Dinner

Seperti biasa jangan lupa follow, subscribe, rate bintang☆5, tap love. Terima kasih🙏🙏

Tangan gemetar, melihat foto pada pesan tersebut, emosiku hampir tak terkendali. Aku harus kuat, aku mencoba menahan emosi sampai semua bukti benar-benar terkumpul. Kejutan ulang tahun malam ini harus tetap berjalan.

Aku berusaha bersikap biasa dan seolah baik-baik saja. Handphone Bang Barry segera aku kembalikan ke tempat semula, agar dia tidak curiga. Saking terburu-burunya aku lupa mengecek m-banking dari handphone abang.

Aku menyalakan lampu kamar, kemudian menyanyikan lagu happy birthday sambil membawa kue ulang tahun yang sudah aku sediakan sejak siang tadi.

"Happy birthday, Abang ... happy birthday abang ... happy birthday ... happy birthday ... happy birthday abang ...."

Bang Barry membuka selimut yang menutupi hampir seluruh tubuhnya, dia mengucek matanya beberapa kali, dia tersenyum padaku lalu meniup lilin- lilin di atas kue yang kubawa.

"Terima kasih, Sayang," ucap abang sambil memeluk dan menc*um keningku.

Aku hanya mengangguk sambil memasang senyum semanis mungkin. Sungguh ... harus berakting seperti ini membuatku tak nyaman.

"Kamu ini memang selalu penuh kejutan, satu-satunya cewek romantis yang membuat aku luluh," ucap abang.

Enek rasanya mendengar gombalan abang, setelah melihat foto pada pesan di hanphone abang tadi rasanya cintaku pada abang hampa.

Kue ulang tahun minimalis itu abang potong lalu abang suapkan padaku.

"Untuk istri abang tercinta." Abang kembali menci*mku.

Beberapa kali Abang mengabadikan momen yang seharusnya romantis ini. Sebagai pasangan muda kami berdua memang kadang sedikit alay, suka posting-posting foto kemesraan kami di sosmed. Namun, setelah semuanya terbukti nanti sepertinya aku akan menghentikan kebiasaan unfaedah itu.

Sayang juga jika pesta kejutan ini harus aku sia-siakan, semuanya terlanjur  disiapkan dengan sempurna. Meskipun.kurang semangat pesta kejutan tetap aku lanjutkan.

Dibawah sinar bulan, dari atas balkon aku dan abang menikmati makan malam, tengah malam tepatnya.

Hanya sepasang lilin dan gemerlap lampu led yang kurangkai untuk menghiasi sekeliling balkon.

"Kamu menyiapkan semuanya sendiri?" tanya Abang.

"Tentu saja, Sayang. Siapa yang mau membantuku, disini hanya ada aku dan abang kalau abang kerja ya aku sendiri di rumah," jawabku.

"Hebat! Persiapan yang sangat sempurna ini disiapkan sendiri, yang memasang balon dan lampu-lampu itu juga kamu?" tunjuk Abang.

"Iyalah aku," jawabku percaya diri.

"Gak nyangka istri abang perempuan tangguh, ini pasti manjat-manjat masang dekorasi beginian," celoteh abang.

"Perempuan zaman sekarang emang harus kuat kali, Bang. Biar tetbiasa, kita gak tahu kan bagaimana nasib kita kedepannya ... kalau kita sudah terbiasa mandiri kita gak akan bergantung dengan laki-laki," cerocosku.

"Benar sekali, istri abang ini memang the best," ucapnya.

"the best apanya? kalau aku  the best mana mungkin dia macam-macam," pikirku.

Seolah semua baik-baik saja, aku dan abang saling suap nasi goreng yang tersaji di hadapan kami. Nasi goreng yang tadi sore kubuat dengan penuh kasih sayang itu kini habis tak tersisa. Seperti rasa ini yang mungkin akan segera hilang tak tersisa seiring fakta-fakta yang mulai kutemukan.

Alunan musik romantis masih mengiringi malam kami, setelah makan malam selesai aku dan abang masih duduk di balkon. Bedanya sekarang kami pindah ke kursi panjang dekat ayunan. Kami duduk berdampingan, Abang menyandarkan kepalanya di bahuku.

"Aku bersyukur punya istri sepertimu, sempurna. Semua sudah aku miliki sekarang kita hanya perlu berdoa dan berusaha agar Allah segera mempercayakan kita untuk memiliki momongan. Rumah ini pasti semakin ramai dengan kehadiran buah hati diantara kita," cerocos Abang.

Aku sendiri percaya Allah belum memberi kita momongan karena kita mungkin belum mampu untuk mengurus seorang anak. Aku dan Abang juga pernah beberapa kali periksa ke Dokter, kondisi kami berdua sehat dan baik-baik saja, semua hanya perlu menunggu waktu yang tepat.

"Kamu ingin punya anak barapa, Sayang?" tanya Abang lagi.

"Aku dua saja, Bang ... mengurus anak tidak mudah. Kita sebagai orangtua bertanggung jawab pada segala hal. pendidikannya, ahlaknya, bukan cuma kebutuhan jasmaninya saja tapi juga rohaninya."

"Anak itu rizki, jika Allah memberi kita berarti Allah percaya kita mampu mendidik dan membesarkannya," terang Abang.

********

Awalnya Abang menolak saat aku mengundang Mas Heru dan mbak Dewi untuk makan di rumah. Sebisaku dengan segala macam alasan akhirnya abang terbujuk dan menyetujui permintaanku.

Sengaja aku mengundang melalui Mas Heru, malas jika harus mengundang Mbak Dewi langsung. Sikap Mbak Dewi terlalu mencolok, pada Abang dia begitu ramah sedang padaku judesnya minta ampun.

"Wah ada acara apa mbak Tari mengundang makan? Saya sih senang kalau ada yang mengundang, Insya Allah nanti malam datang," ujar mas Heru.

"Bang Barry ulang tahun, makan cuma berdua kan gak seru, Mas. Kalau mengundang Mas dan Mbak Dewi kita bisa double date, belum ada Aftar nanti  jadi tambah rame," terangku.

_______

Aku menyiapkan beberapa macam masakan tak lupa juga menyiapkakan menu makan untuk Aftar, makanan manis dan jauh dari pedas yang biasa jadi makanan favorit anak-anak seusia Aftar.

Tanpa aku suruh abang pulang dengan membawa beberapa kantong buah-buahan kebetulan sekali stok buah di rumah memang sudah habis.

"Banyak sekali beli buahnya, Bang. Apa mau aku buatkan fruit cake?" tawarku.

"Gak usah repot-repot, Sayang. Buahnya dikupas saja untuk cuci mulut. Nah itu semangka kesukaan Aftar," terang Abang.

WOW ... bahkan abang tahu buah kesukaan Aftar.

Setelah isya Mas Heru, mbak Dewi dan Aftar datang. Mereka memang dekat dengan abang obrolan mereka bertiga membuatku harus berpikir keras karena banyak yang aku tidak tahu tentang obrolan yang mereka bahas. Daripada bete aku memilih mengajak main Aftar di samping kolam sambil memberi makan ikan.

Tuduhanku salah sepertinya, adanya Mas Heru sebagai suaminya tak membuat mbak Dewi canggung terhadap Bang Barry justru mereka bertiga terlihat begitu akrab. Beberapa kali aku mendengar tawa mereka bertiga begitu keras. Curangnya hanya mereka bertiga yang tau jika yang mereka bicarakan lucu.

Aku terjebak dalam rencanaku sendiri. Mengundang Mas Heru makan ternyata tak memberikan titik terang untukku. Sebaliknya aku yang dibuat kesal karena merasa jadi orang asing antara mereka bertiga.

"Bagaimana, Her, masakan istriku enak kan?" tanya Abang.

"Enak sekali, Bar, pantas kamu betah di rumah. Aku perhatikan makan siang saja selalu di rumah."

"Kamu memperhatikan juga," sahut abang.

"Iya, kamu tahu sendiri kan kalau Dewi mah spesialisnya masak mi instan," celetuk Mas Heru.

"Ha ... ha ... makanya aku dulu gak mau sama kamu Dew ...." Kata-kata abang terhenti. Muka Dewi merah, kuperhatikan mereka bertiga saling pandang satu sama lain.

Jadi ... mbak Dewi??



Komentar

Login untuk melihat komentar!