Menanti Alfian Menjemput
Mata Elena tidak mampu terpejam hingga fajar menjelang. Dia memandang langit-langit selnya. Memikirkan Alfian, rumahnya, tempat tidurnya. 

Seharusnya pada jam-jam seperti ini, Elena sedang tidur bergelung dalam selimut. Merasa aman dalam pelukan Alfian. Tidak seperti saat ini, punggungnya sakit beradu dengan kerasnya lantai semen, nyamuk berpesta-pora menggigit tangan dan kakinya, keringat membasahi punggungnya.

Sabar, besok pasti Alfian datang untuk membawaku pulang. Setitik harapan masih bersemi dalam hati Elena. 

Walaupun belum tidur sama sekali, Elena ikut bangun bersama teman-temannya. Menyaksikan mereka membersihkan diri bergantian di wc kecil di dalam sel. 

“Mau cuci muka?” Tari menyodorkan sabun muka yang baru saja mengirim dipakainya. 

“Terima kasih,” Elena mengenali merk yang biasa dilihatnya di supermarket waktu dia belanja bulanan. Harganya jauh lebih murah daripada yang biasa Elena pakai. 

Tentu tidak masalah buat Elena memakai sabun muka itu. Sudah untung Tari berbaik hati memberikannya buat Elena. Paling tidak Elena bisa tampil lebih bersih di depan Alfian nanti. Tidak seperti saat ini, Elena yakin mukanya kusam dan berminyak karena tidak bersentuhan dengan air sejak kemarin.

Elena merasa lebih segar setelah membasuh wajahnya. Dilihatnya Nina dan Vita sudah mandi, sementara Suci masih berbaring santai. 

“Kamu belum punya peralatan mandi?” tanya Tari. Dia ingat semalam Elena datang tanpa membawa apa-apa. Hanya baju yang melekat di badannya.

“Aku enggak sempat bawa apa-apa, kemarin,” jawab Elena. Mereka pasti tidak mengerti kalau Elena tidak memerlukan semua itu karena hari ini Alfian akan membawanya pulang. Semua ini hanya kesalahpahaman.

Dentang nyaring logam yang beradu terdengar saat seorang petugas membuka pintu sel.

“Yuk,” ajak Tari riang. 

“Kemana?” kening Elena berkerut. Memangnya mereka bebas keluar masuk sel? Atau dia akan dibebaskan sepagi ini?

“Sarapan," jawab Tari dengan nada riang. Dia senang setiap waktu makan tiba, karena berarti ada kesempatan untuk bertemu teman-teman dari sel lain. 

“Sarapan?” ulang Elena bingung.

“Iya kita makan pagi. Sudah disiapkan makanan di ruangan sana." 

“Aku… enggak selera makan.” Elena heran sendiri karena sama sekali tidak merasa lapar. Padahal terakhir kali dia makan adalah waktu sarapan bersama Alfian. Dan itu berarti hampir duapuluh empat jam yang lalu. Ah, ingat Alfian Elena jadi sedih. Baru semalam berpisah dia sudah rindu setengah mati pada suaminya.

“Tapi kamu harus makan,” desak Tari. 

“Kalo orang enggak mau makan, jangan dipaksa kaleee…” celetuk Suci dengan judes.

“Suci, Elena sudah seharian enggak makan. Dia mungkin enggak merasa lapar karena stress. Tapi harus tetap makan, jangan sampai kena maag.”

“Sok tahu, lo.” Suci mencibir.

“Ayo…” Tari menarik tangan Elena. Mau tidak mau Elena mengikuti. 

Di ruangan makan sudah ramai. Penghuni sel yang lain sudah berkumpul. Mereka mengantre untuk mengambil makanan. Elena ikut berbaris. Dia mengamati Tari yang ramah rupanya punya banyak teman. Tidak lupa Tari mengenalkan Elena pada teman-temannya. Takut-takut Elena menyebutkan nama dan menjabat tangan mereka satu per satu. Benaknya bertanya-tanya apa penyebab mereka semua ada di sini. Mencuri? Menipu? Atau malah jangan-jangan membunuh. Elena merinding. Cepat-cepat dia mengambil sebutir telur ceplok. 

“Nggak pakai nasi?” tanya Tari. Piring yang dibawanya sudah berisi nasi, sayur dan telur.

“Ini saja cukup.” Nafsu makan Elena makin menghilang melihat sayur berupa kuah butek di dalam panci besar.

“Kelihatannya memang tidak enak…,” kata Tari seolah bisa membaca pikiran Elena. “… tapi rasanya lumayan kok.” Tari menyuap satu sendok nasi dengan lahap.

“Yang lain enggak makan?” Elena menanyakan teman-teman satu selnya.

Tari menggeleng. “Enggak, mereka makan di dalam kamar.” Tari menggunakan kata kamar untuk menyebut sel tempat mereka tinggal. “Biasanya sarapan roti atau biskuit kiriman keluarga mereka.” Jelas Tari lagi.

Seorang petugas datang menjemput saat Elena dan Tari baru saja selesai makan. “Elena! Ayo ikut,” panggilnya dengan tegas.

Pasti Alfian datang menjemputnya. Cepat Elena mengikuti langkah petugas itu. Kakinya seperti menemukan kekuatannya. Bagai boneka yang baterainya baru diisi ulang. Tidak loyo seperti kemarin.

Elena mengenali kantor Wira, tempatnya diinterogasi kemarin.

“Masuk,” terdengar suara jawaban saat petugas yang membawa Elena mengetuk pintu.

Tidak sabar, Elena melangkah masuk di belakang petugas. Matanya berputar, memandang berkeliling. Tidak ada sosok Alfian di dalam ruangan. Hanya ada Wira yang duduk di kursi kerjanya. Juga dua orang anak buahnya. Semua sedang sibuk di belakan komputer.

Wira mengangkat wajahnya saat mendengar Elena masuk.

“Suami saya mana, Pak?” tanya Elena cepat dengan nada menuntut. Seolah Wira yang menentukan kehadiran Alfian di ruangan ini.

Wira tampak heran. “Suami kamu belum datang,” jawabnya singkat.

Elena terduduk lemas. Jadi untuk apa dia dipanggil ke sini?