Part 4
[Sayang! Mengapa tidak membalas pesanku? Ayolah kirim sekarang uangmu, Mas butuh sekali.] 

Mungkin karena tidak kunjung mendapatkan balasanku atas pesan sebelumnya, Mas Erlan kembali mengirimkan pesan susulan.

Aku tersenyum menyeringai, sebutuh itukah kau padaku Mas? Atau hanya membutuhkan uangku saja?

Dulu aku dan Mas Erlan menikah sebulan setelah kami berkenalan, aku merupakan anak dari keluarga terpandang, bisa dibilang orang tuaku merupakan orang yang paling kaya di kampung.

Saat ingin menikah, jelas Ayah lebih dulu mempertanyakan Pekerjaan Mas Erlan dan bagaiamana keluarganya, karena mungkin belum tidak ingin putri semata wayangnya ini jatuh ke tangan pria yang salah.

Pada ayah, Mas Erlan mengaku bahwa ia seorang pengusaha muda, ia memiliki satu toko dan dua rumah makan yang terletak di luar kota, walaupun aku belum melihat dengan langsung, tapi entah mengapa aku percaya-percaya saja.

Jika Mas Erlan membohongiku dan keluargaku tetang itu, otomatis Keluarganya juga ikut serta dalam kebohongan itu.

"Sil, kok lo diam aja? Lagi mikirin apa, sih?" Mbak Risma menyentuh pelan tanganku sambil bertanya heran membuat lamunanku terbuyarkan.

Kutatap wajah wanita itu sebentar kemudian beberapa kerutan mulai terbentuk pada dahi ini.

"Kok aku curiga, ya Mbak?"

"Curiga? Curiga tentang apa?" tanya Mbak Risma.

"Aku curiga tentang pengakuan Mas Erlan pada orang tuaku. Ia mengatakan bahwa ia kaya, tapi apa buktinya? Ia malah memerasku." Mbak Risma menganggukan kepalanya cepat, serta terdengar helaan napas gusarnya.

"Mbak juga mikir gitu, Sil, soalnya bukan sekali dua kali lho dia minta uang ke kamu dengan jumlah yang banyak tapi dengan alasan yang tidak masuk akal," timpal wanita itu.

Aku sering menceritakan pada Mbak Risma tentang Mas Erlan itu sebabnya wanita yang duduk di sampingku ini banyak tahu kebenaran pria itu.

Ponselku berdering membuat percakapanku dengan Mbak Risma juga ikut terhenti. Aku melihat sekilas layar ponsel itu dan di sana jelas tertera nama Mas Erlan.

Hanya karena tidak membalas pesannya yang minta uang, ia langsung menelponku. Sebenarnya untuk apa uang itu?

"Sila!" Panggil pria itu di seberang sana dengan suara yang terdengar penuh kelembutan. Ya, aku yakin bahwa ini hanya pencitraan saja, bilang saja kau sedang membutuhkan aku.

"Ada apa Mas? Jika tidak penting aku tutup sekarang, soalnya ini sudah malam aku mengantuk," alibiku menancam akan menutup telepon akan tetapi Mas Erlan mencergahku dengan cepat dan suara yang terdengar panik.

"Sayang ayolah, kirimkan uang pada Mas, Mas benar-benar butuh sekarang. Mas sudah mesan makanan tapi tidak memiliki uang untuk membayarnya," jelas Mas Erlan lagi. Ia berusahan berbicara dengan nada panik seolah berniat meyakinkan aku, apa aku peduli dengan semua itu? Tidak! Jelas-jelas ia membohongiku.

"Saldoku sudah habis Mas," jawabku berbohong.

"Ah, tolong pinjam sama ayah atau ibumu dulu, Mas benar-benar butuh sekarang," desak pria itu lagi.

"Semua orang di rumah sudah tidur Mas, mengapa tidak kau hubungi kerabatmu saja?" tanyaku santai.

"Kau ini bagaimana, sih? Jelas-jelas kau adalah istriku, siapa lagi orang yang pertama aku hubungi jika bukan kau?" tanya Mas Erlan kesal.

"Ya, dikala susah saja kau menghubungiku," gumamku pelan.

"Apa yang kau katakan tadi?"

"Tidak ada," jawabku santai.

"Ah, menyebalkan," sahut pria itu lagi, ia tidak mematikan sambungan telepon, mungkin ia lupa.

"Bagaimana Erlan? Apa Sila mau memberikan uang?" 

Ya, itu suara ibu.

"Tidak Buk," jawab Mas Erlan.

Terdengar semua orang mengumpatku di seberang sana.

"Kita mau tidur di mana? Hotel mana yang mau menampung kita tanpa memberikan uang sepeserpun," tanya ibu membuat aku mengerti bahwa mereka sekarang kebingungan menginap di mana.

"Tidak punya uang, sok-soan mau liburan," desisku pelan sambil mematikan sambungan telepon.

"Lihat bagaimana hidupku tanpa aku Mas! Kau tidak lebih dari lalat yang berada di tampat sampah."

Bersambung ....