[Dek, ayolah. Mas pinjam dulu uangmu, nanti Mas ganti!]
[Sila! Jangan egois, aku ini suamimu."
[Lihat pesan dariku Sila, aku yakin kau belum tidur."
Aku menghela napas berat tatkala membaca pesan dari Mas Erlan. Pesan ini dikirim tepat jam 00.20, ya biasanya aku belum tidur di jam-jam segitu, akan tetapi semalam pelopak mataku sangat berat. Jadi, aku memutuskan untuk tidur saja.
Dan pagi ini, saat iseng-iseng membuka ponsel, aku benar-benar terkejut tatkala disuguhkan dengan notifikasi di dalam ponsel yang lumayan banyak.
Empat puluh lebih panggilan yang sama dan ada sekitar sepuluh pesan dari Mas Erlan yang membahas hal yang sama.
Kurasa dugaanku benar. Mas Erlan bukan pria yang terlahir dari keluarga kaya. Lihat saja caranya meminta uang padaku, seolah ia mengemis.
Dulu dengan bodohnya aku percaya padanya. Setiap bulan aku selalu mengirimkan banyak uang ke rekeningnya. Mempercayai bahwa uang penghasilan dari toko dan rumah makan ia gunakan untuk orang tua dan adik-adiknya.
Tetapi, semakin hari aku semakin curiga, aku juga sering berpikir, apakah penghasilan dari toko sangat sedikit hingga tidak cukup ia menafkahiku? Padahal, ia pernah mengatakan bahwa toko dan rumah makan yang ia miliki lumayan besar dan terkenal.
"Ah, ternyata aku terlalu naif."
Aku menatap kembali ponsel itu sebentar, kemudian mengetik balasan untuk Mas Erlan.
[Ada apa, sih, Mas? Aku selamam ketiduran, dan sekarang baru bangun.] setelah selesai mengetik, langsung saja kukirim padanya.
Tidak berapa lama, pesan yang baru saja aku kirimkan tadi seketika centang biru, pertanda pesanku telah dibaca. Tumben sekali dia aktif di pagi-pagi begini.
Ah, atau mungkin ia tidak tidur karena menunggu balasan dariku? Sepertinya itu pemikiran yang bodoh dan tidak masuk akal.
Aku sungguh mengenal siapa Mas Erlan, sikapnya yang dingin dan hampir tidak tersentuh, bukan itu saja, kami hampir tidak pernah mengirim pesan atau saling menelepon di kala ia berada di luar kota, padahal jelas-jelas kami suami istri.
Sekarang aku sadar mengapa Mas Erlan tidak pernah bucin atau bersikap manis padaku, toh aku hanya dijadikan mesin atmnya saja. Benar-benar tidak bisa dibirkan. Aku ingin marah, akan tetapi aku harus menahanya. Harus ada bukti yang kuat yang menyatakan bahwa Mas Erlan selingkuh, jika tidak, mungkin tidak akan ada orang yang percaya dengan omoganku yang cuma-cuma ini, secara Kedua orang tuaku begitu mempercayainya.
Dan bahkan, saking percayanya orang tuaku pada Mas Erlan. Hampir saja Ayah menyerahkan usaha kostanku di kelola oleh pria itu. Akan tetapi, beruntung aku tidak setuju saat itu. Jika aku setuju kala itu, aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi sekarang. Mungkin ia akan merebut milikku.
[Kamu tega sekali padaku, padahal jelas-jelas aku membutuhkan uang. Sebenarnya apa yang kau pikirkan? Mengapa tiba-tiba kau menjadi begitu egois.] balasan dari Mas Erlan membuat keningku langsung saling bertautan serta jelas terlihat beberapa kerutan di sana.
[Egois bagaimana maksudmu? Aku tidak punya uang. Lagi pula bukan kah kau begitu kaya raya Mas? Lantas mengapa meminta uangku? Padahal jelas-jelas kau mengatakan bahwa kau bekerja di sana, apakah perkerjaanmu tidak digaji?]
Mungkin Mas Erlan mematung tatkala membaca pesanku ini, lihat saja, ini sudah lebih lima menit aku mengirimkan pesan itu padanya, namun tidak kunjung mendapatkan balasan, padahal jelas-jelas ia online dan pesanku centang biru.
[Mengapa kau jadi perhitungan? Sejak kapan kau berubah?] tanya pria itu dengan diakhiri emoji kecewa, hah, sejak kapan Mas Erlan jadi alay begitu? Serta ini seperti bukan dia yang mengetik pesan, karena biasanya Mas Erlan sering menyingkat kata menjadi sesingkat-singkatnya. Namun kali ini berbeda. Aku sangat yakin bahwa pesan ini diketik oleh orang lain.
[Alah, Mas jangan alay begitu, sudah lah aku ingin mandi, malas aku meladenimu.] setelah mengetik balasan, aku langsung mematikan ponselku dan meletakkannya asal.
***
Aku duduk di salah satu sofa yang terdapat di rumah Mbak Risma dengan santai, baru saja tadi kami selesai memasak. Jadi sekarang waktunya bersantai.
"Mbak! Suamimu kok nggak pulang?" tanyaku heran.
"Dia memang jarang pulang karena pelerjaanya Sil. Masa kamu nggak tau?" tanya Mbak Risma sambil terkekeh geli.
Ya, aku sedikit tau bahwa suami Mbak Risma bekerja di salah satu kapal. Tapi syukur lah, aku bisa tinggal di sini tanpa harus caggung dengan siapa pun.
Keadaan menjadi hening, entah angin dari mana yang membuat Mbak Risma seketika tertawa terbahak-bahak sambil melihat layar ponselnya. Apakah ada yang lucu di sana.
"Lihat status wa adik iparmu sekarang," kata Mbak risma membuat aku langsung mencari mencari namanya.
Seketika aku ikut tertawa melihatnya.
"Mampus, rasain! Makanya jangan main-main denganku," cibirku pelan.
Bersambung .….
Ada yang bisa tebak si adik ipar Sila posting apaan? Kalau komentar banyak, bentar lagi up part selanjutnya.