusanku lagi sekarang. Ia sudah aku ceraikan. Dan dia juga sudah tidak berhak lagi mengurusi hidup ku.
Zia melewati ku tanpa sepatah kata pun. Kuikuti langkahnya yang berjalan ke arah dapur sekarang. Lalu gegas aku masuk ke kamar mandi dan mandi sekenanya saja karna sudah kesiangan.
Untuk kesekian kalinya aku terkejut karna pakaian kerjaku tidak ada di dalam lemari. Dikemanakan pakaian kerjaku?
Sial!! Padahal aku sudah kesiangan sekarang.
"Zia!! Zia!!" teriakku dari dalam kamar.
Namun wanita itu tidak menghampiriku atau menyahut panggilanku.
Terpaksa aku yang menghampirinya yang sedang asyik sarapan roti bakar di meja makan.
"Di mana baju kerjaku?" tanyaku lantang.
Zia hanya mengkode dengan kepalanya menunjuk ke arah tempat cuci jemur sekaligus tempat menggosok yang terletak bersebelahan dengan dapur di dekat halaman samping rumah.
Gegas aku berjalan cepat menuju ruangan itu. Aku sungguh terkejut ternyata pakaianku belum disetrika oleh Zia. Semua pakaian kerjaku kusut semua.
"Zia!!" teriakku lagi. Namun lagi-lagi ia tak mengindahkan panggilanku.
"Baju kerjaku belum ada yang digosok?" tanyaku lagi.
Namun wanita itu hanya mengangguk sambil mengunyah roti bakarnya, lalu meneguk teh hangat.
"Kenapa belum digosok? Aku kerja pakai baju apa? Hah?!" Suaraku makin meninggi sekarang. Aku sangat kesal padanya.
"Akhir-akhir ini aku sibuk membuntutimu. Jadi aku tak sempat menyetrika pakaianmu. Silakan kamu setrika sendiri, urus diri masing-masing."
Aku mengepalkan tangan dan merasa geram. Aku seperti tak mengenal Zia lagi. Dia langsung bersikap dingin padaku. Di mana Zia yang selalu penurut itu?
"Aku mau keluar rumah sebentar." Zia berdiri dari duduknya.
"Oh ya, kapan kamu mau meninggalkan rumah ini?" tanyanya menantangku.
"A--Apa?" aku gelagapan. Jadi dia langsung mengusirku sekarang?
"Ingat ya, Zaki. Surat rumah ini atas namaku. Jadi rumah ini otomatis jadi milikku."
Aku mencebik dan tertawa lebar.
"Ha ha ... ambil saja rumah ini. Toh nanti aku akan tinggal di rumah Alea," ucapku jumawa.
"Untuk urusan mobil itu juga menjadi hakku. Mobil itu dibeli setelah kita menikah dan ada sejumlah uang hasil pesangonku di sana," balas Zia.
"Okay! Mulai hari ini aku akan menggunakan motor ke kantor. Asal kau tahu, Zia. Aku pasti sanggup membeli mobil yang baru dan lebih bagus!" ujarku padanya.
"Nanti malam aku akan membereskan semua pakaianku dan segera angkat kaki dari sini," imbuhku lagi.
"Bagus!" Zia lalu berjalan meninggalkan ku yang masih bergeming di sini.
Aku masih bergeming di tempatku. Saat kutatap wajahnya, mengapa ia tidak kelihatan habis menangis?
Entahlah. Aku tidak peduli. Aku kembali berjalan untuk menggosok pakaianku. Sial, kenapa semuanya kusut begini? Apa Zia sengaja melakukannya?
Ya Tuhan, aku sudah lama tidak menyetrika pakaian dan sudah lupa bagaimana caranya. Biasanya Zia yang melakukan semuanya untukku dan aku tinggal menerima beres saja.
Selesai berpakaian aku duduk di meja makan untuk sarapan. Namun saat aku membuka tudung saji di hadapan, nyatanya hanya ada makanan sisa semalam.
Ternyata Zia hanya membuat sarapan untuk dirinya saja tanpa membuatkan untukku.
Ponselku berdering, aku mengusap layar dan menerima panggilan dari Alea-ku dengan cemas.
Benar saja dugaanku. Alea merajuk di telepon karna aku terlambat menjemputnya hari ini.
Bersambung