Desa Pathuk, Februari 1919
Pagi ini udara dingin menggigil. Desa kecil yang terletak di lereng pegunungan itu diguyur hujan lebat semalaman. Di dalam sebuah rumah geribik, seorang gadis meringkuk kedinginan di atas balai bambu beralas tikar.
Brakk! Terdengar suara jendela terhempas kasar.
"Wulan! Oalah, Gusti!" Terdengar seruan kesal gadis lain yang baru saja menerobos masuk ke dalam kamar. Kinar namanya.
"Sudah pagi masih meringkuk macam ndoro putri! Mbok, ya, tahu diri!" Selimut yang menutupi tubuh gadis di atas balai disingkap paksa.
Tubuh gadis berkulit bersih yang tengah meringkuk itu seketika merinding karena tersentuh langsung oleh angin dingin. Matanya yang masih terasa berat, mengerjap beberapa kali.
"Dingin, Mbak," keluh gadis itu.
"Ya sudah! Tidur saja sampai nanti sore!" Kinar melotot padanya.
Kinar ini cerewetnya sungguh luar biasa. Jauh berbeda dengan Wulan yang seringkali hanya diam, bingung mau menimpali apa.
"Ya Gusti, Wulan! Kenapa masih saja di situ? Cepat ke dapur, bantu aku memasak dan membereskan rumah!" sentak Kinar setelah meniup lampu teplok hingga padam.
"Iya, Mbak." Bergegas dengan langkah setengah berjingkat, Wulan beranjak dari balai. Menapak risih saat telapak kakinya menyentuh tanah lembab di bawah, lalu keluar kamar menuju dapur.
Gadis itu harus beberapa kali melompat kecil saat melewati genangan air di lantai tanah. Bertingkah layaknya bocah sedang asyik bermain. Membuat Kinar semakin gemas melihat saudara perempuannya itu.
"Kemayu!" ketusnya tak senang.
Beberapa atap rumah memang sudah bocor, tapi Bapak belum berniat memperbaiki karena itu membutuhkan banyak biaya. Akibatnya, tiap kali hujan turun, lantai tanah mereka akan menjadi licin dan becek karena air yang menggenang.
"Simbok sama bapak sudah pergi ya, Mbak?" tanya Wulan menebak saat mereka berdua sudah memasuki dapur. Sebenarnya dia sudah tahu apa jawaban Kinar. Tapi basa-basi lah, daripada diam, pikirnya.
"Ya iya! Mereka, kan, harus pergi pagi-pagi ke kebun. Apa harus berpamitan pada ndoro ayu yang sedang tidur?" sindir Kinar.
Tepat seperti dugaan Wulan. Seketika Wulan merasa seperti paranormal, bisa menebak sebelum mendengar jawaban.
Dapur terlihat berasap oleh tungku yang menyala. Rupanya Kinar tengah memasak nasi. Wulan melangkah mendekat ke api pembakaran. Gadis itu baru akan mengulurkan tangan agar merasa sedikit hangat, tapi sayangnya Kinar lebih sigap. Dia menarik lengan Wulan dan mendudukkan gadis bertubuh lebih tinggi darinya itu di atas balai bambu di dapur.
Wulan menurut saja. Lebih baik kedinginan daripada kena omel tambahan.
"Kita mau masak apa, Mbak?" tanya Wulan mengalihkan perhatian.
"Ndak liat itu ada sayuran di depanmu?" ketus Kinar sambil menunjuk anyaman bambu berbentuk bundar, di mana tergolek beberapa ikat sayuran di sana.
"Petik itu, aku masak nasi dan merajang bumbu!"
Wulan mulai memetik sayuran hijau itu. Sambil sesekali menggaruk kaki kanan dengan kaki kiri karena mulai terasa gatal terkena tanah becek. Sepertinya merasa tak nyaman sekali. Sementara Kinar menggelengkan kepala melihat tingkah 'sok keraton' Wulan. Kesal sekali dia.
"Sudah selesai, Mbak!" lapor Wulan setelah menyelesaikan pekerjaannya.
"Nyuci!" sahut Kinar sambil mengaduk masakan di atas tungku.
Wulan beringsut turun dari balai. Lalu mencangking sebuah bakul tua berisi pakaian mereka sekeluarga. Tapi saat membuka pintu ....
Wuush! Gadis itu kembali mundur.
Kinar mengernyit, semakin gemas melihat tingkah ringkih gadis itu. "Apalagi sekarang?" Mendelik lebar matanya.
"Gerimis, Mbak."
"Oalah, Wulan! Kamu itu ndak bakalan mati cuma karena kena hujan! Cepat sana nyuci sebelum Nining dan Ayu pulang! Mereka tadi sudah ke sini, tapi kamu belum bangun, sekarang pasti masih mencuci!"
Ragu, Wulan melewati pintu dan berjalan keluar. Udara pagi yang dingin dan basah membuatnya menggigil. Sementara perutnya berkeriuk lapar. Pagi memang selalu menyiksa bagi Wulan. Dia harus menahan dingin dan lapar di saat yang bersamaan.
Wulan melewati jalan setapak kecil tertutup rumput terinjak. Di kiri kanan adalah semak belukar, kadang tumbuhan ladang seperti singkong dan sayur mayur.
Suasana masih sepi. Wulan mulai berpikir bagaimana suasana di sungai nanti. Bagaimana jika Nining dan Ayu sudah pulang lebih dulu? Pasti seram sendirian di tempat sesunyi itu.
Tiba di jalan setapak yang licin, Wulan berusaha lebih hati-hati. Beberapa kali dia tergelincir di jalan ini. Padahal Nining dan Ayu terlihat lincah lewat begitu saja dan tidak apa-apa.
"Aah!" Wulan memekik saat tubuhnya bergerak limbung, lalu terjerembab. Nyungsep, masuk genangan lumpur.
Seketika pakaian di dalam bakul terhambur bercampur lumpur. Bahkan ada lumpur yang terpercik ke wajah Wulan. Gadis itu sibuk meludahkan lumpur dari mulutnya.
Terdengar suara tawa cekikikan dua orang gadis tak jauh dari sana. Wulan menoleh. Ternyata Nining dan Ayu melihatnya jatuh terduduk, lucu sekali!
Melihat Wulan yang sedikit cemberut, Ayu segera mengulurkan tangan memberi bantuan.
"Kata Mbak Kinar tadi kamu belum bangun, Lan. Makanya kami duluan," ucap Nining masih sambil menahan tawa.
Wulan bangkit berdiri dengan bantuan Ayu, lalu memunguti baju-baju bercampur lumpur kembali ke bakul cuciannya.
"Sungainya sudah sepi, ya?" tanya Wulan.
"Tadi masih ada Sri. Tapi mungkin sudah selesai sekarang," jawab Ayu.
Wulan menarik napas, bertambah gelisah membayangkan suasana sungai yang sepi. Sejenak, Nining dan Ayu saling berpandangan.
"Ya sudah, begini saja. Kamu ke sana duluan biar kami pulang mengembalikan cucian. Nanti kami akan kembali ke sana untuk menemanimu." Nining menawarkan. Ayu mengangguk setuju.
"Benar, ya?" Wulan berharap.
"Iya!" tegas Nining meyakinkan. "Ya sudah, kami pergi dulu. Nanti kami kembali. Ayo, Yu!" Nining bergegas pergi, diikuti Ayu.
Ada senyum terkembang di bibir kemerahan Wulan. Merasa mempunyai dua orang sahabat yang mengerti dan peduli. Seandainya Mbak Kinar juga sebaik mereka, pikirnya.
***
Permukaan sungai masih diselimuti kabut tipis. Sepi. Hanya terdengar gemericik air sungai.
Wulan meletakkan bakul cucian di atas sebuah batu besar. Sesaat mencelupkan kaki, lalu terlonjak kaget sendiri. Dingin!
Setelah menghela napas mengusir rasa gelisah, Wulan duduk dan mencuci pakaian. Baru dua kali mengucek, ia berhenti. Ada suara aneh yang mengiringi suaranya mencuci. Dengan perasaan tegang, gadis itu diam, menunggu.
Hening.
Ah, mungkin cuma perasaan saja, pikir Wulan menepis segala kecurigaan. Gadis itu mencuci lagi meski dengan dahi berkerut dan jantung berdegub lebih cepat karena ngeri.
Terdengar suara ranting terinjak lagi.
Wulan merasakan jantung berdebar kencang. Kali ini suara aneh itu lebih nyaring. Bukan suara gesrekan pakaian yang sedang dicucinya. Ini lebih seperti suara langkah kaki kuda.
Kaki kuda?
Terdengar ringkikan keras!
Hampir terlompat jantung Wulan karena terkejut. Dia bangkit berdiri dan cepat berbalik menghadap ke semak-semak dari mana suara itu berasal.
Mulut gadis itu komat-kamit entah membaca doa apa. Kadang mengucap nama simbok, kadang nama bapak, dan sesekali dua sahabatnya. Tapi Kinar tidak, karena pasti mbaknya itu lebih memilih mengomel dari pada menolongnya!
Tiba-tiba, seekor kuda menyembul keluar dari balik pohon. Pemuda berkulit bersih khas putra bangsawan duduk di atasnya. Berhidung mancung, dengan bulu tipis di sekitar rahang. Lengan berototnya menggenggam busur. Sementara di balik punggungnya terlihat anak-anak panah berbulu hitam.
Sejenak, mata hitam tajamnya menatap wajah Wulan. Mereka saling menatap. Tanpa kata.
"Bajumu!" Akhirnya terdengar suara pemuda itu.
Wulan bertanya lewat tatapan mata. Bajunya kenapa? Buka?
"Bajumu hanyut!"
Wulan menoleh ke arah sungai. Ah, benar! Salah satu baju yang dibawanya sudah hanyut terbawa arus. Padahal itu baju kesayangan Kinar! Habislah Wulan.
Tanpa pikir panjang Wulan menceburkan diri, berusaha mengejar baju yang belum hanyut terlalu jauh itu. Ternyata lupa, dia tak bisa berenang. Hanya modal nekat karena takut omelan Kinar.
Wulan gelagapan.
"Tolong!" Gadis itu berteriak panik. Sementara tangannya menggapai-gapai berusaha keluar dari air. Beberapa teguk air sudah masuk begitu saja melalui mulutnya yang megap-megap.
Sementara di sana, pemuda itu masih terdiam di atas punggung kuda. Dengan dahi berkerut melihat tingkah konyol Wulan.
"Hei, tolong!" Wulan memohon.
Gadis itu merasa tubuhnya makin lemah. Jantung terasa sesak karena sulit bernapas. Lalu pandangan mulai meremang.
Apa aku akan mati? pikir Wulan masih berusaha menggerakan tangan dan kaki, sekuat tenaga.
Aku tidak mau mati ... tidak!
Tidak mau mati sekarang ....
... belum sarapan tadi.
***