Elena tidak tahan lagi. Masalah ini membuat hatinya patah dan kepalanya seperti akan pecah. Dia putus asa. Frustrasi. Otaknya bilang tidak ada jalan keluar.
Apapun hasil persidangannya nanti, semua orang akan mencapnya sebagai pengedar narkoba. Pasti teman-teman dan keluarganya menjauh. Tidak ada lagi yang akan menerimanya dalam pergaulan maupun pekerjaan. Dia akan disisihkan seperti orang buangan.
Cepat di berdiri, dia harus keluar dari ruangan ini secepatnya. Pergi dari Mario, dari semua orang.
"Na, mau kemana?" dengan sigap Mario menahan tangan Elena yang mendadak berdiri.
"Sory, Mario. Aku pusing. Aku mau kembali ke dalam."
"Tapi pembicaraan kita belum selesai..."
"Lepaskan, Mario!" Desis Elena pelan. Matanya membelalak menatap mata teduh di depannya itu. Elena tidak berani bicara lantang karena akan membuat kegaduhan.
Tapi perselisihan mereka sudah menarik perhatian seorang petugas wanita yang mengawasi dari ujung ruangan sana. Dengan langkah cepat dia menghampiri meja Elena. "Ada apa ini?" tanyanya dengan wajah pura-pura garang, tapi matanya jelas-jelas melirik Mario dengan berminat. Wajar saja, siapa sih yang tidak tertarik melihat sosok Mario yang tampan.
"Jangan membuat kegaduhan di sini," katanya lagi setelah lirikannya tidak mendapat tanggapan dari Mario.
"Tidak ada apa-apa, Bu," jawab Mario mantap. Sebagai seorang pengacara, dia sudah berpengalaman menghadapi situasi seperti ini. Mario paham dia harus terlihat berwibawa di depan petugas. "Kami hanya, berselisih paham sedikit. Biasalah karena lama tidak bertemu."
Elena membelalakkan matanya. Gaya bicara Mario mengesankan mereka adalah sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Hampir saja Elena membantah dan melontarkan protes, tapi pandangan mata Mario seakan memohon agar Elena mengikuti kata-katanya.
Jadilah Elena hanya menunduk dan menghela napas. Bagaimanapun Mario sudah berbaik hati padanya. Satu-satunya orang yang bersedia menjenguk Elena di sini. Pada saat Alfian yang suaminya sendiri tidak pernah datang.
Untungnya petugas itu mempercayai kata-kata Mario. Dia mengangguk dengan pengertian. "Ya sudah. Kalau mau, lanjutkan obrolan kalian. Jam berkunjung belum habis. Tapi jangan ribut. Duduk!" perintahnya galak.
"Baik, Bu." Mario menarik lembut tangan Elena, hingga mereka kembali duduk berhadapan.
"Na, please dengarkan aku." Mario menggoyang tangan Elena. Memaksa Elena untuk memandang wajahnya.
"Aku datang kesini untuk menolong. Aku ini pengacara, Na. Tunggu sebentar -" Mario membuka tas yang dari tadi diletakkan di bangku di sampingnya. "Ini kartu namaku," katanya sambil meletakkan kartu dengan disain eksklusif itu di meja.
Elena mengabaikan kartu nama itu. Membiarkannya tetap tergeletak di meja. Hanya matanya bergerak-gerak membaca informasi yang tercantum di kartu nama itu.
Elena mengenali nama biro hukum ternama yang tertulis di bagian atas kartu itu. Biro hukum terkenal yang punya deretan klien orang ternama. Elena juga tahu daerah elite tempat biro hukum itu berlokasi. Kawasan perkantoran dengan sewa dihitung dalam dollar Amerika. Hanya perusahaan-perusahaan besar yang mampu berkantor di sana.
Elena mengangkat wajahnya dan memandang pria di depannya ini. Dia jadi yakin kalau Mario bukan pengacara sembarangan. Walau awam dalam soal hukum, Elena tahu bahwa pengacara yang bagus adalah langkah awal untuk lepas dari jerat hukum.
"Kamu belum punya pengacara kan?" tanya Mario dengan lembut.
"Belum." Elena menggeleng lemah. "Aku belum berkomunikasi dengan siapa pun semenjak ditangkap," ucapnya jujur. "Suamiku tidak pernah mengangkat teleponku dan aku tidak ingin mengganggu orang tuaku yang sudah lanjut usia."
Ini kenyataan, bagaimana mungkin dia bisa punya pengacara bila tak seorang pun datang menjenguknya? Dia tidak punya akses untuk menghubungi pengacara.
"Kalau begitu izinkan aku menjadi pengacaramu, Na. Aku akan memberikan nasihat hukum yang kamu perlukan, juga mdmbelamu di persidangan nanti." Setiap kata Mario ucapkan dengan keyakinan.
Elena menatap Mario dengan pandangan tidak percaya. "Ini... kamu... serius, Mario?" Dia kehilangan kata-kata. Setelah berada di dalam penjara, Elena nyaris tidak percaya kalau masih ada orang baik di dunia ini. Orang-orang hanya mendekatinya saat dia sedang senang dan banyak uang. Tapi saat Elena terpuruk, tidak ada yang mau mendekat apalagi menolongnya. Tapi hari ini Mario membuktikan bahwa Elena salah. Sepasang mata Mario menatapnya dengan tulus.
"Tentu saja serius. Sangat serius. Kita akan buktikan di pengadilan kejadian yang sebenarnya."
"Kamu bisa mengeluarkan aku dari tempat ini? Kapan? Aku sudah tidak tahan lagi...!" Elena mencengkeram lengan kemeja Mario dan mengguncangnya.
"Aku pasti akan membantumu keluar dari sini, Na. Tapi aku tidak berani berjanji prosesnya akan cepat. Ada prosedur yang harus kita lalui." Mario berkata lugas, dia tidak ingin menghembuskan angin surga untuk Elena.
Elena kembali lemas. Harapannya untuk segera bebas dari penjara menghilang seperti debu yang tertiup angin. Dia masih harus berada di tahanan, entah sampai kapan.
"Tapi aku akan mengusahakan yang terbaik. Na, percayalah..."
Elena mengangguk, dia tidak punya pilihan lain. Bagaimanapun punya pengacara pasti jauh lebih baik daripada tidak.
"Jadi bagaimana? Boleh aku menjadi pengacaramu?"
"Tentu, tentu..." bisiknya dengan haru. Akhirnya Elena menyadari Mario adalah jawaban dari harapannya. Setelah berhari-hari akhirnya dia melihat titik terang dalam masalah ini.
"Mario... , aku enggak tahu bagaimana mengungkapkan rasa terima kasihku padamu..." Suara Elena bergetar karena haru.
"Ah, santai saja, Na. Bukankah sebagai teman, sewajarnya kita saling tolong-menolong?"
"Tapi dari sekian banyak temanku, cuma kamu yang sudi datang dan menawarkan bantuan..." kening Elena berkerut kesal dengan ketidakhadiran teman-temannya. "Jangankan membantu, menjenguk pun tidak."
"Lebih baik kita tidak usah memikirkan mereka," kata Mario lembut. "Hanya membuat mood-mu memburuk. Lebih baik kita berjabat tangan saja, sebagai tanda aku sudah menjadi pengacaramu," ucap Mario sambil tersenyum lebar.
Seulas senyum ikut muncul di bibir Elena. Mario mampu mengalihkan perhatian Elena hingga fokus pada hal-hal yang positif. "Benar juga kata-katamu. Setelah ini apakah ada berkas-berkas yang harus aku tanda-tangani?"
"Urusan legal formal jadi bagianku. Besok aku akan datang lagi membawa surat kuasa yang harus ditandatangani. Tapi ada yang lebih penting dari itu."
"Apa itu?" mata Elena membelalak cemas.
"Sebagai pengacaramu, aku perlu tahu kejadian yang sebenarnya. Kita mulai dengan kronologis kejadian. Kamu bisa ceritakan awal mula kejadian ini. Lengkap ya, jangan ada yang ketinggalan." Mario mengeluarkan alat perekam, siap menyimpan semua keterangan Elena.
Elena mengambil napas panjang. Berusaha meredakan emosi yang bergejolak di hatinya. Suaranya bergetar saat bercerita, karena terpaksa harus mengingat kembali kejadian yang traumatis itu. Sementara Mario mendengarkan dengan penuh perhatian. Sesekali dia bertanya untuk mendapatkan keterangan lebih rinci dan jelas.
Berkali-kali harus menceritakan peristiwa itu (termasuk pada saat interogasi) membuat mental Elena ambruk. Isaknya terdengar lagi di ujung ceritanya.