"Mampus, rasain! Makanya jangan main-main denganku," cibirku sinis.
Aku kembali memandangi status Wa Elsa, di mana ia memposting sebuah foto hamparan jalanan yang aku ketahui itu di mana serta di ikuti sebuah emoji sedih.
"Cepat banget pulangnya, ututu," ejek Mbak Risma kemudian kembali tertawa terbahak-bahak.
Lihat lah, bahkan mereka tidak bisa liburan tanpa campur tanganku, ah maksudnya tanpa uangku.
Aku masih sangat penasaran, siapa sebenarnya selingkuhan Mas Erlan, mengapa wanita itu mau dengan pria sepertinya?
[Lho kok balik lagi?] Sengaja' aku mengomentari status Elsa. Aku senang saja melihatnya kesal.
[Semua ATM ketinggalan.] Jawab Elsa membuat tawaku hampir pecah kembali.
[Oh.] Aku yakin bahwa tanggapan yang aku berikan mampu membuat Elsa kesal. Apakah aku peduli, tentu tidak.
Lagi pula salah sendiri bukan, mengapa berani bermain-main denganku, maka akan kuajarkan cara main yang sesungguhnya.
[Hanya Oh?] tanya Elsa dengan diakhiri emoji kecewa.
Beberapa saat kemudian pesan susulan darinya juga masuk. Aku langsung membukanya dan melihat apa yang gadis itu katakan.
[Kak, pinjam uangnya dong, nanti Elsa ganti. Janji!]
Seketika sudut bibirku tertarik ke atas membentuk sebuah seringai kecil, ia manggilku dengan sebutan Kak hanya di saat butuh saja. Oh Elsa Marselina, kau sama saja dengan abangmu itu. Sama-sama menyebalkan.
[Memangnya kamu ganti pake apa, El? Pake daun, cuci piring saja tidak bisa dari mana kau mendapatkan uang untuk mengganti uangku nanti?] Aku adalah pertama kalinya aku bersikap keras dan tegas padanya. Karena biasanya aku tidak pernah menolak permintaan gadis itu.
[Kok Kak Sila begitu, sih? Padahal El cuma mau pinjam uang doang, nanti diganti kok sama Bang Erlan. Lagi pula aku bukan orang lain lho kak, aku ini adik ipar kakak.] jelas Elsa panjang lebar. Dengan santai kuarahkan layar benda pipih itu pada mbak Risma, memberikan izin pada wanita itu untuk membaca pesan dari curut Elsa.
"Dih, pandai banget bicaranya, seolah-olah abangnya yang punya uang." Mbak Risma bergidik ngeri. Mungkin ia tidak habis pikir dengan manusia seperti mereka.
"Kesannya kayak ngemis tapi nyolot nggak sih?" tanyaku tidak habis pikir.
Beberapa menit kemudian bukan hanya Elsa yang menerorku, tapi ibu juga, mereka mengirim sebuah foto disertai sebuah pesan.
[Nak, bantu ibu, mobil kami mogok di jalan, kami benar-benar tidak punya uang sepeserpun.] Pesan dari ibu sambil disertai sebuah gambar mobil yang sudah tidak berdaya Itu. Ah, aku sungguh puas, bukan hanya mobil yang mendukungku tapi alam juga, ya di sana terlihat hujan lebat, tidak bisa kubayangkan bagaimana jadinya benalu-benalu itu.
[Jual saja emas ibu.] Aku menjawab sedemikian rupa sambil tersenyum puas.
[Lagian kalau nggak ada uang jangan soksoan liburan kali.] Aku juga membalas pesan dari Elsa.
Mungkin tidak ingin berdebat Lewat chatt akhirnya ibu memilih menelponku.
Sebenarnya aku malas mengangkat telepon darinya, tapi sudahlah, apa salahnya mempermainkan wanita itu dan membuatnya kesal.
"Ada apa Buk?" tanyaku santai, terdengar suara halaan napas di seberang sana yang disertai dengan suara hujan.
"Nak, mobil kami mogok di tengah jalanan sepi, kami ingin menghubungi mekanik tapi tidak memiliki uang sepeserpun," jelas ibu, nada suaranya terdengar bergetar seperti orang yang ingin menangis, entah aku aku Yang salah dengan entah ibu memang benar-benar ingin menangis.
"Yasudah jual saja emas-emas ibu, kan banyak itu," kataku lagi dengan nada santai seolah-olah tidak ada beban sedikitpun.
"Sila, ibu mohon kamu jangan egois, sekali ini saja bantu ibu." Jawaban ibu membuat keningku saling bertaut dan membentuk kerutan di sana.
"Ibu yang seharusnya jangan egois, di situasi seperti itu masih saja mempertahankan gengsi, Emas kalau di jual masih bisa dibeli kapan kapan, tapi kalau nanti ada bintang buas di sana, Sila tidak yakin jika kalian akan selamat," jelasku panjang lebar, ya, aku hanya berniat menakut-nakuti wanita itu, Karena memang saat ibu mengirimkan foto lokasi, jelas terlihat bahwa sekarang mereka sedang berada di jalanan sunyi yang dikelilingi oleh hutan dan pohon-pohon besar yang hampir mirip dengan pohon beringin, ah bukan hampir mirip tapi memang itu merupakan pohon beringin.
"Dan satu lagi, apa ibu bilang tadi? Sekali saja membantu ibu, ah, jelas dari pesan itu ibu seperti tidak sadar diri, jelas-jelas sejak awal menikah dengan anak ibu aku sudah sangat banyak membantu hanya saja tidak kalian sadari." Kata-kata yang keluar dari mulutku mampu membuat ibu terdiam seketika.
"Ok, ibu minta maaf jika salah dalam berbicara, tapi kirimkan dulu uangmu ya Nak," pinta ibu sedikit memohon.
"Tidak Buk, aku sedang tidak punya uang," alibiku mampu membuat helaan napas berat di seberang sana.
"Sila! Ayolah nak ibu mohon, tidak mungkin kamu tidak punya uang, orang taumu orang kaya." Ibu tidak menyerah sedikit pun.
"Ibu, ayolah, katanya ibu juga orang kaya, tapi kok ngemis-ngemis ke menantu?" Skakmat! Aku yakin wanita itu mati kutu.
Sambungan telpon langsung ia putuskan sepihak.
Tidak sabar melihat mereka pulang dalam keadaan basah kuyup.
Bagaimana pun alasannya, aku tidak akan pernah membiarkan mereka membohongiku lagi, cukup sekali.
Bersambung ....
Yok komen dan klik love ya.