1. bab satu

Rahasia Suamiku

[Gue baru aja ketemu suami lo. Lo ada di Bali? Kok nggak bilang gue sih, kan kita bisa meet.]

Aku bingung membaca pesan yang dikirimkan Nayla temanku itu. Kuperhatikan berkali-kali memikirkan apa maksudnya. Jelas-jelas suamiku ada di Surabaya saat ini sedang dinas keluar kota diminta atasannya. 

[Suami siapa?] Balasku kemudian. Aku benar-benar tidak tahu apa yang dimaksud Nayla. Entah dia salah kirim atau bagaimana. 

[Astaga ... ya suami lo lah, Lis! Pake nanya! Mana rapi banget lagi pakaiannya.] Tak lama datang balasan dari Nayla. 

[Gue ketemu di hotel baru aja.] Belum sempat membalas, datang pesan susulan dari Nayla. 

[Ah, salah liat kali. Mas Arkan ada di Surabaya lagi dinas. Dua hari lalu berangkat.] Balasku. 

Aku tak yakin dengan ucapan Nayla. Mungkin saja dia salah lihat. 

[Yakali! Hey, gue juga kenal kali sama Arkan.] Balasnya lagi. 

Nayla memang begitu orangnya. Kalo bicara suka bar-bar dan ceplas-ceplos. Tidak pernah kalem. 

Nayla adalah tetangga sebelah rumahku, hanya saja dia dan keluarganya berlibur ke Bali sejak dua Minggu lalu. Tentu saja dia sangat kenal dengan Mas Arkan suamiku dan benar apa yang dia bilang, dia tidak mungkin salah orang. 

Yang kutahu awalnya Nayla dan keluarga berencana liburan ke Malang, tetapi entah kenapa tiba-tiba saja dia mengabari kalau sudah tiba di Bali. Jadi yang orang-orang tahu Nayla dan keluarganya liburan di Malang. 

[Eh, bentar deh, Lis. Itu kok suami lo nikahan bukan sih?] Pesan dari Nayla kembali datang, yang membuat jantungku berdebar. 

Aku meneguk ludah getir membaca sepenggal kalimat yang Nayla kirim. Aku yakin ini tidak mungkin. 

[Jangan ngaco ah!] Balasku singkat. 

[Njir! Bener, Lis. Dia ngadain pesta pernikahan di hotel tempat gue. Coba gue video call, ya.]

Aku belum sempat membalas, masuk panggilan video call dar Nayla. Dengan degup jantung yang berpacu hebat, aku menekan tombol hijau di ponsel. 

Aku membekap mulut dengan tangan ketika di layar ponsel terlihat jelas bahwa Mas Arkan sedang berjalan di altar menuju pelaminan. Pernikahan outdoor bernuansa putih yang sangat indah dan menawan. 

Aku tidak bisa berkata-kata melihat apa yang kulihat di depan mataku sendiri meski melalui layar ponsel. 

Meski jarak pengambilan video call itu cukup jauh dari Mas Arkan, aku tetap bisa mengenali suamiku dari gestur tubuhnya, cara jalannya dan bagaimana dia tersenyum. 

"Lis, are you okay?" tanya Nayla cemas. Aku tidak menyahut. Lidahku kaku. 

Entah siapa si pengantin wanita. Aku tidak bisa mengenali karena wajahnya tertutup kain putih. 

Mas Arkan tampak gagah dengan pakaian putih gading yang melekat di tubuhnya, membuatku mengingat momen lima tahun yang lalu pernikahan kami dahulu. 

"Lis, gue tutup ya. Lo tenangin diri lo," ujar Nayla. Video call pun dimatikan tanpa dia menunggu persetujuanku. 

[Lis, maaf video call-nya gue tutup. Gue takut lo kenapa-kenapa.] Nayla mengirimkan pesan. 

[Iya, Nay.] Balasku singkat. 

Aku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat barusan. Aku yakin itu bukan Mas Arkan. Dia tidak mungkin tega sejahat ini diam-diam menduakanku bahkan menikah lagi. 

Aku yakin ini tidak mungkin. 

Aku menghubungi nomor Mas Arkan tetapi tidak ada jawaban. Ponselnya dimatikan. Aku makin kalang kabut sendirian di dalam kamar. 

Dadaku terasa begitu nyeri. Aku tidak bisa lagi mengelak dari pernyataan. Mas Arkan benar-benar sudah menikah lagi dan menduakanku. 

Apa salahku? Hubungan kami selama ini baik-baik saja. Kami tidak sedang ada masalah. 

Cuaca yang terang damai seolah ada badai besar yang datang dan memporak-porandakan hatiku. 

[Mas, kamu ada di mana? Aku telpon kok nggak dijawab-jawab.] Aku nekat mengirim pesan. 

Sekian menit menunggu dengan cemas tetapi tidak ada balasan. 

[Lis, ini kok suami lo nikah pake pemberkatan segala kan dia muslim?] Datang pesan dari Nayla disusul sebuah video yang memperlihatkan Mas Arkan dsn seorang wanita sedang melakukanya pemberkatan pernikahan yang dipimpin oleh pendeta.

Aku makin tak percaya dengan apa yang kulihat. Saat hendak membalas, tiba-tiba terdengar teriakan ibu mertua dari luar kamar. 

"Lis, ayo bantuin jagan cuma tidur dan rebahan doang bisanya!" teriaknya dari luar kamar.

Aku menghela napas. Padahal aku baru saja istirahat lalu melihat pesan dari Nayla. Sejak tadi pagi aku justru di dapur, karena ibu mertuaku sedang mengadakan syukuran entah dalam rangka apa. 

"Iya, Bu," sahutku. Aku menghapus air mata yang tersisa dan mencoba mengatur napas. Aku tidak mau ibu mertuaku bertanya kenapa aku menangis. 

Aku juga tidak mau memperdebatkan ini dulu sebelum Mas Arkan pulang dan dia mengatakan sebenarnya. 

Sakit hati? Tentu saja. Hatiku remuk tak berbentuk mengetahui ini semua. Tapi aku tak ingin gegabah. Semua ini harus jelas terlebih dahulu baru aku bisa mengambil keputusan. 

***

[Maaf, Sayang. Aku baru selesai meeting. Oh iya, sepertinya aku akan lebih lama di Surabaya karena bos memintaku untuk mengurusi beberapa hal terlebih dahulu.]






Komentar

Login untuk melihat komentar!