Paviliun memang tidak terlalu besar. Tapi rapi dan tak kalah mewah dengan rumah utama. Di sini juga pintu, kursi, dan yang lainnya penuh ukiran. Hanya saja ruang tamunya tidak terlalu
banyak barang dan hiasan seperti yang ada di rumah utama.
Cuma ada empat ruangan yang tidak terlalu besar. Satu ruang tamu, 2 buah kamar, dan ruang makan. Lalu kamar mandi kecil di sudut ruang makan. Lantai yang terbuat dari ubin berwarna putih terasa dingin dan licin hingga berdecit saat kaki Wulan menapakinya.
Dilihatnya wanita tua yang tadi mendampingi Ndoro Ayu ada di kamar belakang, membereskan seprai dan yang lain.
Wulan sedikit mengintip ke dalam kamar pertama. Karena tirai kamar yang sedikit terbuka membuat dia penasaran melihat ke dalam sana.
Terlihat seorang pemuda terbaring diam di ranjang kayu. Matanya terpejam. Sementara kepala dan beberapa bagian tubuhnya dililit oleh kain warna putih kecoklatan.
Sepertinya pemuda yang kemarin ditemukan di sungai itu belum sadar. Kasihan sekali, pikir Wulan prihatin.
“Nduk!” Terdengar panggilan dari kamar sebelah, menyadarkan Wulan. Bergegas gadis itu masuk ke kamar.
“Ya, Mbok?”
"Ini kamarmu. Sebentar lagi Sumi datang. Sumi itu salah satu gadis pelayan di sini. Dia akan menemanimu tidur dan memberitahu apa yang harus kamu lakukan.” Wanita tua itu memberitahu dengan suara bijak.
Wulan mengangguk mengerti.
“Masalah perkataan Ndoro Ayu, jangan masukkan ke hati. Ndoro Ayu memang judes, tapi sebenarnya dia orang baik. Asalkan kamu bisa mengambil hatinya.” Mbok Darmi kembali menambahkan.
Wulan mengangguk mengerti.
“Lagipula pantaslah Ndoro Ayu ngomel-ngomel melihat penampilanmu. Caramu berdandan dan berpakaian memang sangat ndak pantas untuk bertemu dengan keluarga calon suami. Apalagi lengan bajumu sobek seperti itu. Ndoro Ayu sempat bilang malam itu sudah memberi sekantong uang pada kalian. Setidaknya kamu bisa membeli baju dan perlengkapan
yang lebih sopan daripada yang dipakai ini, Nduk.”
Wulan terdiam. Memang seharusnya bisa. Tapi entah kenapa dia tak dibelikan.
“Ya sudah, setelah Sumi datang membawakan pakaian, kamu mandi dulu. Mbok mau menemui Ndoro Ayu.” Wanita bersuara lembut namun tegas itu pamit pergi.
Wulan mengikuti langkah Mbok Darmi dengan matanya. Sampai punggung wanita tua itu menghilang di balik pintu.
Bapak terlalu sibuk memikirkan jamuan apa untuk menyambut kedatangan para utusan, sampai-sampai tak sempat
berpikir tentang penampilan anaknya.
Tersenyum Wulan saat menemukan alasan dari pertanyaan Mbok Darmi tadi. Jawaban yang dia paksakan sendiri.
Pelan, Wulan duduk di tepi dipan terbuat dari kayu jati dengan kasur berseprai merah itu. Empuk. Tidak seperti balai tidurnya yang terbuat dari bambu.
Ruangan juga terasa harum dan sejuk. Ternyata seperti ini rasanya hidup di rumah orang kaya. Kakinya tidak gatal lagi karena becek.
Tak lama kemudian, terdengar suara langkah tergesa masuk ke kamar. Muncul seorang gadis seusia Wulan.
Tubuhnya gemuk dengan rambut ikal yang digelung rapi ke belakang. Hidungnya pesek, mata kecil tapi panjang karena tertarik pipi yang gembil.
“Kamu Wulan, ya?” Dia membuka pertanyaan sambil mengulurkan pakaian.
Wulan menerima pakaian pemberian gadis itu, “Iya.”
“Yang memancing Raden Mas Arun di sungai.”
Wulan merengut, jengkel. “Dia bukan ikan.”
Sumi menghela napas, “Banyak gadis yang patah hati akibat peristiwa itu. Tadinya kami pikir Raden Mas Arun terlalu tinggi untuk digapai. Kami ikut senang saat akhirnya yang bertunangan
dengan Raden Aruh adalah Rara Marina. Selain cantik, juga karena kami sudah mengenalnya selama ini. Tapi sayang sekali, akhirnya dia memutuskan untuk menikahimu karena kejadian di sungai itu.”
Sumi dan Wulan saling bertatapan.
“ ... kalau tahu begitu, aku pasti menceburkan diri di sungai saat bertemu dengannya. Jadi dia mau menikahiku.”
Hening.
Detik kemudian mereka berdua tertawa cekikikan menyadari omelan Sumi tadi hanya sebuah rasa iri yang dibalut dengan tulusnya canda.
***
Wulan diajak Sumi berkeliling sebagai pengenalan. Kecuali rumah utama tentunya.
Gadis tambun itu pertama menunjukkan dapur luas di mana para pelayan wanita menghabiskan sebagian besar hari untuk memanjakan mulut para tuan.
Ada satu sumur dengan dua kamar mandi umum di dekatnya. Berupa bilik kecil dengan gentong air dan gayung dari tempurung kelapa. Ada tempat mencuci piring dan perlengkapan dapur di dekat sumur.
Sumi menunjuk mobil warna hitam dengan tepi kuning keemasan yang terparkir di dalam garasi. Setelah sekian lama hanya mendengar cerita bentuk mobil dari mulut Kinar, akhirnya hari ini Wulan bisa melihat dengan mata kepala sendiri. Terlihat mewah sekali. Wulan berdecak kagum melihatnya.
“Itu namanya mobil, Lan!” ucap gadis gemuk itu sok tahu.
“Ya, tahu aku itu mobil,” sungut Wulan merasa diremehkan.
Sumi tertawa cekikikan sambil menutup mulut. Dua gadis hampir seusia itu tampak akrab bercakap sambil berkeliling halaman yang sangat luas.
Ada kolam ikan dan kebun sayur mayur pribadi juga. Wulan sampai geleng-geleng kepala melihatnya.
Setelah puas mengajak Wulan berkeliling, Sumi mengajak kembali.
Mereka melewati sebuah bilik lumayan terpisah dari rumah utama. Tidak begitu besar, tapi terlihat elegan dengan dinding kayu kokoh warna coklat gelap dan mengkilap yang menguatkan kesan mewah. Terlihat tirai warna gading bergaris pinggir coklat sedikit menyembul keluar jendela.
Wulan menyentuh. Lembut sekali kainnya.
“Jangan dibuka tirainya, nanti yang punya kamar marah.” Sumi mengingatkan dengan nada sambil lalu.
“Nah, itu namanya Pak Karso. Bapakku itu, Lan!” Gadis itu sedang menunjuk, saat tiba-tiba Wulan menyeretnya bergegas pergi.
“Kenapa, Lan?”
“Ayo ...!”
Baru beberapa langkah saat terdengar seruan seseorang dari balik bilik tadi.
“Hehh!”
Sumi dan Wulan berhenti dan saling memandang tanpa berani menoleh ke belakang.
“Kamu ... buka tirainya?” tuduh Sumi berbisik.
“Iya ... kenapa tidak bilang itu kamar Raden Arun?” balas berbisik Wulan.
Sumi mendelik. Akan mengumpat tapi yang akan diumpat sudah melesat lari.
Sementara di teras bilik, terlihat Raden Mas Arun menatap kesal. Merasa baru saja dilecehkan calon istri sendiri.
***