"Memenganya ada apa? Kok tiba-tiba pulangnya? Apa suamimu sudah kembali dari luar kota?" Ibu bertanya sambil menatapku intens. Seperti ada kecurigaan besar yang terpancar dari kedua manik mata coklat itu. Ya, aku mengerti mungkin inilah yang disebut naluri seorang ibu.
Aku tersenyum meyakinkan sambil menggelengkan kepala pelan. Tidak enak jika aku menceritkan segalanya pada ibu, aku tidak ingin membuat wanita itu khawatir.
"Mbak Risma, Buk. Kasian dia tidak punya teman," alibiku dengan sebelah tangan mulai menyentuh peganggan pada koper itu. Mataku bahkan tidak berani menatap wajah yang dipenuhi keriput pada usianya yang mulai senja.
"Yasudah! Hati-hati di jalan."
Setelah mendapatkan izin dari wanita itu, aku menyalami tangannya dengan penuh takzim kemudian pamit dari sana.
***
Jarum jam dipergelangan tanganku menunjukkan tepat pada angka 9 malam. Aku sekarang berada di dalam taksi. Ya, memang sudah hampir 4 jam aku di sini dengan rasa bosan dan jenuh.
Akhirnya hal yang aku tunggu-tunggu terjadi juga. Aku sudah sampai tepat di depan rumah. Tanpa membuang-buang waktu, aku langsung turun dari sana dan mengambil koper kemudian menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribu pada bapak-bapak yang kira-kira sudah berkepala empat yang mengantarkan aku, tidak lupa aku mengucapkan terima kasih padanya.
Setelah taksi yang aku tumpangi tadi perlahan menjauh, aku menghela napas lega beberapa saat sebelum akhinya mendekati rumah yang sudah 2 bulan aku tinggalkan.
Ya, rumahku memang sedikit berjauhan dari rumah-rumah tetangga lainnya. Hanya dekat dengan rumah Mbak Risma itu sebabnya wanita itu mengetahui tentang kepulangan Mas Erlan.
"Sil!" Aku hampir saja terpelonjak kaget tatkala ada seseorang yang menepuk pelan pundak dan memanggil namaku.
"Mbak Risma! Bikin kaget aja," gerutuku sedikit kesal.
"Maaf-maaf! Kamu baru nyampe?" tanya wanita itu, mungkin berbasa-basi denganku.
Aku menganggukkan pelan kepala ini sambil kembali membuka gembok pada pintu. Akan tetapi mbak Sila menahan tanganku.
"Mending lo nyamar aja dulu, lo bisa tinggal di rumah gue untuk sementara waktu, biar Laki lo nggak tau kalau lo udah balik ke sini, dengan begitu, lo bisa ngumpulin semua bukti-bukti kebusukan dan penghianatan mereka." Saran Mbak Risma sambil menatapku cukup dalam.
Ada benarnya juga dengan apa yang dikatakan Mbak Risma! Lebih baik aku tinggal di rumahnya saja. Lagi pula terlalu terburu-buru jika aku lamgsung melabrak mereka. Lebih baik aku kumpulkan bukti-bukti yang kuat atas perselingkuhan Mas Erlan dan dengan perlahan pula aku menghancurkan nama dan membuat ia miskin.
Akhirnya aku mengangguk mengiyakan usulan dari Mbak Risma.
Wanita itu merangkul pundakku dan menuntun untuk berjalan ke rumahnya.
"Kok Mbak Risma balik ke sini? Bukannya Mbak katanya mau tinggal di rumah suami Mbak?" tanyaku penasaran.
Karena memang dua bulan yang lalu saat aku memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuaku. Mbak Risma juga memutuskan untuk pindah ke rumah suaminya.
"Rumah itu udah dijual, Sil, jadi satu minggu belakangan ini, aku tinggal di sini, dan mungkin Suamimu nggak tau kalau aku udah balik ke sini, jadi ia berani membawa wanita lain ke sini, karena mungkin pikirnya aku tidak di sini," jelas Mbak Risma membuat aku sedikit terkejut.
"Jadi Mas Erlan tidak tahu bahwa di sini ada mbak Risma, pantas saja ia berani membawa selingkuhannya."
Saat sedang asik berbincang-bincang dengan Mbak Risma. Tiba-tiba ponselku kembali bergetar menandakan ada sebuah pesan baru.
[Sayang, tolong kirimkan uang untuk Mas, soalnya lupa bawa uang, ini sedang di luar apartemen jadi malas balik ke sana lagi.]
Selalu saja begitu, ia selalu meminta uang padaku, padahal katanya ia kaya raya, tapi mengapa harus meminta uang pada istri.
Ya, selama ini aku menurut saja padanya akan tetapi sekarang tidak.
"Kenapa?" tanya mbak Risma mungkin saat menyadari perubahan raut wajah ini.
Aku langsung menunjukkan chatt itu padanya.
"Dia selalu minta uang sama lo, lo yakin kalau dia kaya, atau hanya bohong saja. Jaman sekarang banyak kejadian begitu, lho Sil. Ngakunya pengusaha nyatanya pengangguran."
Ucapan Mbak Risma mampu membuat aku berpikir beberapa saat.
"Benar juga, awas kau mas, jika kau berani berbohong padaku."
Bersambung